MENURUT HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH
I. PENDAHULUAN
Fiqih Islam lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam karena sebagaimana dimaklumi agama Islam sendiri adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesama. Karena luasnya aspek yang diatur oleh Islam para ahli membagi ajaran Islam ke dalam beberapa bidang seperti bidang aqidah, ibadah, dan muamalah
Kesemua ini di masa Rosulullah di terangkan dalam Al Qur’an sendiri yang kemudian diperjelas oleh Rosulullah dalam Sunnahnya. Hukum yang di tetapkan dalam Al Qur’an/Sunnah kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau disebabkan terjadi suatu kasus atau merupakan suatu keputusan yang di keluarkan oleh Rosulullah ketika memutuskan suatu perkara. Jadi sumber fiqih di masa itu hanya ada dua yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul .
Ilmu Ushul Fiqih baru lahir pada Abad ke 2 H. Pada abad ini kekuasaan umat Islam semakin luas banyak orang yang bukan arab memeluk Agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan perbedaan dalam memahami nash. Sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash. Maka lahirlah Ilmu Ushul Fiqih yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Namun semenjak lahirnya Ilmu Ushul Fiqih sebagaimana juga Ilmu Pengetahuan yang lainnya baru dalam bentuk yang sangat sederhana. Pembahasannya masih berserakan dalam pembahasan dalil yang dikemukakan untuk memperkuat dan mempertahankan pendapat.
Dalam pengambangan Ilmu Ushul Fiqih banyak sekali Ulama’-ulama’ Madzhab yang berkembang pada zaman tersebut. Tentu saja mereka mempunyai pendapat yang berbeda beda. Mazhab-mazhab tersebut seperti: Imam Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali
Oleh karena itu penulis tertarik dengan karakteristik imam-imam mazhab tersebut. Dalam kajian ini penulis mencoba menyajikan karakteristik Ushul Fiqih menurut Hanafiyyah dan Syafiiyah. Semoga makalah yang sedikit ini dapat bermanfaat. Amin…….!
II. PEMBAHASAN
A. HANAFIYAH
Imam Abu Hanifah di lahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 M). Beliau mula-mula mempelajari Ilmu Kalam, kemudian mempelajari Ilmu Fiqih dengan seorang yang bernama Hamad Bin Sulaiman di kota Kufah dan wafat pada tahun 150 H (769M) di Bagdad.
Irak dimana Abu Hanifah dilahirkan suatu daerah yang penuh dengan pergolakan politik dan letaknya jauh dari kota Madinah yang tentunya jumlah hadist yang ada di daerah ini sangat sedikit dan juga kalangan Khawarij dan Syiah yang berupaya menarik perhatian umat Islam unutk memperkuat propaganda politik mereka.
Dasar-dasar istidlal yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash AlQur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan suatu hukum itu disebut, maka beliau mengambil dari keduanya. Tetapi bila nash tersebut menunjukkan secara tidak langsung/hanya memberikan kaidah-kaidah dasar yang menunjukkan moral, Illat maka pengambilan hukum tersebut melalui Qiyas.
Dalam pernyatan tersebut Abu Hanifah tidak menyebutkan Qiyas dan Ihtishan ke dalam dasar-dasar yang menjadi pijakan dalam berijtihad sebab yang Beliau maksudakan ialah dasar Naqliyah sementara Qiyas dan Istihsan merupakan metode Istidlal Aqliyah. Masalah ini dapat di pahami dari pernyataan Abu Hanifah bahwa ” beliau tidak merujuk pada pendapat sahabat kecuali apabila tidak ditemukan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi. Demikian pula apabila tidak ditemukan dalam pendapat sahabat dan masalahnya sampai pada tabiin maka Beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad “.
Dalam masalah ini sebenarnya belum ada perbedaan dengan para imam yang lain. Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan yang lain sebenarnya terletak pada kegemaran Beliau dalam menyelami suatu hukum, mencari tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah teori penggunaan qiyas,istihsan, urf (adat kebiasaan), kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan yang lebih tajam lagi bahwa Imam Abu Hanifah menggunakan
teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penggunaan hadist ahad, tidak seperti para imam lainnya. Imam Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dengan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka, illat, hikmah, dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang Beliau pahami. Betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang acapkali menyelami dibalik arti dan illat suatu hukum dan sering mempergunakan Qiyas tetapi itu tidak berarti beliau telah mengabaikan nash-nash Al Quran dan sunnah. Tidak ada riwayat shohih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Sunnah. Bahkan jika beliau menemukan pendapat sahabat yang benar beliau menolak untuk berujtihad. Dengan kata lain pemikiran fikih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri, tetapi malah berakar kuat pada pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz.
