Pendahuluan.
Dalam makalah ini, insya Allah akan dipaparkan sekelumit tentang kata yang mempunyai beragam arti, atau dalam terminologi Arab dikenal dengan istilah “ al-Musyatarak “, yang meliputi definisi, semantika, dan faktor yang menyebabkan munculnya kata ini.
Pembahasan.
Apabila di dalam nash { teks } syar’i dijumpai kata yang mempunyai beragam arti { al-Musytarak }, maka diperinci :
Apabila kata tersebut musytarak antara arti etimologis dan arti terminologis syar’i, maka harus diinterprestasikan kepada arti terminologis syar’i . Sebagai contoh, kata “الصلاة “. Secara etimologis berarti doa. Adapun secara terminologis syara’ berarti suatu ritual ibadah khusus. Oleh karena itu, kata “ الصلاة “ dalam firman Allah “ أقيموا الصلوة “ harus diinterprestasikan kepada arti terminologis syara’.
Apabila kata tersebut musytarak antara dua arti etimologis atau lebih, maka harus diinterpretasikan kepada salah satu artinya berdasarkan dalil yang telah menentukannya, dan tidak boleh diinterprestasikan kepada beberapa artinya secara bersamaan, karena al-Syari’ { pembuat syari’at }hanya menghendaki salah satu artinya. Dalam hal ini, seorang mujtahid harus menjadikan indikator sebagai dasar dalam penentuan arti yang dimaksud .
Definisi kata musytarak :
- Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaili, kata musytarak adalah kata yang mempunyai dua arti atau lebih .
- Menurut Abdu al-Wahhab Kholaf, kata musytarak adalah kata yang diletakkan untuk dua arti atau lebih dengan beragam peletakan. kata ini menunjukkan salah satu artinya secara bergantian, dengan penjelasan, kata ini dapat menunjukkan arti ini atau arti itu .
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, sebuah kata dapat dikatakan musytarak, bila memenuhi dua kriteria berikut :
1. Beragamnya peletakan kata.
2. Beragamnya arti . Contoh :
Kata “قضى “ yang terdapat dalam al-Qur’an, dapat menunjukkan arti :
1. memerintah {أمر }, sebagaimana firman Allah :
" وقضى ربك ألا تعبد وا إلا إياه " أى أمر.
2. memberitahukan {أعلم }, sebagaimana firman Allah :
" وقضينا إلى بنى إسرائيل فى الكتاب " أى أعلمنا.
3. memastikan {حتم }, sebagaimana firman Allah :
" فيمسك التى قضى عليها الموت " أى أبرم وحتم.
Faktor penyebab munculnya kata yang musytarak.
Ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya kata musytarak dalam bahasa { arab }, yang terpenting ialah :
Perbedaan peletakan linguistik terhadap suatu kata yang terjadi di antara elemen masyarakat, sehingga berimplikasi pada terjadinya perbedaan dalam pengartian kata tersebut. Sebagian meletakkan suatu kata untuk satu arti, sedang yang lain meletakkannya untuk arti yang lain. Sebagai contoh : kata “اليد “, sebagian elemen meletakkan untuk arti keseluruhan dzira’, elemen yang lain meletakkan untuk arti lengan dan telapak tangan, sedang sebagian elemen lagi meletakkannya untuk arti telapak tangan saja. Oleh sebab itu, orang yang mentransfer bahasa menetapkan bahwa kata “اليد “ dalam bahasa arab mempunyai tiga arti tersebut .
Awalnya, suatu kata diletakkan untuk satu arti, kemudian kata tersebut digunakan untuk arti yang lain secara metafora { majaz }. Penggunaan arti yang kedua ini, kemudian dikenal luas oleh masyarakat, sehingga seakan-akan merupakan arti sesungguhnya dari kata tersebut, bukan arti majazi lagi. Oleh karena itu, ilwuman linguistik menetapkan bahwa kata tersebut mempunyai dua arti di atas.
