PENDAHULUAN
Dalam sebuah hadits Rasullullah menjelaskan salah satu dari dosa besar adalah seseorang yang mencaci maki orang tuanya, kemudian para sahabat bertanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi ya Rasul? “ Beliaupun menjawab “ yaitu ketika ia memaki ayah orang lain sehingga orang itu membalas memaki ayahnya dan ketika ia memaki ibu orang lain kemudian orang itu membalas mencaci maki ibunya”. Dari hadits ini kita bisa melihat bagaimana Rasul melarang kita melakukan suatu perbuatan dengan vonis dosa besar bukan karena perbuatan itu sendiri melainkan karena melihat akibat yang ditimbulkanya.
Tulisan ini akan mecoba membahas secara umu salah satu dasar ang bisa dijadikan pijakan untuk pengambilan hukum namun masih dipertentangkan dikalangan ulama’ yaitu سد الذرائع. Dengan fokus pembahasan tentang definisinya, macam-macamnya, dan juga korelasinya dengan maqasid as syar’iah . Dari sini saya berharap kita akan mampu lebih dalam memahami dasar yang dipakai secara mutlak oleh ulama’ Malikiah dan Hambaliah ini, sekaligus mampu mengaplikasikanya pada permasalahan-permasalahan yang terus berkembangو seiring dengan kemajuan zaman.
PEMBAHASAN
I.DEFINISI
Kata-kata سد الذرائع merupakan tarkib idhafi yang terdiri dari dua kata yaitu سد yang berarti menutup atau mencegah dan الذرائعyang merupakan jama’ dari الذريعة yang ma’na epistimologisnya adalah jalan untuk menggapai sesuatu. Kemudian ketika dua kata ini digabungkan menjadi satu, secara terminologis mempunyai arti mencegah atau menutup jalan yang bisa mengakibatkan (madharat) bahaya atau (mafsadah) kerusakan .
Ungkapan dzariah di dalam hukum syara’ mempunyai dua batasan yaitu سد الذرائع yang berarti terlepas atau meninggalkan sarana (perbuatan) ketika hasilnya berupa mafsadah, yang kedua adalah فتح الذرائع yang artinya menggunakan atau memakai dzaria’ah itu ketika hasilnya adalah maslahah. Berdasarkan keterangan ini maka tingkatan taklif terhadap dzari’ah ini sesuai dengan maslahah dan madharat yang diakibatkanya. Adakalanya mubah seperti makan untuk menghilangakan rasa lapar, adakalanya wajib sebagaiaman wudhu’ untuk melakukan shalat, dan adakalanya haram sebagaimana mencuri untuk memencukupi kebutuhan keluarga dalam keadaan yang tidak terpaksa .
Contoh-contoh قتح الذرائع adalah ;
Diperbolehkan memberi suap agar kepada penguasa agar terlepas dari siksaanya, ini sebenarnya adalah ma’siat namun diperbolehkan karena untuk menolak bahaya yang besar.
Diperbolehkanaya memberikan harta kepada musuh untuk menebus para tawanan. perang. Walaupun hukum asalnya adalah haram karena bias menambah kekuatan orang kafir. dll
II.PEMBAGIAN DZARI’AH
Secara umum sarana (dzari’ah) ini bisa dilihat dari dua sisi :
Pertama adalah melihat motivasi mengerjakan perbuatan (sarana) itu, baik untuk tujuan yang halal maupun haram, seperti kasus seseorang yang menikah dengan tujuan untuk diceraikan, orang yang melakukan jual beli untuk tujuan riba maka dalam hal ini pelaku (‘Akid) berdosa. dan ketika ada indikasi yang menunjukkan hal itu pada waktu akad maka bisa dijadikan dasar batal atau rusaknya aqad. Dari sini bisa diketahui bahwasanya sudut pandang ini dipakai untuk memberikan vonis berdosa atau tidak baru kemudian batalnya tasaruf ketika ada indikasi yang kuat.
Kedua, dilihat dari akibat yang ditimbulkanya tanpa memandang motivasi dan niatnya, apabila mengarah kepada maslahah yang merupakan tujuan dari mua’amalah manusia maka sarana (dzari’ah) itu dituntut (diharuskan) sesuai dengan kadar maslahanya. Dan jika mengarah pada mafsadah maka sarana itu juga haram sesuai dengan keharaman tujuanya, walaupun tingkatan keharamanya lebih rendah di banding keharaman tujuan (maqasid). Seperti kasus orang yanag mencaci maki berhala di depan orang-orang kafir murni karena Allah SWT namun karena hal itu bisa menyebabkan orang-orang kafir balas mencaci makai Allah. Maka hal ini dilarang, dan larangan ini bukan karena niatnya tapi karena melihat akibat yang ditimbulkanya.
Dari keterangan di atas bisa kita lihat bahwasanya larangan mengerjakan perbuatan (sarana) yang mengakibatakan dosa tidak hanya tergantung pada niatnya. Tapi yang paling utama adalah memandang pada akibat yang ditimbulkanya, walaupun akibat itu tidak dikehendaki. Maka sebuah dzari’ah walaupun dilakukan dengan motivasi yang baik dan niat yang ikhlas tetap dilarang ketika hal itu mengakibatkan kerusakan.