Muhammad Bin Ahsan, seperti yang dikutip oleh Abu Zahrah membenarkan dalam masalah hukum seseorang melakukan hubungan dengan istrinya sebelum Tawaf, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas seorang ulama’ Ahli Hadits Makkah dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
Secara faktual pemikiran Abu Hanifah memang sangat mendalam dan rasional. Beliau memberi syarat yang cukup ketat dan selektif dalam penerimaan hadits ahad. Bagi Abu Hanifah ada 3 syarat yang harus di penuhi dalam penerimaan hadits ahad sbb:
1. Orang yang meriwayatkan hadits tidak boleh berbuat/berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan.
2. Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum dan sering terjadi sebab kalau menyangkut persoalan umum dan sering terjadi mestinya hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi tidak seorang saja.
3. Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah – kaidah umum atau dasar – dasar kulliyah.
Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh fuqoha’ dari pada seorang ahli hadits kejujuran saja belum cukup unutk mengetahui seluk beluk hadits apalagi yang menyangkut hukum. Oleh karena itu Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang mengerti masalah fiqih.
Kondisi sosiologis dimana Abu Hanifah dibesarkan tentu mempengaruhi cara berfikir. Dengan sikap selektif dalam penerimaan hadits ahad Abu Hanifah dapat lebih leluasa melakukan penafsiran hadits-hadits shahih, menyelami tujuan moral dan banyak mempergunakan rasio sehingga mampu memberi jawaban perkembangan terhadap berbagai perkembangan pada saat itu. Para ahli fiqih diwilayah Kufah lebih banyak mengenal dan mengerti hadits dari fuqoha bukan dari para muhaddisin. Sudah barang tentu Abu Hanifah dituntut untuk menyeleksi hadits yang sampai ke Kufah atau minimal menyangsikan kesahihan hadits atau perawinya yang tidak memenuhi persyaratan. Dari situ beliau cenderung memakai rasio dan ijtihad.
Dr. Faruq Abu Zaid menyebut beberapa faktor lain yang melatar belakangi kecenderungan dan metode rasional Abu Hanifah. Penduduk Kufah tempat Beliau dilahirkan dan dibesarkan merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqoha’ daerah ini sering dihadapkan pada berbagai pedoman hidup berikut problematikanya yang beranekaragam. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan Hijaz. Masyarakat daerah ini masih diliputi oleh suasana kehidupan Badawah (sederhana) seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam kondisi seperti ini para ahli fiqih merasa cukup dengan mengandalkan Al Quran, Sunnah dan Ijma’ para sahabat. Karena itulah mereka tidak merasa perlu berijtihad seperti fuqoha’ Irak.
Faktor lain yang menyebabkan Abu Hanifah menjadi seorang rasionalis bahwa Beliau tidak langsung menggumuli Ilmu-ilmu syariat. Pada awal kehidupan Iklmiahnya Beliau mempelajari Ilmu kalam kemudian belajar Fiqih kepada Syeh Hammad Bin Sulaiman. Beliau juga seorang pedagang kain yang menyebabkan Beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang perdagangan. Studinya dalam Ilmu kalam membuatnya tampil dalam menggunakan logika unutk mengatasi berbagai persoalan Fiqih.
B. SYAFIIYAH
Muhammad Bin Idris Asy Syafii dilahirkan dikota Gaza (Palestina) pada tahun 150 H ketika masih kecil dibawa Ibunya ke Makkah dan di kota tersebut Beliau belajar Hadis dengan Muslim Al Zanji dan Sofyan Bin Umaiyah. Sesudah itu Beliau meneruskan pelajarannya ke kota Madinah dan belajar dengan Imam Malik.
Setelah beberapa tahun Beliau melakukan perjalanannya ke berbagai kota kemudian beliau sempat singgah di Bagdad selama beberapa tahun. Selama di Bagdad Beliau menghimpun pandangan Fiqihnya berdasarkan pengalaman yang sudah dialaminya dalam sebuah kitab yang dinamakan “Al Hujjah” dan juga dinamakan mazhab qadim/qoul qadim. Pada tahun 198 H atas permintaan Gubernur Abbas Bin Musa untuk mengunjungi Mesir dan beliau berada di Mesir selama 6 tahun sampai beliau wafat pada tahun 204 H. Selama di Mesir Beliau mengubah pendapatnya yang lama yang di tulis pada saat di Bagdad di ganti dengan pendapat baru yang dinamakan pendapat jadid/qoul jadid yang terhimpun dalam kitab “Al Um” selama dalam perantauan. Disamping itu Imam Syafii juga menulis kitab “Ar Risdalah” yang menjadi dasar Ilmu Ushul Fiqih.
