مفهوم المخالفة (pengertian balik)


PENDAHULUAN
Setelah kita membahas tentang Mafhum Muwafaqoh, selanjutnya kita akan membahas tentang Mafhum Muhalafah. Dimana dalam pembahasan ini akan diuraikan macam-macam Mafhum Muhalafah dan sedikit tentang perbedaan dalam penggunaannya antara Jumhur ulama dengan Hanafiyah. Jumhur ulama menggunakan metode mafhum muhalafah untuk menggali suatu hukum, sedangkan Hanafiyah menggunakan Dilalatun Nash, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Bpk DR Kaswi Syaiban. Dalam meggunakan metode ini, Jumhur ulama memberlakukan syarat-syarat yang sangat ketat. Yang pada akhirnya antara dua metode ini akan menemukan titik temu.
Selanjutnya dengan kepala tetap dingin, mari kita bahas salah satu khazanah ilmu ushul, yaitu Mafhum Muhalafah.


PENGERTIAN
Apabila nash syara’ menunjukkan suatu hukum atas suatu masalah yang dibatasi dengan suatu batasan, misalnya jika masalah itu mempunyai sebuah sifat, atau diberi syarat dengan suatu syarat, atau dibatasi dengan suatu batasan atau bilangan, maka hukum nash atas masalah yang telah jelas batasannya tersebut, disebut manthuq nash. Sedangkan hukum atas masalah yang tidak dapat memenuhi batasan tersebut disebut mafhum mukholafah.
Contoh firman Allah:
ُقْل لآاَجِدُ فِيْمَا اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعَمٍ بِطَعَمِهِ اِلّآاَنْ تَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْدَمًا مَسْفُوْحًا(النساء )
“Katakanlah: Dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku aku tidak memperoleh sesuatu yang diharamkam bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir”.
Bunyi nashnya adalah mengharamkan darah yang mengalir. Sedangkan menghalalkan darah yang tidak mengalir adalah pengertian balik dengan bunyi nash, dan tidak ada dalalah bagi ayat ini atas makna tersebut. Bahkan makna itu bisa diketahui dengan dalil al-ibahah al-asliyyah.
Contoh lain sabda Nabi:
اُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتًانِ وَدَمَانِ. اِمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالسَّمَكُ وَالْجَرَدُ وَاِمَّا الدِّمَاءِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ.
“Dihalalkan bagi kamu dua bangkai dan dua darah.Adapun dua bangkai itu ialah ikan dan belalang, sedang dua darah itu ialah hati dan limpa”.
Juga firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا اَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَتُ الْمُؤْمِنَت فمن ما ملكت ايمانكم من فتيتكم المؤمنت.(ألنساء: )
“Dan barang siapa diantara kamu(orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka yang beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki” (Q.S Al-nisa’ : 25).
Mantuqnya ialah bahwa orang tidak mampu mengawini wanita-wanita yang merdeka, dibolehkan mengawini budak-budak yang mukmin. Sedangkan orang yang mampu mengawini wanita-wanita merdeka, maka tidak ada dalalah hukumnya dalam ayat ini. Begitu juga mengawini budak wanita yang bukan mukmin, juga tidak ada dalalah hukumnya dalam ayat ini.
Macam-macam mafhum mukholafah:
1.مفهوم الوصف , seperti contoh:
فِى السَّائِمَةِ زَكَاةٌ
“Pada binatang digembalakan itu ada zakatnya”.
Pengertian baliknya ialah binatang yang diberi makan dengan cara yang tidak digembalakan.
2.مفهوم الغاية, sebagaimana firman Allah:
فان طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره. (البقرة: ).
“Kemudian jika sang suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua) maka, perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”.(Q.S. Al-Baqarah: 230).
Pengertian baliknya ialah seorang istri telah dithalak tiga kali, ia boleh kawin dengan seorang laki-laki yang bukan suami yang telah menjatuhkan thalak kepadanya.
3. مفهوم الشرط, firman Allah Swt:
....وان كن اولات حمل فانفقوا عليهن.......(الطلاق: ).
“….dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah dithalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya……”.(Q.S. Al-thalaq:6).
Pengertian baliknya istri-istri yang dithalak dalam keadaan tidak hamil.
4. مفهوم العدد, seperti firman Allah:
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَنِيْنَ جَلْدَةً (النور: ع )
“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”.(Q.S. Al-Nur: 4).
Pengertian baliknya ialah kurang atau lebih dari delapan puluh kali dera.
5. مفهوم اللقب, sebagaiman contoh
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
“Muhammad adalah utusan Allah”.
Pengertian baliknya ialah selain Nabi Muhammad.
فِى الْبُرِّ صَدَقَةٌ
“Gandum adalah termasuk jenis yang harus dikeluarkan zakatnya”
pengertian baliknya ialah selain gandum.
6.Mafhum hasr (pembatas/menyingkat), yaitu mengkhususkan hukum dengan apa yang disebutkan dalam perkataan yang dinyatakan, tidak mengenai selain yang tersebut dalam perkataan itu. Misalnya:اِنَّمَا اُمِرْتُ بِالْوُضُوْءِ اِذَا قُمْتُ اِلَى الصَّلاَةِ
“(Tidak lain) aku diperintah bewudlu apabila aku hendak sholat”.
Dapat dipahami bahwa perintah wudlu hanya terbatas untuk sholat, tidak untuk lainnya .
Tetapi para ulama ushul sepakat tidak adanya hujjah nash pada mafhum laqob. Karena pada mafhum laqob tidak menyebutkan batasan, pengkhususan dan pengecualian terhadap lainnya, Seperti lafadl فى البر صدقة , lafadl البرadalah sejenis nama biji-bijian ( حب ) yang wajib dizakati dan mengecualikan biji-bijian yang lain. Padahal selain البر masih ada biji-bijian yang wajib dizakati. Imam syaukani berkata: bahwa mafhum laqob itu tidak mempunyai hujjah baik secara bahasa, akal, dan syara’. Sebagaimana perkataan orang arab رأيت زيداpada lafadl ini tidak bisa dipahami bahwa ia tidak melihat orang selain zaid.