Perkembangan penggunaan kata atau yang lebih dikenal “ الإشتراك المعنوي “, yaitu : sebuah kata diletakkan untuk arti yang universal yang mencakup dua arti, sehingga kata tersebut layak untuk mempunyai kedua arti itu, kemudian orang lupa terhadap arti asalnya, sehingga mereka menyangka bahwa kata tersebut termasuk dalam kategori kata yang “المشترك اللفظي “ .
Kata yang musytarak bentuknya beragam, berupa isim ( noun ), fi’il ( verb ) seperti fi’il amr ( kalimat perintah ), apakah menunjukkan perintah wajib atau sunah, atau berupa harf, seperti huruf “الواو “, apakah menunjukkan ‘athaf (عطف ), atau hal ( الحال ) .
Semantika kata yang musytarak.
Para ulama ushul menetapkan bahwa “الإشتراك “ tidak sesuai dengan asal. Dengan penjelasan, jika dalam sebuah kata, timbul keraguan antara kemungkinan adanya “الإشتراك “ dan tidak, maka yang lazim dalam anggapan ialah tidak adanya “الإشتراك “ dan ini yang kuat. Adapun kemungkinan adanya “الإشتراك “ adalah lemah. Oleh sebab itu, bila dalam al-Qur’an dan hadits terdapat kata yang ada kemungkinan “الإشتراك “ dan tidak, maka yang kita unggulkan adalah tidak adanya “الإشتراك “. Namun bila telah dipastikan adanya “الإشتراك “ dalam sebuah kata, maka seorang mujtahid harus mengunggulkan salah satu artinya, dengan menggunakan indikator, baik berupa teks maupun konteks. Yang dimaksud dengan indikator teks adalah indikator yang menyertai teks. Adapun indikator konteks ialah keadaan tertentu orang ِِِArab saat munculnya teks . Sebagai contoh, kata “القرء “. Kata ini mempunyai dua arti etimologi yaitu haid dan suci { dari haid }. Dalam hal ini, para ulama Syafi’iyah dan Malikiyah mengunggulkan arti suci dengan indikator kata “ثلاثة “ . Kata “ثلاثة “ adalah sebuah bilangan, yang dalam susunan bahasa arab, harus opposite { berlainan bentuk } dengan yang dibilang { معدود }. Oleh karena itu, pemuanatsan { التأنيث } bilangan adalah indikator bahwa yang dibilang { معدود } berupa mudzakkar yaitu “الطهر “ bukan “ الحيضة “. Adapun para ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengunggulkan arti haid dengan alasan yaitu kata “ثلاثة “ adalah kata yang spesifik, yang secara dogmatis menunjukkan bahwa masa ‘iddah { penantian } adalah tepat tiga haidan, tidak kurang atau lebih. Hal ini, hanya bisa diaktualkan jika maksud dari kata “القرء “ adalah haid. Contoh pengunggulan { الترجيح } arti dengan indikator teks adalah kata “الصلاة “ dalam firman Allah : “إن الله وملائكته يصلون على النبي “. Dalam hal ini, arti yang dikehendaki adalah arti etimologis yaitu doa, dengan indikator teks berupa pengaitan { نسبة } kata “الصلاة “ kepada Malaikat. Dengan demikian, maksud dari kata “الصلاة “ ini adalah permohonan ampunan, bukan ritual ibadah yang lazim dilakukan oleh manusia.
Contoh pengunggulan arti dengan indikator konteks adalah firman Allah :
. “ولا تقربوهن حتى يطهرن ويسألونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء فى المحيض“
Kata “المحيض “ secara etimologis berarti waktu dan tempat haid. Oleh karena itu, kata ini termasuk kata yang musytarak, akan tetapi ada indikator konteks yang menunjukkan bahwa arti yang dikehendaki adalah tempat bukan waktu, karena orang Arab saat itu tetap melakukan making love { hubungan badan } dengan isterinya saat sedang haid .