Mazhab Syafii adalah satu-satunya mazhab yang tersebar tanpa mendapat dukungan dari pemerintah tersebar dikarenakan dalam menetapkan hukum selalu mempergunakan dalil nash. Karena itu ajaran imam Syafii dapat menghimpun kedua aliran yang berkembang pada masanya yaitu Ahli Hadits dan Ahlu Ra’yi. Karena Beliau pernah belajar kepada kedua tokoh aliran tersebut. Namun Beliau tidak terpengaruh kepada Aliran Ahlu Ra’i tetapi lebih banyak kepada aliran Ahlul hadits.
Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash selama tidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi. Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin
dan ijmak baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.
Imam Syafii menyebutkan 4 cara Al Qur’an dalam menerangkan suatu hukum sbb:
1. Al Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas. Seperti nash yang mewajibkan sholat, zakat, puasa, haji atau nash yang mengharamkan zina, minum khomr dll.
2. Suatu hukum yang disebut secara global dalam Al Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Seperti jumlah rokaat Sholat, waktu pelaksanaannya, zakat apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkannya. Semua itu disebut secara global dalam Al Qur’an dan Nabilah yang menerangkan secara perinci.
3. Nabi Muhammad SAW juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al Qur’an. Bentuk penjelasan penjelasan Al Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada Nabi dan menjauhi larangannya. Dalam Al Qur’an disebutkan yang artinya sbb:
“….. Barang siapa yang taat kepada Rosul berarti ia taat kepada Allah …” (Q.s 4:80)
Dengan demikian suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al Qur’an. Karena Al Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi … (Qs 59:7)
4. Allah juga mewajibkan hambanya unutk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuannya dalam Al Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al Qur’an terhadap masalah seperti ini yaitu dengan membolehkan untuk berijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap Maqasid Al Syar’iah (tujuan-tujuan hukum syariah) misalnya dengan Qiyas / penalaran analogi. Dalam Al Qur’an disebutkan:
“ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rosulnya dan orang-orang yang mempunyai kekuasaan diantara kamu. Maka apabila kamu berselsih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rosulnya “ (Qs.4:59)
Menurut Imam Syafii kembalikan kepada Allah dan Rosulnya berarti kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat dilakukan dengan Qiyas. Beliau juga menyebutkan bahwa Ijtihad merupakan perintah AlQur’an itu sendiri dan bukan merekayasa hukum.
Dari keterangan tersebut dapat diketahui “posisi tengah” pemikiran metodologis Syafii. Beliau sangat berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah.
III. KESIMPULAN
Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa sesuai dengan kondisi di irak Imam Abu Hanifah dalam membina Fiqihnya lebih dahulu mengutamakan AlQur’an sebagaimana imam-imam yang lain kemudian Sunnah. Hanya dalam pemakaian Sunnah beliau meletakkan syarat yang sangat berat sekali. Jadi dengan demikian jelas Imam Abu Hanifah diantara imam-imam Mazhab lainnya terkenal yang paling banyak mempergunakan rasio.
Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash selam atidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi. Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin
dan ijmak baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.
FIQH PADA MASA SAHABAT
Oleh; Muhammad Bahruddin
I. PENDAHULUAN
Ketika Rosulullah masih hidup, semua persolan langsung di serahkan pada beliau yang juga langsung mendapat bimbingan khusus dari Allah melalui wahyu yang turun setiap kali ada persoalan. Beliau tidak sekedar sebagai Nabiyullah, namun juga sebagai Bapak bagi seluruh umat Islam. Setelah Nabi wafat umat Islam seakan kehilangan sosok yang selama ini menjadi panutan bagi mereka. Mereka bingung kemana lagi harus mengadu. Untunglah Nabi mempunyai sahabat-sahabat yang gigih, tak kenal lelah dalam memperjuangkan Islam. Sahabat-sahabat inilah yang nantinya menggantikan Nabi. Fiqh yang semula di tangani Rosulullah, kini berpindah di pundak tanggung jawab sahabat, yang untuk selanjutnya kita sebut sebagai "FIQH ERA SAHABAT".
Periode ini di mulai setelah wafatnya Rosulullah saw. pada tahun 11 H. dan berakhir di penghujung abad I H. Kami menyebut masa ini sebagai periode sahabat karena pda masa ini pembinaan hukum di pegang oleh para pembesar sahabat.
Pada periode inilah mulai di buka pintu istimbat terhadap peristiwa aktual yang belum ada nashnya, dan para sahabat mulai mengeluarkan pendapat-pendapatnya di dalam menafsiri nash-nash hukum yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus di anggap sebagai rujukan generasi selanjutnya di dalam menafsirkan nash-nash tersebut. Dari para sahabat inilah banyak di dapat fatwa-fatwa mengenai suatu hukum yang belum ada nashnya, sekaligus di jadikan dasar peletakan ijtihad dan istimbat.