Kemudian terhadap mafhum mukhalafah yang lain yaitu mafhum sifat, syarat, ghoyah, dan mafhum adad: Para ulama Syafi’iyah dan Malikiyah menggunakan sebagai hujjah, namun dengan ketentuan:
1. Mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalalah manthuq pada nash yang lain, seperti firman Allah:
وَلاَ تَقْتُلُوْا اَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلاَقٍ
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan...(Al-Isra’: 31)
mafhum mukhalafahnya yaitu boleh membunuh anak kalau tidak karena takut kemiskinan. Akan tetapi yang diperbolehkan oleh mafhum mukhalafah ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena bertentangan dengan dengan arti lafadl:
وَلاَ تَقْتُلُوْا النَّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ
“ Dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah(membunuhnya) melainkan dengan suatu(alas an) yang benar……(Al-Isra’ : 33)
yaitu haram melakukan pembunuhan kecuali dengan alasan yang dibenarkan syara’.
2. Apabila hukum manthuq tidak mempunyai arti yang boleh diberlakukan hukum sebaliknya.
Arti-arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukkan tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah, antara lain:
a. Pembatasan hukum yang disebut sesuai dengan adat (kebiasaan) atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi misalnya dalam firman Allah:
.....وَرَبَائِبُكُمُ الَّتِى فِى حُجُوْرِكُمْ.......
“ ….anak-anak tirimu yang dalam pemeliharaanmu……(An-Nisa’ : 23).
Dalalah manthuqnya yaitu haram untuk mengawini anak tiri yang dalam pemeliharaannya. Maka ayat ini tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah(yaitu boleh megawini anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya).
b. Pembatasan hukum yang disebut dimaksudkan sebagai pendorong untuk dilaksanakan. Seperti sabda Rasul:
لا يحل لإمرأة تؤمن بالله واليوم الاخر ان تحد فوق ثلاثة ايام الا على زوجها اربعة اشهر وعشرا
“ Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap(kematian) suaminya selama empat bulan sepuluh hari.
Dimaksudkan dengan adanya pembatasan wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir ialah untuk mendorong agar dilaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan, sebab iman kepada Allah dan hari akhir merupakan pendorong bagi seseorang untuk melaksakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah.
c. Pembatasan hukum yang disebut, dimaksudkan untuk menyatakan jumlah yang terbatas(berapa banyaknya), seperti firman Allah:
استغفر لهم او لا تستغفر لهم ان تستغفر لهم سبعين مرة فلن يغفر الله لهم
“ Kamu memohonkan ampun bagi mereka, atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu mohonkan ampun bagi mereka tuju puluh kali, namun Allah tidak sekali-kali memberi ampun kepada mereka…..(At-Taubah : 80).
Dinyatakan dengan tuju puluh kali, bukan berarti menentukan jumlah dalam permohonan maaf, melainkan dimaksudkan untuk menyatakan berapapun (jumlah yang tak terbatas) permohonan ampun itu.
d. Pembatasan hukum yang disebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti Nabi ditanya tentang zakat unta, Nabi menjawab:
وَفِى الاِْبِلِ السَّائِمَةِ زَكَاةٌ
“ Pada unta yang mencari makan sendiri dikenakan zakat.
PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA SYAFIIYAH DAN HANAFIYAH
Jumhur ulama berpendapat bahwa selain mafhum mukhalafah laqab bisa dijadikan hujjah dan bisa juga menjadi hujjah atas tetapnya kebalikan hukum. Seperti lafadl اودما مسفوحا , sehingga hukum haram pada darah yang mengalir dan hukum halal pada darah yang tidak mengalir keduanya ditunjukkan oleh ayat di atas. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafhum muhalafah tidak bisa dijadikan hujjah kecuali atas hukum dalam kejadian yang diterangkan dengan batasan tersebut.Contoh kongkret perbedaan diantara keduanya adalah ayat:
فَاِنْ كُنَّا نِسَاءٌ فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثًا مَا تَرَكَ (النساء:اا)
“Dan jika anak itu semuanya perermpuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiganya dari harta yang ditinggalkan.
Dan sabda Nabi Saw kepada saudara Sa’d bin Rabii’:
اَعْطِ اِبْنَتَيْ سَعَدٍ الثُّلُثَيْنِ وَزَوْجَهُ الثُّمُنُ وَمَا بَقِيَ فَهُوَ لَكَ
“Berikan kepada dua anak perempuan Sa’d sebesar dua pertiga kepada istrinya seperdelapan dan sisanya bagimu. Menurut Jumhur terdapat kontradiksi antara mafhum mukhalafah ayat. Yaitu bahwa anak perempuan satu atau dua tidak mendapat 2/3, dengan bunyi Hadits yang menetapkan dua anak perempuan mendapat 2/3, dan yang dimenangkan adalah bunyi Hadits. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah tidak terjadi kontradiksi, karena Hadits menjelaskan hukum yang terjadi yang tidak disebutkan dalam ayat hak waris anak perempuan .
SIMPULAN
Banyak hal sebenarnya yang harus diuraikan tentang MM (mafhum muhalafah) pada kesempatan ini, tapi karena terbatasnya waktu dan kemampuan pemakalah, hanya inilah yang bisa pemakalah sampaikan. Dan memang banyak perbedaan-perbedaan antara para ulama dalam mengambil suatu produk hukum dan metode yang digunakan. Walaupun pengambilannya dari sumber yang sama, yaitu Qur’an dan Hadits.
Dari perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara para ulama, kita ndak usah ragu dan bimbang untuk mengikuti salah satunya, karena Khilaful ulama rohmatun. Sekian, mohon maaf atas segala kekurangan dan semoga bermanfaat AAmiiiin.