Para ulama berselisih pendapat dalam hal : jika tidak ada indikator sama sekali yang dapat digunakan untuk mengunggulkan salah satu arti dari kata yang musytarak, sebagai berikut :
Mayoritas ulama Hanafiyah dan Imam al-Amidi, salah satu ulama Syafi’iyah, berpendapat : harus dipending terlebih dahulu, sampai ditemukan indikator yang menentukan salah satu artinya. Kata yang musytarak tidak boleh digunakan untuk keseluruhan artinya dalam sekali tempo, baik dalam kalimat positif maupun negatif, karena kata yang musytarak diletakkan untuk menunjukkan beragam artinya, bukan dengan satu peletakan saja, akan tetapi dengan beragam peletakan pula. Dengan demikian, keseluruhan artinya tidak boleh dinggap sebagai arti yang subtansial semua, karena kata yang musytarak diletakkan tidak untuk hal itu. Menghendaki keseluruhan artinya tidak cocok dengan beragam peletakan tersebut, bahkan dapat berimbas pada hampanya perkataan. Inilah arti dari ungkapan ulama “ Sesungguhnya kata yang musytarak tidak menunjukkan keumuman “ .
Mayoritas ulama Syafi’iyah, al-Qodli ‘Abd al-Jabbar, salah satu ulama Mu’tazilah dan Ibn al-Hajib, yang mentransfer pendapat Imam Malik, berpendapat : kata yamg musytarak boleh digunakan untuk keseluruhan artinya dan boleh juga menghendaki masing-masing artinya, baik dalam kalimat positif ataupun negatif. Ini sesuai dengan pendapat mereka bahwa kata yang musytarak itu, menunjukkan keumuman, dengan penjelasan, boleh menghendaki keseluruhan artinya, namun bila ingin menginterprestasikan kepada salah satu artinya, maka harus berdasar pada indikator. Mereka berpendapat demikian dengan dalil firman Allah :
" إن الله وملائكته يصلون على النبي ". Kata “الصلاة “ adalah musytarak antara arti ampunan { المغفرة } dan permohonan ampunan { الإستغفار }. Dalam hal ini, kata “الصلاة “ digunakan untuk kedua arti tersebut secara bersamaan, karena Allah menyandarkan kata “الصلاة “ ini kepada-Nya dan malaikat. Kata “الصلاة “ apabila disandarkan kepada Allah, berarti ampunan dan jika disandarkan kepada malaikat, berarti permohonan ampunan. Namun pendapat ini ditentang dengan pernyataan bahwa kata “الصلاة “ digunakan untuk arti, yang mencakup ampunan dan permohonan ampunan, yaitu menaruh perhatian dengan memperlihatkan kemuliaan { الإعتناء بإظهار الثرف }. Dengan demikian, ini termasuk dalam kategori “ الإشتراك المعنوي “, bukan “ الإشتراك اللفظي “.
Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat : kata yang musytarak menunjukkan keumuman dalam kalimat negatif sebagaimana “النكرة “, tidak di dalam kalimat positif. Oleh karena itu, orang yang bersumpah untuk tidak berbicara dengan “موالى “ Bokir, misalnya, maka sumpah ini mencakup “ المولى الأعلى “ yaitu majikan dan “ المولى الأسفل “ yaitu budak yang telah dimerdekakan. Dengan demikian, jika ia { orang yang bersumpah } berbicara dengan keduanya, maka ia termasuk orang melanggar sumpah, karena kata “المولى “ ini musytarak dan berada dalam kalimat negatif, sehingga mencakup kedua arti tersebut .
Simpulan.
Dari uraian di atas dapat diambil benang merah, yaitu kata yang musytarak merupakan permasalahan yang rumit. Untuk menentukan salah satu artinya, membutuhkan kejelian dan upaya keras dalam mencari indikatornya. Dalam hal ini, yang berwenang adalah seorang mujtahid
0 Response to "Al-Musytarak { kata yang mempunyai beragam arti }."
Posting Komentar