Dalam makalah yang kecil ini, sedikit kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan fiqh pada periode ini, baik sumber-sumber hukum, perkembangan, maupun peranan sahabat. Semoga makalah kecil ini dapat bermanfaat bagi kita dan mebuka cakrawala pemikiran kita dalam meneruskan perjuangan baginda Rosulullah saw. Amin…
II. PEMBAHASAN
II.A. PERANAN SAHABAT
Pada periode pertama Rosulullah meninggalkan undang-undang ynag berisi nash-nash hukum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bagi umat Islam. Namun demikian, tidak setiap muslim dapat merujuk sendiri atau memahami dalil-dalil tersebut, terutama orang-orang awam yang tidak bisa mencapai pemahaman nash-nash kecuali melalui orang-orang yang dapat memahaminya. Di sisi lain, undang-undang ini belum tersebar luas di kalangan muslimin sehingga dapat di nikmati setiap individu muslimin, karena pada periode ini ayat-ayat Al-Qur’an masih tersebar di lembaran-lembaran khusus yang di simpan di kediaman Rosulullah saw dan sebagian sahabat, tentu saja As-Sunnah juga belum di kodifikasikan sama sekali. Dari sinilah para cendikiawan dan tokoh-tokoh sahabat terinspirasi dan merasa bertanggung jawab untuk menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an serta mempublikasikannya ke seluruh penjuru jazirah Arab. Para sahabat inilah yang memiliki peranan urgen dalam menjaga eksistansi perjuangan Rosulullah saw. dan sebagai rujukan terhadap permasalahan yang terus muncul bagai jamur di musim penghujan, karena memang kelebihan mereka dalam hafalan Al-Qur’an dan As-Sunnah, asbabun nuzul, serta lamanya mereka hidup bersama Nabi.
Di antara para sahabat yang terkenal dalam memberi fatwa adalah:
Di Madinah: al-Khulafaur Rosidun, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan ‘Aisyah.
Di Makkah : Abdullah bin Abbas.
Di Kufah : Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud.
Di Bashrah : Anas bin Malik, dan Abu Musa Al-Asy’ari.
Di Syam : Mu’adz bin Jabal, Ubadah bin Shomit.
Di Mesir : Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
Pada permulaan abad ini, kebanyakan dari mereka berada di Madinah, tetapi setelah kemenangan demi kemenangan di raih oleh umat Islam, mereka berpencar, sehingga ijtihad yang mulanya di lakukan bersama (jama’i) kini menjadi ijtihad individu (fardi).
Para sahabat, khususnya periode ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi juga menyebarkan sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir. Ini untuk pertama kalinya fiqh berhadapan dengan persoalan baru : penyelesaian atas masalah moral, etika, kultural, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang pluralistik.
Agaknya inilah faktor yang terpenting yang mempengaruhi perkembangan fiqh pada periode ini. Daerah-daerah yang di buka dan di Islamkan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para fuqoha’, sahabat untuk memberikan hukm pada persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan
Para sahabat dengan kapasitas pemahaman yang komprehensif terhadap Islam – karena lamanya bergaul dengan Nabi dan menyaksikan sendiri proses turunnya syari’at – menyikapi setiap persoalan yang muncul dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Mereka menggali kandungan-kandungan moral Al-Qur’an. Ada kalanya mereka menemukan nash Al-Quran atau petunjuk Nabi yang jelas menunjukkan pada persoalan tersebut, tetapi dalam banyak hal mereka harus menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema dalam Al-Qur’an untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak di jumpai ketentuan nashnya. Perkembangan baru yang muncul mengiringi perluasan wilayah islam itu sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyah. Saat itu mulai terjadi perbedaan pemahaman terhadap nash, sebagaimana perbedaan itu juga muncul karena perbedaan persepsi dan pendapat.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lain. Sebagian mereka ada yang memeluk Islam dan sebagian lagi tetap pada agamanya. Ini suatu perkembangan yang belum muncul di zaman Nabi sehingga di butuhkan suatu aturan baru yang mengatur hubungan oprang-orang Islam dengan non-Muslim. Para fuqoha’ untuk yang kesekian kalinya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur kemajemukan hidup seperti ini. Dan, tidak jarang pula mereka melakukan ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan yang tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadits yang secara tegas memerinci hukum masalah ini.
II.B. SUMBER-SUMBER FIQH PADA PERIODE INI
Seperti telah di sebutkan di atas, perkembangan baru yang muncul mengiringi perluasan wilayah Islam itu sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyah. Setiap ada persoalan baru para fuqoha kembali pada Al-Qur’an sebagai dasar agama, kemudian merujuk pada sunnah Nabi. Jika dari kedua warisan itu tidak di temukan ketentuan hukumnya, mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk membicarakan persoalan itu. Dan bila terjadi kesepakatan barulah di putuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi yang kemudian di kenal dengan istilah ijma’.