Selengkapnya...

ISTISHAB

I. PENDAHULUAN
Alhamdulillah dalam kesempatan kali ini saya sudah bisa membacakan makalah yang sudah lama aku tunggu-tunggu. Bukan karena kepercayaan saya terhadap makalah ini, malainkan masih banyaknya tugas yang harus diselasaikan.
Saya akan sedikit menjelaskan tentang istishab yang meliputi pengertian, macam-macamnya, kehujahan, perbedaan pendapat diantara para Ulama tentang kehujahannya. Makalah ini saya kira masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, masukanmasukan dari musyawirin sangatlah diharapkan, sehingga akan menambah kepahaman pada saya-khususnya- dan pada musyawirin pada umumnya.


II. PENGERTIAN
Istishab menurut etimology adalah طلب المصاحبة واستمرارها (menjalin dan meneruskan persahabatan). Istishab menurut epistemology adalah meneruskan hukum yang sudah ada, atau tidak memberlakukan hukum yang belum ada.
Imam Al Ghozali memberi pengertian bahwasannya istishab adalah berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan karena tidak adanya dalil, tetapi karena hasil pembahasan dan penelitian cermat menyatakan bahwa tidak ada dalil lain yang mengubah hukum yang telah ada. Ibnu Hazm (tokoh ushul fiqh madzhab Zahiri) mendefinisikan dengan; berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash,-baik Al quran atau hadist- sampai ada dalil lain yang menunjukan perubahan hukum tersebut. Imam as Syaukani dalam kitabnya Irsyad al Fuhul mengemukakan definisi bahwasannya istishab adalah dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.
Dari beberapa pengertian diatas pada dasarnya mengandung pengertian bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang ataupun yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang merubah hukum itu.
Oleh karena itu, apabila minggu yang lalu, kita mengetahui bahwasannya Moh. Ridlo main ke rumah Iwan (masih hidup). Kemudian keluarganya mencarinya, maka kita harus memberlakukan hukum bahwasannya Ridlo masih hidup, sampai adanya bukti yang menunjukkan atas kematiannya.
Contoh lain seperti; jika Sunomo mengawini Rita (perawan), kemudian setelah dukhul (hubungan intim), Sunomo menuduh kalau Rita tidaklah perawan sebelum kawin. Maka tuduhan Sunomo tidak dibenarkan sebelum adanya bukti yang menguatkan atas tuduhan tersebut. Hukum ini merupakan istishab terhadap sifat keperawanan Rita. Karena keperawanan Rita merupakan asal sejak pertama lahir.

III. MACAM-MACAM ISTSHAB
a. Istishab hukum al-ibahah al-asliyyah lil asy-ya. Maksudnya adalah menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misal; seluruh pepohonan dihutan merupakan milik bersama-umat manusia- dan setiap orang berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan hutannya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang. Dalam kaitan ini, alasan yang dikemukakan adalah firman Allah :هوالذي خلق لكم ما في الأرض جميعا (al-baqarah: 29).
Artinya;”Dialah,Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu”. Kata لكم (untuk kamu) dalam ayat itu menunjukkan kebolehan memanfaatkan apa-apa yang ada dibumi. Dasar lain yang digunakan untuk bagian ini adalah ; قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق (al-A’raf;32). Artinya ;”katakanlah: siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) rizki yang baik”. dari ayat ini bisa kita fahami bahwasannya Allah SWT menegaskan bahwa memanfaatkan perhiasan dan mencari rizki yang baik adalah hak setiap orang. Istishab seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
b. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nas selama tidak ada dalil yang menasakhnya. Misalnya, dalam surat al-baqarah:267 Allah SWT menjelaskan bahwa manusia wajib menafkahkan seluruh hasil usaha dan seluruh yang diperoleh melalui pengekploitasian sumber daya alam. Kalimat “nafkah” tersebut, menurut kesepakatan Ulama ushul fiqh bersifat umum, karena nafkah wajib meliputi zakat, nafkah keluarga dan nafkah kaun kerabat. Kalimat “hasil usaha” disinipun bersifat umum, meliputi seluruh jenis hasil usaha dari bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut sebagian Ulama ushul fiqh tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan ini dinamakan istishab. Akan tetapi menurut sebagian Ulama ushul fiqh lainnya, seperti Imam Abu al-Ma’ali al- Juaini (madzhab Syafi’i), Imam Muhammad bin Aly Asy-Syaukani mengatakan hal ini bukan merupakan istishab, melainkan berdalih berdasarkan kaidah bahasa, yaitu kaidah yang menyatakan “suatu dalil yang umum tetap berlaku sesuai dengan keumumannya sampai ada dalil yang mengkhususkannya” . Contoh istishab nas selama tidak ada yang menasakhnya adalah kewajiban bepuasa dalam surat al-baqarah ayat 183. kewajiban berpuasa di bulan Ramadlan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat diatas, selama tidak ada nas lain yang membatalkannya
c. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus. Ibnu Qoyyim al-Jauziah (ahli ushul fiqh madzhab Hambali) menyebutnya dengan “sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukun yang berbeda dengan itu”. Misalnya, hak milik pada suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, disebabkan adanya transaksi pemilikan, yakni akad, sampai ada sebab lain yang menyebabkan hak milik itu berpindah kepada orang lain. Contoh hukum wudlu seseorang yang sudah berwudlu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila ia ragu apakah wudlunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan istishab wudlunya tetap ada. Karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudlu tersebut, tidak bisa mengalahkan kenyakinan seseorang bahwa ia telah berwudlu.
d. Istishab al-bara’ah al-ashliyyah (kebebasan dasar), yakni umat manusia terbebas dari kewajiban-kewajiban syar’iy, sampai ada dalil yang menunjukkan taklif atau sampai datangnya syara’, Anak kecil terbebas dari taklif sampai ia mencapai usia baligh. Orang yang buta hukum atau berasal di daerah musuh, terbebas dari taklif sampai ia melek hukum atau sampai berada didaerah Islam. Contoh lain Apabila si A menuduh bahwasannya B memiliki hutang pada dirinya, maka A berkewajiban untuk mengemukakan bukti-bukti utang tersebut. Apabila A tidak sanggup mengemukakan alat bukti, maka B bebas dari tanggungan (tuntutan) dan B dinyatakan tidak pernah berutang pada A.
e. Istishab terhadap hukum yang ditetapkan berdasarkan ijmak. Istishab ini dipersilisihkan Ulama tentang kehujahannya. Misalnya; Ulama fiqh berdasarkan ijmak menetapkan bahwa ketika air tidak ada, seseorang boleh bertayamum dan apabila shalatnya telah selesai ia kerjakan, maka shalatnya sah. Akan tetapi apabila dalam keadaan shalat ia melihat air, timbul perbedaan apakah shalatnya ia batalkan untuk kemudian melakukan wudlu ataukah ia teruskan?
Menurut Syafi’i dan Maliki orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena ada ijmak yang mengatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum ijmak itu tetap berlaku sampai ada dalil yang mengatakan bahwa “ apabila orang yang bertayamum melihat air pada waktu shalat, maka ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan mengulangi shalatnya.”
Akan tatapi Ulama Abu Hanifah dan Ahmad mengatakan bahwa orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan mengulangi shalatnya. Mereka beralasan karena ijmak itu hanya terkait dengan sahnya shalat bagi orang yang tidak menemukan air, bukan dalam keadaan adanya air.