Karena itu selain Al-Qur’an dan Sunnah, ijtihad juga merupakan sumber fiqh yang menjadi rujukan para fuqoha. Dengan demikian kita dapat pula mengatakan bahwa fiqh pada periode ini adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad. Berikut akan kita bicarakan sedikit tentang perkembangan sumber-sumber hukum di atas.
II.B.1. AL-QUR’AN
Sepeniggal Nabi saw, Al-Qur’an belum di kumpulkan dalam satu mushaf tetapi masih berbentuk lembaran-lembaran yang terpisah. Sementara itu beberapa kali terjadi kegoncangan dalam pemerintahan kholifah Abu Bakar. Dalam suatu peperangan dengan penduduk Yamamah yang murtad, sekitar 500 sahabat dan 70 di antaranya dari khuffadz Al-Qur’an.
Timbul kekhawatiran Umar dengan meninggalnya para khuffadz itu akan mengakibatkan hilangnya warisan Al-Qu’an. Umar segera bertindak dengan mendatangi Abu Bakar dan mengusulkan agar mulai di rintis pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Namun Abu Bakar tidak mau, karena hal itu tidak pernah di lakukan oleh Nabi. Setelah beberapa kali Umar datang dan mendesak Abu Bakar, denngan alasan demi kemaslahatan umat Islam, akhirnya Allah membuka hati Abu Bakar, lalu beliau menemui Zaid bin Tsabit. Hal serupa juga di alami Abu Bakar, namun Allah membuka hati Zaid, sebagaimana telah melapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Dari sini kita tahu bahwa yang di lakukan Abu Bakar bukan penulisan Al-Qur’an – karena Al-Qur’an telah di tulis pada zaman Nabi – tetapi pengumpulan dalam satu mushaf, setelah sebelumnya tertulis dalam lembaran-lembaran daun, kulit dan tulang yang terpisah.
Pada masa kholifah ketiga, Utsman bin Affan muncul perbedaan cukup tajam tentang bacaan Al-Qur’an. Perbedaan itu di laporkan oleh Khudzaifah bin Yaman - seorang pim-pinan perang di Armenia dan Azarbaijan - cenderung mengarah pada permusuhan di kalangan umat Islam. Pada perang Armenia dan Azarbaijan, misalnya, prajurit Islam yang datang dari berbagai tempat berselisih tentang bacaan Al-Qur’an itu. Dan kekhawatiran akan munculnya perselisihan lebih tajam lagi mengilhami Utsman bin Affan untuk berinisiatif menertipkan bacaan Al-Qur’an. Maka, Utsman minta kepada Hafsah, istri Nabi, untuk menyerahkan Mushaf yang di tulis pada masa Abu Bakar dan menyuruh beberapa penulis wahyu seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits untuk menertibkan bacaan Al-Qur’an.
Setelah proses penertiban ini selesai, Utsman mengembalikan mushaf yang asli kepada Hafshah dan mengirim mushaf yang sudah di tertibkan bacaannya ke segala tempat; Mekkah, Syam, Bashrah, Kufah, dan Madinah. Dan penulisan Mushaf Utsmaniy seperti yang kita lihat sekarang ini berakhir pada tahun 25 H.
Apa yang di lakukan oleh Utsman bukanlah penulisan Al-Qur’an atau pengumpulan bacaannya – karena penulisannya telah selesai pada zaman Nabi dan pengumpulannya ke dalam satu Mushaf selesai pada masa Abu Bakar – tetapi penertiban bacaan Al-Qur’an untuk menhindari perselisihan pendapat di kalangan umat Islam.
II.B.2. AL-HADITS
Berbeda dengan Al-Qur’an, Al-Sunnah pada periode ini sama sekali belum di kumpulkan dan di bukukan. Sebenarnya pada masa kholifah kedua, Umar ibn al-Khaththab sempat memikirkan untuk membukukannya, namun setelah di musyawarahkan dengan para sahabat yang lain, hal itu tidak jadi di realisasikan, karena takut akan tercampur dengan Al-Qur’an. Begitulah , sampai akhir abad I H. Sunnah belum di bukukan, kecuali milik pribadi Abdullah bin Amr bin Ash, yang beliau riwayatkan sendiri hadits-haditsnya dari Rosulullah.
Meskipun as-Sunnah belum di bukukan sama sekali, namun para sahabat sangat berhati-hati dalam mengambil suatu hadits untuk menentukan hukum. Konon Abu bakar tidak menerima hadits kecuali di perkuat oleh seorang saksi, sedangkan Umar meminta kepada pe-rowi hadits untuk memberikan bukti atau saksi, dan Ali selalu menyumpah rowi dalam menyeleksi hadits.
Sebagai contoh : Ada seorang wanita tua datang kepada Abu Bakar menanyakan tentang harta warisan. “Dalam Al-Qur’an dan Sunnah anda tidak memperoleh apa-apa,” Kata Abu Bakar. Mughiroh bin Sya’bah, seorang sahabat terkemuka yang saat itu tidak hadir, pernah mendengar Nabi bersabda bahwa seperti orang itu mestinya mendapat seperenam. Ia bergegas menemui Abu Bakar. “siapa saja yang bersama kamu dan bisa menjadi saksi bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: “Berilah seorang nenek seperenam dari harta warisan”?” tanya Abu Bakar. Kemudian Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian terhadap kebenaran hadits itu. Dan itulah yang menjadi putusan Abu Bakar.
Jika kita telusuri lebih jauh, ketatnya periwayatan hadits ini di sebabkan dua alasan :
Pertama, kekhawatiran akan adanya kesalahan atau penyelewengan, karena lupa misalnya, atau kesalahan dalam menyampaikan riwayat.
Kedua, kekhawatiran akan masuknya kabar bohong kedalam hadits yang di lakukan oleh orang-orang yang secara sengaja ingin merusak islam dari dalam.
Tetapi ketatnya penyeleksian hadits ini tak dapat menggantikan kedudukan pembukuan, dan akhirnya juga menimbulkan beberapa persoalan:
Pertama: Hal tersebut mengharuskan Ulama untuk mengerahkan kemampuannya dalam meneliti para pe-rowi hadits dan juga membagi hadits - berdasarkan para rowinya- menjadi hadits qoth’iyyatul wurud dan dzonniyyatul wurud, sedangkan dzonniyyah sendiri terbagi menjadi shohih, hasan, dan dlo’if.
Kedua: hal tersebut, mengakibatkan tidak bersatunya umat Islam dalam satu acuan pedoman terhadap hadits, - sebagaimana yang terjadi pada Al-Qur’an, - dan bisa mengakibatkan celah terhadap perubahan, penambahan, maupun pengurangan hadits – baik di sengaja atau tidak – yang pada akhirnya bisa menimbulkan perbedaan di dalam kehujjahan hadits itu sendiri dan perbedaan ulama yamg menggunakan suatu hadits.
II.B.3. IJTIHAD
Selain Al-qur’an dan Sunnah, ijtihad mulai menjadi rujukan fuqoha pada periode ini. Perluasan wilayah Islam telah mendatangkan masalah baru yang belum muncul sebelumnya. Tetapi, jika kita telusuri lebih jauh, kebutuhan untuk melakukan ijtihad itu tidak semata-mata untuk menjawab masalah baru yagn muncul, namun juga untuk memahami nash yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana nanti akan di lihat dalam contoh. Yang sudah jelas intentsitas ijtihad sahabat mendapat tempat tersendiri dalam fiqh. Maksudnya, kendatipun ijtihad itu membuka ruang ikhtilaf, tapi karena sering di lakukan secara bersama dan musyawarah, apalagi saat itu para sahabat belum tersebar luas, ijtihad sahabat banyak mendatangkan suatu “kesepakatan umum dari suatu generasi” atau ijma’.
Patut di catat dalam kesempatan ini, sikap para sahabat terhadap perbedan pendapat. Saat itu perbedaan pendapat di anggap suatu hal yang wajar dan di kembangkan. Tidak ada sahabat yang memaksakan pendapatnya pada orang lain. Pada suatu saat ada seseorang datang kepada umar dan memberitahukan bahwa Ali bin Thalib dan Zaid telah memutuskan persoalan yang ia hadapi. “jika saya , tentu akan saya putuskan yang lain”, kata Umar. “siapa yang melarang anda, sedangkan persoalan ini memang akan laporkan kepada anda?” kata orang itu menimpali. Umar menjawab : “kalau saja saya dapat merujukkan persoalan yang kamu hadapi pada Al-Qur’an dan Sunnah niscaya saya melakukannya. Tetapi saya tahu bahwa ini sekedar pendapat, dan pendapat itu milik semua orang.”
Seorang penulis pernah menyamakan antara pendapat Umar dan ketentuan Allah. Umar marah. “Pernyataan kamu ini sangat menyesatkan,” kata Umar. Ini pendapat Umar, "apabila benar, itu dari Allah dan bila salah dari Umar sendiri. Kebenarna itu hanya datang dari Allah dan Rasul-Nya, maka jangan jadikan suatu pendapat sebagai sunnah bagi umat.” Demikian tradisi ikhtilaf pada masa sahabat. Abu Bakar setiap kali menjelaskan suatu persoalan yang tidak ada nash hukumnny dalam Al-Qur’an dan Sunnah selalu menambahi dengan pernyataan : “ini pendapatku, jika benar, itu dari Allah, tetapi jika salah, itu dari pribadi saya sendiri”.