IV. KEHUJAHAN ISTISHAB
Berbeda dari sumber hukum yang lain, istishab didasarkan atas “persangkaan kuat” bahwa kontinuitas hukum asal tetap berlaku terus sampai ada dalil yang merubahnya. Oleh karena itu, sumber hukum ini tidak dapat dipandang sebagai dalil yang kuat untuk istinbath hukum.
Dalam hal ini, imam al Khawarizmi berkata; istishab merupakan alternative terakhir untuk fatwa. Seorang mufti jika ditanya suatu masalah, maka ia secara berurutan mencari ketetapan hukumnya dari al-Quran, sunnah, ijmak dan qiyas. Apabila dari keempat sumber hukum tersebut tidak ditemukan hukumnya, maka ia baru menerapkan dalil istishab.
Oleh sebab itu, seorang mufti apabila menghadapi masalah yang diragukan adalah زوال (masih atau tidak adanya suatu perkara), maka yang asal adalah tetapnya perkara tersebut. Misalkan ragu antara masih punya wudlu atau tidaknya, maka yang asal adalah ia masih memiliki wudlu. Contoh lain apabila seorang wanita diragukan masih perawan atau tidaknya, maka yang asal adalah ia masih perawan sampai ada dalil yang merubah sifat keperawanannya. Akan tetapi apabila yang diragukan adalah ثبوت (tetap atau tidaknya satu perkara), maka yang asal adalah hilang atau tidak adanya perkara tersebut. Contonya; seseorang ragu punya wudlu atau tidak, maka yang asal ia tidak memiliki wudlu. Dalam masalah kepemilikan misalnya; Iwan mengaku kalau sepeda milik Budi sudah menjadi milik dirinya. Hal ini diragukan antara sudah pindah kepemilikan sepeda dari Iwan ke Budi atau belum. Menurut asal adalah belum atau tidak pindahnya sifat kepemilikan tersebut, sampai ada dalil yang menyatakan hilang atau pindahnya sifat kepemilikan. Karena pada asal/dasarnya manusia (Budi dalam contoh ini) adalah bebas tanggungan dari kewajiban/tuntutan.
Istishab diterima sebagai sumber hukum bisa dilihat dari segi syara’ maupun akal. Dari segi syara’, disimpulkan bahwa hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dalil yang ada sampai ada dalil yang merubahnya. Semisal anggur yang memabukkan, berdasarkan ketetapan syara’ adalah minuman haram kecuali apabila telah berubah sifatnya, yakni sifat istkar (memabukkan) karena berubah dengan sendirinya menjadi cuka.
Dari segi logika, akal sehat dengan mudah menerima dan mendukung penggunaan istishab. Dapat dikemukakan beberapa contoh berikut ini:
 Seseorang yang adil tidak boleh dituduh telah fasiq, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan atas kefasiqannya. Yakni sampai orang yang bersangkutan benar-benar berperilaku yang berlawanan dari sifat adil.
 Apabila seseorang sebelumnya diketahui masih hidup, maka ia tidak bisa dihukumi telah meninggal kecuali apabila ada bukti yang menunjukkan atas kematiannya.
 Apabila Iwan adalah pemilik suatu barang, maka hak milik itu tidak berpindah ketangan orang lain kecuali adanya bukti. Dan masih banyak contoh lain yang berdasar istishab.

V. PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG KEHUJAHAN ISTISHAB
Ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujahan istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Ulama Mutakallimin. Menurutnya istishab bukanlah merupakan hujjah atau tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang yang ditetapkan pada masa lampau juga menghendaki adanya dalil. Hal itu juga berlaku juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Menurutnya dasar hukum pada istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Jadi sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, untuk memberlakukan hukum itu pada masa sekarang atau yang akan datang diperlukan dalil lain.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh mayoritas Ulama madzhab Hanafi. Menurut mereka istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapakan hukum. Mereka mengatakan istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk menetapkan. Artinya, istishab hanya dapat dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya, dan tidak berlaku untuk menetapkan hukum pada kasus yang baru muncul.
Pendapat yang terakhir dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, az-Zahiri dan Syiah. Mereka mengatakan istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang merubahnya.

VI. KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG TERMASUK DALAM ISTISHAB.
Ulama fiqh menetapkan beberapa kaidah yang didasarkan pada istishab, diantaranya adalah;
 الأصل بقاء ماكان علي ما كان,حتي يثبت ما يغيره
Maksudnya adalah pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya seperti kasus orang hilang diatas. Ia tetap dihukumi masih hidup sampai ada dalil yang menunjukkan atas kematiannya.
 الأصل في الأشياء الإباحة
Maksudnya adalah pada dasarnya hal-hal yang bersifat bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini, maka seluruh akad/transaksi dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan atas batalnya. Sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang melarangnya, maka hukumnya boleh-boleh aja deh.
 الأصل في الذمة البراءة من التكالف والحقوق
Maksudnya adalah pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh karana itu, seorang tergugat dalam masalah apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan menyakinkan bahwa ia bersalah.
 اليقين لا يزال بالشك
Maksudnya adalah suatu kenyakinan tidak bisa dibatalkan oleh suatu yang diragukan. Atas dasar kaidah ini, maka seseorang yang telah wudlu apabila merasa ragu apakah sudah batal atau belum, maka ia berpegang pada kenyakinannya bahwa ia belum batal. Contoh lain apabila seseorang makan sahur di akhir malam, kemudian ia ragu apakah sudah terbit fajar ataukah belum, maka dalam hal ini sahurnya diteruskan dan puasanya sah. Karena keyakinan bahwa hari masih malam lebih kuat dibanding keraguan bahwa fajar telah terbit.
Akan tetapi Ulama madzhab Maliki mengecualikan dalam masalah shalat. Menurut mereka apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka ia wajib berwudlu lagi.

VII. SIMPULAN
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas
Berdasarkan keterangan diatas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan perkawinan.
Hanya ini yang dapat disampaikan kurang lebihnya biasa.

Selengkapnya...

HAKIKAT DAN MAJAZ ( Pengertian, Kaidah, Dan Contohnya)

1. Hakikat
1.1. Pengertian dan Pembagian Hakikat
Hakikat adalah memahami setiap lafad sesuai dengan arti atau makna yang tersurat di dalamnya.
Hakikat ditinjau dari segi berbagai obyek pembahasannya ada empat:
1. al-Hakikat al-Luqhawiyyah (الحقيقة اللغوية) adalah memaknai suatu lafad dengan menggunakan pendekatan bahasa, yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli linguistik. Contoh dari hakikat ini adalah penggunaan kata manusia إنسان)) pada hewan yang berbicara (الحيوان الناطق) dan serigala pada hewan yang buas.