Kebebasan berpendapat ini, tanpa tendensi untuk kepentingan pribadi atau kelompok, telah melahirkan suatu kekuatan moral Islam yang secara sungguh-sungguh berusaha melihat relevansi Islam dengan persoalan-persoalan yang terus berkembang dan senantiasa meminta etika dan paradigma baru. Contoh berikut ini akan semakin memberikan gambaran yang jelas tentang pernyataan di atas. Sebagai contoh, yaitu tentang ‘iddah wanita yang di talaq suaminya. Kapan ‘iddah wanita yang di talaq suaminya akan berakhir? Menurut ibnu Mas’ud dan Umar ibn Khaththab, ‘iddahnya berakhir ketika ia mandi dari haid yang ketiga setelah talaq. Pendapat Zaid bin Tsabit lain. Menurut Zaid, wanita itu boleh menikah setelah memasuki haid yang ketiga. Apabila di telusuri, ternyata ikhtilaf ini merujuk pada pengertian quru' dalam firman-Nya: “ Perempuan-perempuan yang di talaq menunggu tiga kali quru’” (QS: 2:28). Ibnu Mas’ud dan Umar berpendapat quru’ itu berarti haid, karenanya iddah wanita berakhir ketika haid yang ketiga. Zaid menafsirkan quru’ dengan bersih yang berarti bahwa iddahnya akan berakhir ketika mamasuki haid yang ketiga. Ikhtilaf ini lebih jauh dapat di pahami karena dalam bahasa Arab quru’ dapat berarti “bersih” dan “haid”.
Yang dapat kita lihat dari beberapa ijtihad sahabat – di antaranya seperti contoh di atas – adanya runag lingkup ijtihad yang cukup luas. Para sahabat tidak menyikapi hukum-hukum secara ideal yang terlepas dari konteks sosial, akan tetapi dimensi sosial itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal Islam terhadap berbagai persoalan yang berkembang. Interpretasi terhadap nash (seperti pneggunaan teori illah yang di lakukan Utsman), adalah contoh nyata betapa sahabat secara sungguh-sungguh berusaha memahami maqashid tasyri’ (tujuan-tujuan syari’at) dari suatu penerapan hukum.
Utsman, misalnya, berkesimpulan bahwa di biarkannya unta-unta berkeliaran pada masa Nabi karena kondisi saat itu aman. Jadi, kerangka penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut adanya “situasi aman” sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai pemiliknya. Kerangka teori ini kemudian di kembangkan dan di rumuskan oleh para ahli metodologi Islam dalam kaidah: al hukmu yaduru ma’al ‘illah wujudan wa ‘adaman.
Bahkan pengamatan yang lebih mendalam akan membuktikan bahwa rumusan para fuqoha dan mujtahidin pada tahun-tahun pertengahan mengacu pada kerangka dan ruang ijtihad para sahabat. Qiyas, maslahah mursalah, istihsan dan kaidah-kaidah fiqhiyah lainnya mendapat justifikasi dari ijtihad sahabat. Dengan kata lain tradisi ikhtilaf para sahabat mengacu pada kerangka acuan istidlal, suatu proses ijtihad yang memperkaya tsarwah fiqhiyyah dalam sejarah perkembangannya.
II.C. METODE TSYRI’ DAN SEBAB-SEBAB IKHTILAF PARA SAHABAT
Metode sahabat dalam menentuan hukum pada peiode ini yaitu dengan menujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah terlebih dahulu. Apabila mereka menemukan suatu ayat atau hadits yang memberikan indikasi terhadap suatu hukum, maka mereka akan memfokuskan perhatian mereka terhadap kandungan nash tersebut, sehingga bisa di ketahui apa kandungan nash tersebut, yang kemudian di aktualisasikan terhadap permasalahan yang terjadi. Namun apabila mereka tidak menemukan di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, maka mereka akan berijtihad sesuai dengan kemampuan mereka yang sudah terbentuk karena lamanya hidup bersama Rosulullah, dan secara langsung melihat bagaimana beliau berijtihad. Maka terkadang mereka mengkiaskan suatu permasalahan yang belum ada nashnya dengan permasalahan yang sudah ada nashnya dan terkadang juga mereka mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Pada masa kholifah Abu Bakar dan Umar, ijtihad masih sering di lakukan dangan cara bersama-sama (ijtihad jama’i) dalam sebuah forum yang terdiri dari para tokoh sahabat. Dan hukum yang di hasilkan melalui forum ini di namakan ijma’. Pada saat itu jarang sekali terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, masing-masing dari mereka salimg memaparkan pendapatnya dari berbagai sudut pandang serta dalil-dalinya di hadapan sahabat yang lain.