2. al-Hakikat as-Syar’iyyah (الحقيقة الشرعية) adalah memaknai suatu lafad dengan menggunakan pendekatan syari’at, yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli syari’at (fiqh), seperti penggunaan kata sholat pada suatu ibadah yang tertentu yang memuat perkataan, dan pekerjaan yang telah diketahui.
3. al-Hakikat al-‘Urfiyyah al-Khassah ((الحقيقة العرفية الخاصة adalah lafad yang di dalam maknanya menggunakan pendekatan kebiasaan yang tertentu. Hakikat ini juga bisa disebut dengan al-Hakikat al-Istilahiyyat. Contoh dari hakikat ini adalah seperti sebutan nasab, rafa’ dan jer yang oleh ulama nahwu biasa disebut dengan perubahan-perubahan i’rab ((حركات الإعراب.
4. al-Hakikat al-‘Urfiyyah al-‘Amah ) (الحقيقة العرفية العامةadalah lafad yang di dalam maknanya menggunakan pendekatan kebiasaan yang umum dilakukan maupun dilakukan, seperti penggunaan kata binatang pada hewan yang berkaki empat.
2. Majaz
2.1. Pengertian, Keterkaitan-keterkaitan dan Pembagian Majaz
Pengertian majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks tersebut.

Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan majaz antara lain:
1. Adanya keserupaan, yakni pengumpulan sifat tertentu antara makna hakikat dan makna majaz dalam satu lafad, contohnya adalah pada saat nabi hijrah dari Makkah ke Madinah yang diiringi dengan shalawat badar. Pada contoh tersebut menunjukan bahwa ada pengumpulan sifat tertentu yakni terangnya cahaya pada bulan bulan purnama dan wajah Nabi Muhammad SAW.
2. الكون artinya adalah menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai dengan sifat yang melekat padanya, seperti pada ayat al-Qur’an:
(النساء:2) وأتوا اليتامى اموالهم
“Dan berikanlah kepada anak yatim (yang sudah baliqh) harta mereka”.
Ayat di atas didasarkan pada ayat al-Qur’an yang lain pada surat an-nisa ayat 6:
وابتلٌوا اليتامى حتّى إذا بلغوا النّكاحَ فإن آنستم منهم رٌُشْداً فادْفعوا إليهم أموالهٌم (النساء:6)
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas, maka serahkanlah hartanya”. (QS.an-Nisa’:6).
3. ألأول adalah menamakan sesuatu sesuai dengan takwil atau penjelasan yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti pada contoh mimpi Nabi Yusuf A.s.:
إنّى أرَانِى أعْصِرٌ خَمْرًا (يوسف:36)
“Sesungguhnya aku mimpi, bahwa aku memeras anggur. (QS.Yusuf:36)
Maksud ayat di sini adalah Nabi Yusuf memeras buah anggur yang ditakwil dengan khamr.
3. ألإستعداد adalah menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, hitungan-hitungan atau pertimbangan-pertimbangan. Yang mana hal tersebut untuk menjelaskan adanya pengaruh tertentu pada sesuatu tersebut. Contohnya adalah pada kalimat racun itu mematikan, maksudnya adalah racun itu sangat kuat sekali dalam menyebabkan kematian.
4. ألحلول adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, seperti pada ayat al-Qur’an:واسأل القرية (يوسف:82) .
maksud dari ayat ini adalah bertanyalah kepada penduduk desa tersebut.

5. ألجزئية وعكسها adalah menyebutkan sebagian untuk menjelaskan keseluruhan dan menyebutkan keseluruhan untuk menjelaskan sebagiannya saja.
Contoh pertama pada ayat تبت يدا أبى لهب maksud ayat di sini bukan hanya tangan Abu Lahab saja yang harus bertaubat, tetapi juga seluruh jiwa dan raganya.
Contoh kedua pada ayat يجعلون أصابعهم فى أذانهم maksud dari lafad أصابعهم adalah
أناملهم
6. ألسببية adalah menyebutkan sebab dari suatu hal, sedang yang dimaksud adalah musabbabnya ataupun sebaliknya.
Contoh pertama adalah فلان أكل دم أخيه (sebab), maksud di sini adalah diat atau denda bagi seseorang yang telah membunuh saudaranya (musabab).
Contoh kedua adalah إعْتَدِي (kamu dalam masa `iddah) (musabab), maksud di sini adalah kamu saya talak, karena `iddah adalah musabab dari wanita yang ditalak (sebab).

Majaz juga dibagi menjadi empat:
1. Al-Majaz al-Lughowi, adalah penggunaan suatu lafad pada selain makna yang tersurat karena adanya hubungan kebahasaan, seperti penggunaan lafad أسدpada orang laki-laki yang berani.
2. Al-Majaz as-Syar’i, adalah penggunaan suatu lafad pada selain makna yang tersurat karena adanya hubungan syari’at, seperti penggunaan kata shalat pada ibadah tertentu.
3. Al-Majaz al-‘Urf al-Khas, adalah penggunaan suatu lafad pada selain makna yang tersurat karena adanya hubungan kebiasaan yang tertentu, seperti penggunaan al-Hal dalam ilmu nahwu yang menjelaskan sifat tertentu baik sifat yang terpuji ataupun yang tercela.
4. Al-Majaz al-‘Urf al-‘Am, adalah penggunaan suatu lafad pada selain makna yang tersurat karena adanya hubungan kebiasaan yang umum, seperti penggunaan lafad ألدابة pada manusia yang bodoh.



III. Kedudukan Hukum Antara Hakikat dan Majaz
Majaz adalah cabang, sedang hakikat adalah pokoknya. Karena itu majaz tidak bisa ditetapkan menjadi sebuah hukum kecuali adanya kesulitan ketika menggunakan hakikat, oleh karena itu majaz masih membutuhkan qarinah. Para ulama banyak yang berbeda pendapat tentang penggunaan majaz sebagai ganti dari hakikaat. Abu hanifah menjelaskan bahwasannya majaz bisa mengganti kedudukan hakikat hanya dari segi lafadnya saja tidak sampai kepada hukumnya, karena hakikat dan majaz adalah merupakan sifat suatu lafad dan bukan sifat suatu makna. Contohnya adalah lafad ألشجاعة yang mengganti lafad هذا أسد. Lafad ألشجاعة menurut Abu hanifah hanya mengganti dari segi bahasanya saja, sedang lafad هذا أسد menurutnya adalah hewan yang terkenal mempunyai sifat berani.
Dua orang ulama berpendapat bahwasanya pergantian itu adalah pada hukum atau maknanya juga, bukan pada lafad atau bahasanya saja, karena pergantian yang menyentuh aspek hukum itu lebih utama daripada hanya sekedar lafad atau bahasanya saja. Contohnya seperti lafad di atas yang menunjukan konsistensi sifat harimau yang berani.

IV. Simpulan
Kita harus selalu teliti terhadap suatu lafad, karena pada lafad tersebut selain mempunyai makna yang sebenarnya terkadang juga mempunyai makna yang tersirat di dalamnya. Saya mengharapkan dari keterangan ini kita bisa sedikit mengerti dan paham terhadap lafad-lafad yang mengandung suatu makna yang tersirat, karena apabila mengetahuinya kita dapat mengungkap maksud-maksud yang ada pada nash atau teks.