Namun setelah wilayah Islam meluas dan para sahabt tersebar di berbagai daerah kekuasaan, sehingga sulit bagi kholifah Madinah untuk mengumpulkan mereka. Dari sinilah bibit perbedaan pendapat di kalangan sahabat mulai tumbuh. Hali ini, kalau kita cermati karena beberapa sebab, antara lain:
1. Perbedaan dalam memahami nash Al-Qur’an dan hadits.
2. Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash yang berlawanan.
3. Perbedaan kaidah metode dan ijtihad dari para fuqoha.
4. Kebebasan dan kesungguhan para fuqoha dalam melakukan ijtihad.
5. Kebanyakan nash-nash Al-Qur’an bukanlah qoth’iyyatul dalalah akan tetapi merupakan dhonniyatul dalalah
6. Bahwa Sunnah belum di kodifikasikan dan belum di kumpulkan sama sekali dalam satu wadah rujukan serta belum tersebar luas di kalangan muslim, akan tetapi masih tersebar di hati para sahabat dari mulut ke mulut. Oleh karena itu, terkadang satu Hadits di ketahui ulama di Mesir, tetapi tidak dio ketahui oleh ulama yang berada di Damaskus dan lainnya.
7. Perbedaan kondisi ligkungan, kemaslahatan dan kebutuhan masing-masing daerah.
Dari ketiga sebab di atas, mulai muncul perbedaan fatwa terhadap satu masalah yang sama namun masing-masing mempunyai sudut pandang dan dalil sendiri.
II.E. AKHIR PERIODE INI
Ada tiga poin yang dapat kita perhatikan dari masa sahabat ini
1. Sahabat mewariskan beberapa pokok penjelasan undang terhadap nash al-Qur’an dan Hadits.
2. Beberapa fatwa-fatwa ijtihad yang bersumber dari sahabat dalam memutuskan masalah aktual yang terjadi yang tidak ada nashnya.
3. Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa tiga besar. Ini bermula dari terbunuhnya kholifah Utsman bin Affan, berlanjut dengan pengangkatan kholifah Ali bin Abi Thalib, namun kemudian di lengserkan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sehingga terjadilah perang antara kedua belah pihak. Kemudian klimaksnya terjadilah apa yang kita kenal dengan peristiwa tahkim. Tiga golongan besar tersebut adalah
a. Syi’ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya.
b. Khowrij yaitu orang-orang yang dendam atas Utsman, Ali dan Mu’awiyah seluruhnya.
c. Ahlussunnah wal jama’ah yaitu orang-orang yang bisa menerima dan ridho terhadap Mu’awiyah dan penerintahannya. Golongan ini adalah terbanyak pengikutnya.
Masing-masing tiga golongan ini membawa pengaruh khusus dalam pembinaan hukum Islam, karena Khowarij tidak mau mengambil hukum yang bersumber dari hadits yang di riwayatkan oleh Utsman, Ali, Mu’awiyah maupaun oleh orang menolong salah satu dari mereka, dan mereka menolak semua hadits, pendapat, dan fatwa yang bersumber dari mereka. Mereka lebih memilih apa yang bersumber dari orang yang mereka ridhoi , oleh karena itu mereka mempunyai fiqh sendiri. Begitupun Syi’ah, mereka bersikukuh terhadap pendapatnya sendiri tanpa mau mengakui pendapat orang lain. Sedangkan Ahlussunnah agak sedikit lebih moderat. Mereka mau menerima hadits dari siapa saja asalkan memenuhi persyaratan perowi hadits dan mau menerima pendapat ulama lain setelah di seleksi dan di tafsil. Semua ini akan tampak nyata dalam periode berikutnya.
III. KESIMPULAN
Sebagaimana yang telah di gambarkan di atas, fiqh periode Khulafaur Rosyidin ini sangat hidup dan semarak, juga sebagai fondasi dari fiqh sepanjang masa. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun kecil di banding periode berikutnya, seiring dengan perkem-bangan fiqh itu sendiri. Selain pembukuan Al-Qur'an dan periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad seringkali di lakukan secara jama’i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf.
Yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah belum di tulis seperti juga Sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah-kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang di gunakan oleh fuqoha sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Pada periode ini juga mulai muncul beberapa aliran besar dalam Islam, seperti: Ahlusssunnah wal Jama'ah, Syi'ah, dan Khowarij.
Referensi:
1. Bik, Hudlori, Tarikhut Tasyri’ Al-Islami, Terjemah, Darul Ihya
2. Kholaf , Abdul Wahhab, Ilmu Ushulil Fiqh, Darul Fikr
3. A. Sirry, Mun’im Sejarah Fiqh Islam. Risalan Gusti
0 Response to "USHUL FIQIH 1"
Posting Komentar