Selengkapnya...

Kontradiksi antara Ibarat, Isyarat, Dalalah, dan Iqtidla al-Nash

1. PENDAHULUAN.
Kita telah memahami pengertian tentang Ibarat (ungkapan nash), Isyarat (ma’na kelaziman nash), Dalalah (petunjuk nash), dan Iqtidla al-Nash (tuntutan/kehendak nash). Sekarang kita akan membahas pemahaman yang lebih mendalam tentang kekuatan penunjukan dalil-dalilnya serta jika terjadi kontradiksi antara keduanya. Hal ini penting mengingat bahwa, seseorang yang memutuskan hukum harus menggunakan dalil yang paling rajih (kuat).


2. PEMBAHASAN.
Menurut urutan kekuatan dalalahnya, maka keempat dalalah tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Ibarah al-Nash.
2. Isyarah al-Nash.
3. Dalalah al-Nash.
4. Iqtidla al-Nash.
Jika pengertian yang diambil dengan salah satu teori tersebut diatas bertentangan dengan pengertian lain yang diambil dengan teori yang lain, maka yang di menangkan adalah pengertian dari ungkapan bukan pengertin dari isyarat. Dan pengertian dari salah satu keduanya dimenangkan dari pengertian yang berdasarkan petunjuk (dalalah) .
واذا تعارض معني مفهوم من هذا الطرق، ومعني اخرمفهوم بطريق اخر منها رجح المفهوم من العبارة علي المفهوم من الاشارة، ورجح المفهوم من احدهما علي المفهوم من الدلالة.
1. Contoh kontradiksi antara ibarat nash (ungkapan) dan isyarat nash .
Firman Allah Swt:
كتب عليكم القصاص في القتلي . ( البقرة : 178)
ِِِِِِِِِ Di wajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Qs.al- Baqarah: 178).
Dengan firman Allah Swt:
ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها. (النساء : 93)
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam .( Qs.al-Nisa’: 93).
Ayat pertama, ungkapannya menunjukan adanya kewajiban qishas bagi pembunuh. Sedangkan ayat kedua, menurt isyaratnya menunjukkan bahwa pembunuh dengan sengaja tidak harus menerima qishas, karena ayat tersebut menganggap cukup bahwa balasanya adalah neraka jahannam. Bila ringkasan ini dijadikan penjelasan, maka pembunuh tersebut tidak wajib menerima hukuman lain, kecuali neraka jahannam. Namun makna dari ugkapan nash harus dimenangkan daripada isyarat, maka sipembunuh itu tetap wajib dihukum qishas .
Contoh lain adalah sabda Nabi Muhammad Saw:
اقل الحيض ثلاثة ايام واكثره عشرة.
Masa haid minimal tiga hari dan maksimal sepuluh hari.
Dibandingkan dengan sabda beliau yang menjelaskan kurang sempurnanya agama seorang wanita, yang berbunyi:
تقعد احداهن شطر عمرها لا تصلي.
Separoh umur wanita itu sia-sia karena tidak shalat.
Hadis pertama, ungkapannya menunjukkan bahwa maksimal waktu haid adalah 10 hari. Sedangkan hadis kedua, secara isyarat menunjukkan bahwa maksimal waktu haid adalah 15 hari. Dari sini di ambil pengertian bahwa maksimal masa haid adalah setengah bulan untuk membuktikan pengertian setengah umurnya tidak shalat. Ketika terjadi pertentangan dari makna ungkapan nash hadis pertama dengan makna isyarat nash hadis kedua maka pemahaman dari ungkapan lebih dimenangkan, yaitu mengira-ngirakan maksimal masa haid adalah 10 hari .
2. Contoh kontradiksi antara isyarat nash dan dalalah nash.
Firman Allah Swt: ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبةمؤمنة. (النساء:92)
…Barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja),(hendaklah ) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (Qs. al-Nisa’92).
Dan firman Allah Swt: ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم. (النساء:93)
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasanya adalah neraka jahannam, kekal didalamnya…( Qs. al-Nisa’ 93).
Ayat pertama, menurut petunjuknya (dalalahnya) dapat diambil pengertian bahwa orang yang membunuh seorang mukmin secara sengaja wajib memerdekakan seorang budak mukmin. Pemahaman tersebut diambil dari: membunuh dengan sengaja itu lebih utama daripada membunuh dengan tidak sengaja dilihat dari sisi kriminalitasnya. Memerdekakan budak adalah sarana penebus dosa , maka orang yang membunuh dengan sengaja lebih utama dari pada yang tidak sengaja dalam penebusan dosanya.
Sedangkan ayat kedua, menurut isyaratnya dapat diambil pengertian bahwa Pembunuh tidak wajib memerdekakan budak, karena pada ayat tersebut telah dikatakan bahwa balasan bagi pembunuh dengan sengaja adalah kekal di neraka jahannam, tidak yang lain. Ayat tersebut juga memberikan isyarat bahwa tidak ada penebusan dosa bagi sipembunuh di dunia. Ketika terjadi pertentangan, maka yang dimenangkan yang kedua (menurut isyarat). Jadi, pembunuh dengan sengaja tidak wajib memerdekakan budak.
Ulama madzhab Syafi’i berbeda dengan ulama madzhab Hanafi, mereka lebih mendahulukan dalalah nash dari pada dalalah isyarah. Alasannya, secara kebahasaan dalalah nash mengambil kefahaman teks (maknanya memang dituju oleh syari’ (Allah)). dan ini lebih mendekati terhadap dalalah ibarah. Sedangkan dalalah isyarah difahami dari kelaziman yang jauh dari teks (mungkin itu dituju oleh syari’ dan mungkin juga tidak). Sehingga mereka berpendapat bahwa orang yang membunuh dengan sengaja tetap diwajibkan membayar kafarat (memerdekakan budak), sebagaimana diwajibkannya kafarat tersebut terhadap pembunuh yang tidak sengaja.
Ulama madzhab Hanafi memiliki argumen sendiri. Mereka lebih mendahulukan dalalah nash dari pada dalalah isyarah, karena dalalah nash diambil dari kefahaman teks (Mafhum al-Lafdhi). sedangkan dalalah isyarah difahami dari makna kelaziman teks (Manthuk al-Lafdhi). Dalalah manthuk itu lebih diprioritaskan daripada dalalah mafhum .
3. Contoh kontradiksi antara iqtidla al-nash dengan dalalah lain.
Syekh Bukhari dalam kitab Kasyful Asror mengatakan: saya tidak menemukan pertentangan antara iqtidla al-nash dengan dalalah yang lain. Karena, dalalah iqtidla itu sendiri adalah pembenaran lafad ( Tashih al-Lafdhi ), maka jika terjadi pertentangan itu hanya antara lafadh yang ditashih oleh dalalah iqtidla dengan nash yang lain. Namun bisa saja jika kita menyebutkan contohnya:
Sabda Nabi Muhammad Saw.
رفع عن امتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه.
Telah dihapus (dosa) dari ummatku karena tersalah, lupa dan hal-hal yang mereka benci.
Dan firman Allah Swt.
ومن قتل مؤمناخطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الي اهله.
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja), hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).(Qs. al-Nisa’92).
Pada hadis diatas (lafadz pertama), menurut dalalah iqtidla orang yang berbuat sesuatu karena tersalah (tidak sengaja) diampuni dosanya. Namun pada firman Allah (lafadz kedua), menurut dalalahnya (petunjuknya) orang yang membunuh karena tersalah tetap harus memerdekakan seorang hamba sahaya dan membayar diat. Maka, jika terjadi pertentangan antara keduanya yang dimenangkan adalah yang kedua (menurut petunjuknya) yaitu, tetap terkena hukuman .
4. PENUTUP.
Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui kekuatan teori mengambil petunjuk nash,yaitu ibarah al-nash memiliki kedudukan tertinggi dalam dalalahnya, kemudian disusul isyarah al-nash, dalalah al-nash, dan terakhir iqtidla al-nash.

Selengkapnya...

Al-Musytarak { kata yang mempunyai beragam arti }.

Pendahuluan.
Dalam makalah ini, insya Allah akan dipaparkan sekelumit tentang kata yang mempunyai beragam arti, atau dalam terminologi Arab dikenal dengan istilah “ al-Musyatarak “, yang meliputi definisi, semantika, dan faktor yang menyebabkan munculnya kata ini.


Pembahasan.
Apabila di dalam nash { teks } syar’i dijumpai kata yang mempunyai beragam arti { al-Musytarak }, maka diperinci :
 Apabila kata tersebut musytarak antara arti etimologis dan arti terminologis syar’i, maka harus diinterprestasikan kepada arti terminologis syar’i . Sebagai contoh, kata “الصلاة “. Secara etimologis berarti doa. Adapun secara terminologis syara’ berarti suatu ritual ibadah khusus. Oleh karena itu, kata “ الصلاة “ dalam firman Allah “ أقيموا الصلوة “ harus diinterprestasikan kepada arti terminologis syara’.
 Apabila kata tersebut musytarak antara dua arti etimologis atau lebih, maka harus diinterpretasikan kepada salah satu artinya berdasarkan dalil yang telah menentukannya, dan tidak boleh diinterprestasikan kepada beberapa artinya secara bersamaan, karena al-Syari’ { pembuat syari’at }hanya menghendaki salah satu artinya. Dalam hal ini, seorang mujtahid harus menjadikan indikator sebagai dasar dalam penentuan arti yang dimaksud .
Definisi kata musytarak :
- Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaili, kata musytarak adalah kata yang mempunyai dua arti atau lebih .
- Menurut Abdu al-Wahhab Kholaf, kata musytarak adalah kata yang diletakkan untuk dua arti atau lebih dengan beragam peletakan. kata ini menunjukkan salah satu artinya secara bergantian, dengan penjelasan, kata ini dapat menunjukkan arti ini atau arti itu .
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, sebuah kata dapat dikatakan musytarak, bila memenuhi dua kriteria berikut :
1. Beragamnya peletakan kata.
2. Beragamnya arti . Contoh :
 Kata “قضى “ yang terdapat dalam al-Qur’an, dapat menunjukkan arti :
1. memerintah {أمر }, sebagaimana firman Allah :
" وقضى ربك ألا تعبد وا إلا إياه " أى أمر.
2. memberitahukan {أعلم }, sebagaimana firman Allah :
" وقضينا إلى بنى إسرائيل فى الكتاب " أى أعلمنا.
3. memastikan {حتم }, sebagaimana firman Allah :
" فيمسك التى قضى عليها الموت " أى أبرم وحتم.
Faktor penyebab munculnya kata yang musytarak.
Ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya kata musytarak dalam bahasa { arab }, yang terpenting ialah :
 Perbedaan peletakan linguistik terhadap suatu kata yang terjadi di antara elemen masyarakat, sehingga berimplikasi pada terjadinya perbedaan dalam pengartian kata tersebut. Sebagian meletakkan suatu kata untuk satu arti, sedang yang lain meletakkannya untuk arti yang lain. Sebagai contoh : kata “اليد “, sebagian elemen meletakkan untuk arti keseluruhan dzira’, elemen yang lain meletakkan untuk arti lengan dan telapak tangan, sedang sebagian elemen lagi meletakkannya untuk arti telapak tangan saja. Oleh sebab itu, orang yang mentransfer bahasa menetapkan bahwa kata “اليد “ dalam bahasa arab mempunyai tiga arti tersebut .
 Awalnya, suatu kata diletakkan untuk satu arti, kemudian kata tersebut digunakan untuk arti yang lain secara metafora { majaz }. Penggunaan arti yang kedua ini, kemudian dikenal luas oleh masyarakat, sehingga seakan-akan merupakan arti sesungguhnya dari kata tersebut, bukan arti majazi lagi. Oleh karena itu, ilwuman linguistik menetapkan bahwa kata tersebut mempunyai dua arti di atas.
 Perkembangan penggunaan kata atau yang lebih dikenal “ الإشتراك المعنوي “, yaitu : sebuah kata diletakkan untuk arti yang universal yang mencakup dua arti, sehingga kata tersebut layak untuk mempunyai kedua arti itu, kemudian orang lupa terhadap arti asalnya, sehingga mereka menyangka bahwa kata tersebut termasuk dalam kategori kata yang “المشترك اللفظي “ .
Kata yang musytarak bentuknya beragam, berupa isim ( noun ), fi’il ( verb ) seperti fi’il amr ( kalimat perintah ), apakah menunjukkan perintah wajib atau sunah, atau berupa harf, seperti huruf “الواو “, apakah menunjukkan ‘athaf (عطف ), atau hal ( الحال ) .
Semantika kata yang musytarak.
Para ulama ushul menetapkan bahwa “الإشتراك “ tidak sesuai dengan asal. Dengan penjelasan, jika dalam sebuah kata, timbul keraguan antara kemungkinan adanya “الإشتراك “ dan tidak, maka yang lazim dalam anggapan ialah tidak adanya “الإشتراك “ dan ini yang kuat. Adapun kemungkinan adanya “الإشتراك “ adalah lemah. Oleh sebab itu, bila dalam al-Qur’an dan hadits terdapat kata yang ada kemungkinan “الإشتراك “ dan tidak, maka yang kita unggulkan adalah tidak adanya “الإشتراك “. Namun bila telah dipastikan adanya “الإشتراك “ dalam sebuah kata, maka seorang mujtahid harus mengunggulkan salah satu artinya, dengan menggunakan indikator, baik berupa teks maupun konteks. Yang dimaksud dengan indikator teks adalah indikator yang menyertai teks. Adapun indikator konteks ialah keadaan tertentu orang ِِِArab saat munculnya teks . Sebagai contoh, kata “القرء “. Kata ini mempunyai dua arti etimologi yaitu haid dan suci { dari haid }. Dalam hal ini, para ulama Syafi’iyah dan Malikiyah mengunggulkan arti suci dengan indikator kata “ثلاثة “ . Kata “ثلاثة “ adalah sebuah bilangan, yang dalam susunan bahasa arab, harus opposite { berlainan bentuk } dengan yang dibilang { معدود }. Oleh karena itu, pemuanatsan { التأنيث } bilangan adalah indikator bahwa yang dibilang { معدود } berupa mudzakkar yaitu “الطهر “ bukan “ الحيضة “. Adapun para ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengunggulkan arti haid dengan alasan yaitu kata “ثلاثة “ adalah kata yang spesifik, yang secara dogmatis menunjukkan bahwa masa ‘iddah { penantian } adalah tepat tiga haidan, tidak kurang atau lebih. Hal ini, hanya bisa diaktualkan jika maksud dari kata “القرء “ adalah haid. Contoh pengunggulan { الترجيح } arti dengan indikator teks adalah kata “الصلاة “ dalam firman Allah : “إن الله وملائكته يصلون على النبي “. Dalam hal ini, arti yang dikehendaki adalah arti etimologis yaitu doa, dengan indikator teks berupa pengaitan { نسبة } kata “الصلاة “ kepada Malaikat. Dengan demikian, maksud dari kata “الصلاة “ ini adalah permohonan ampunan, bukan ritual ibadah yang lazim dilakukan oleh manusia.
Contoh pengunggulan arti dengan indikator konteks adalah firman Allah :
. “ولا تقربوهن حتى يطهرن ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء فى المحيض“
Kata “المحيض “ secara etimologis berarti waktu dan tempat haid. Oleh karena itu, kata ini termasuk kata yang musytarak, akan tetapi ada indikator konteks yang menunjukkan bahwa arti yang dikehendaki adalah tempat bukan waktu, karena orang Arab saat itu tetap melakukan making love { hubungan badan } dengan isterinya saat sedang haid .
Para ulama berselisih pendapat dalam hal : jika tidak ada indikator sama sekali yang dapat digunakan untuk mengunggulkan salah satu arti dari kata yang musytarak, sebagai berikut :
 Mayoritas ulama Hanafiyah dan Imam al-Amidi, salah satu ulama Syafi’iyah, berpendapat : harus dipending terlebih dahulu, sampai ditemukan indikator yang menentukan salah satu artinya. Kata yang musytarak tidak boleh digunakan untuk keseluruhan artinya dalam sekali tempo, baik dalam kalimat positif maupun negatif, karena kata yang musytarak diletakkan untuk menunjukkan beragam artinya, bukan dengan satu peletakan saja, akan tetapi dengan beragam peletakan pula. Dengan demikian, keseluruhan artinya tidak boleh dinggap sebagai arti yang subtansial semua, karena kata yang musytarak diletakkan tidak untuk hal itu. Menghendaki keseluruhan artinya tidak cocok dengan beragam peletakan tersebut, bahkan dapat berimbas pada hampanya perkataan. Inilah arti dari ungkapan ulama “ Sesungguhnya kata yang musytarak tidak menunjukkan keumuman “ .
 Mayoritas ulama Syafi’iyah, al-Qodli ‘Abd al-Jabbar, salah satu ulama Mu’tazilah dan Ibn al-Hajib, yang mentransfer pendapat Imam Malik, berpendapat : kata yamg musytarak boleh digunakan untuk keseluruhan artinya dan boleh juga menghendaki masing-masing artinya, baik dalam kalimat positif ataupun negatif. Ini sesuai dengan pendapat mereka bahwa kata yang musytarak itu, menunjukkan keumuman, dengan penjelasan, boleh menghendaki keseluruhan artinya, namun bila ingin menginterprestasikan kepada salah satu artinya, maka harus berdasar pada indikator. Mereka berpendapat demikian dengan dalil firman Allah :
" إن الله وملائكته يصلون على النبي ". Kata “الصلاة “ adalah musytarak antara arti ampunan { المغفرة } dan permohonan ampunan { الإستغفار }. Dalam hal ini, kata “الصلاة “ digunakan untuk kedua arti tersebut secara bersamaan, karena Allah menyandarkan kata “الصلاة “ ini kepada-Nya dan malaikat. Kata “الصلاة “ apabila disandarkan kepada Allah, berarti ampunan dan jika disandarkan kepada malaikat, berarti permohonan ampunan. Namun pendapat ini ditentang dengan pernyataan bahwa kata “الصلاة “ digunakan untuk arti, yang mencakup ampunan dan permohonan ampunan, yaitu menaruh perhatian dengan memperlihatkan kemuliaan { الإعتناء بإظهار الثرف }. Dengan demikian, ini termasuk dalam kategori “ الإشتراك المعنوي “, bukan “ الإشتراك اللفظي “.
 Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat : kata yang musytarak menunjukkan keumuman dalam kalimat negatif sebagaimana “النكرة “, tidak di dalam kalimat positif. Oleh karena itu, orang yang bersumpah untuk tidak berbicara dengan “موالى “ Bokir, misalnya, maka sumpah ini mencakup “ المولى الأعلى “ yaitu majikan dan “ المولى الأسفل “ yaitu budak yang telah dimerdekakan. Dengan demikian, jika ia { orang yang bersumpah } berbicara dengan keduanya, maka ia termasuk orang melanggar sumpah, karena kata “المولى “ ini musytarak dan berada dalam kalimat negatif, sehingga mencakup kedua arti tersebut .
Simpulan.
Dari uraian di atas dapat diambil benang merah, yaitu kata yang musytarak merupakan permasalahan yang rumit. Untuk menentukan salah satu artinya, membutuhkan kejelian dan upaya keras dalam mencari indikatornya. Dalam hal ini, yang berwenang adalah seorang mujtahid

Selengkapnya...