Asy Syatibi di dalam Muwafaqatnya membagi dzariah menjadi beberapa bagian :
Perbuatan yang sudah pasti mendatangkan mafsadah seperti menggali sumur dibalik pintu pada waktu gelap. Hal ini dilarang dan menyebabkan dhaman (ganti rugi).
Perbuatan yang jarang mendatangkan mafsadah seperti : menggali lubanag di tempat yang umumnya tidak dilewati orang. Hal ini diperbolehkan karena yang dijadikan pertimbangan syara’ adalah kemaslahatan secara umum.
Perbuatan yang pada umumnya sering mendatangkan bahaya atau kerusakan dan diduga kuat akan mengakibatakan mafsadah, seperti menjual anggur kepada pembuat arak, menjual senjata kepada pembuat kerusuhan dll. Dan hal ini dilarang karena dzan bisa disamakan dengan qat’i dan adanya larangan tolong menolong di dalam melakukan dosa dan permusuhan.
Perbuatan yang kemungkinan mendatangkan mafsadahnya fifty-fifty.sebagaimana kasus bai’ al ajal yang dipakai sebagai sarana melakukan riba. Menurut ulama’ Malikiah dan Hanbaliah haram dan tidak sah transaksinya , karena kebanyakan memang mnyebabkan riba, contoh lain adalah haramnya (halwat) berduaan dengan wanita yang bukan muhrim, larangan membangun masjid di atas kuburan, dll.
Sedangkan pembagian dzariah versi Ibnu Qayyim adalah :
Sarana untuk menuju mafsadah seperti minum arak yang meyebabkan mabuk, zina yang menyebabkan kerancuan nasab.
Sarana untuk menuju hal-hal yang diperbolehkan (mubah) namun dipakai untuk mencapai tujuan mafsadah, seperti contoh seseorang yang menikah untuk diceraikanya.
Saran untuk menuju hal-hal yang diperbolehkan dan juga tidak digunakan untuk tujuan mafsadah namun pada umumnya mendatangkan mafsadah, dan kemungkinan mafsadahnya lebih besar daripada kemungkinan maslahahnya, seperti mencacimaki berhala dihadapan orang kafir dan larangan berhias diri bagi wanita yang ditinggal mati suminya selama dalam masa ‘iddah.
Ketiga bagian ini dilarang oleh syara’ bisa dengan hukum haram atau makruh tergantung tingkat mafasadah yang ditimbulkanya, kemudian yang terakhir ;
Sama dengan bagian yang ketiga namun kemungkinan maslahahnya lebih besar daripada kemungkinan mafsadahnya seperti contoh melihat perempuan yang dilamar, mengatakan yang hak (benar) dihadapan penguasa yang dhalim, dll
Dan untuk bagian yang terakhir ini diperbolehkan oleh syara’ bisa dengan hukum wajib, mubah, ataupun sunnah tergantung seberapa besar maslahah yang dihasilkan.
III. KORELASINYA DENGAN MAQASID ASY SYAR’IAH
Saddu dzari’ah merupakan salah satu Maqasid as Syar’iah sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash-nash . Menurut Ibnu Qayyim ada sembilanpuluh sembilan nash yang menjelaskan tentang ini. Disamping itu Saddu dzari’ah masuk dalam kaidah “menarik maslahah dan menolak mafsadah”. Menurut Syatibi di dalam penggunaan Saddu dzari’ah ini yang dijadikan pertimbangan adalah akibat (hasil) dan hal ini adalah tujuan penting dari syariah
IV. PENDAPAT ULAMA’
Saddu Dzariah adalah salah satu dasar acuan pengambilan hukum yang dipakai oleh ulama Malikiyah, Hanbaliyah, sebagian Hanafiyah dan sebagian Safi’iyah. Mereka menyandarakan pada nash al Qur’an dan sunnah yaitu :
ياايهاالذين امنو لا تقول راعنا وقولوا انظرنا واسمعوا. البقرة ۱٠٤
ان من اكبر الكبائر ان يلعن الرجل والديه, قيل يارسول الله كيف يلعن الرجل والديه ؟ قال يسب ابا الرجل فيسب اباه, وويسب امه فيسب امه.) اخرجه البخـــــارى ومسلم عن عبد الله بن عمر(.
Bahkan Ibnu Qayyim mengatakan bahwasanya saddu dzara’i adalah seperempat agama . Ulama sepakat bahwasanya yang tidak diperbolehkan adalah tolong menolong di dalam hal yang mendatangkan dosa dan permusuhaan. Mereka juga sepakat bahwasanya dalam hal-hal yang mungkin bisa mendatangkan maslahah dan mafsadah, selama memberi manfaat kepada manusia juga diperbolehkan seperti menanam anggur yang pada dasarnya bukan bermaksud untuk dibuat arak. Letak perbedaan pendapat yang terjadi diantara mereka adalah pada pembagian dzari’ah yang yang keempat menurut Imam Syatibi. yaitu pada perbuatan yang dzahirnya diperbolehkan namun ada prasangka kuat hal itu bisa mendatangkan mafsadah. Sebagaiman pada kasus bai’ al ajal.
Ibnu Hazm di dalam al Ihkam menolak penggunaan saddu dzari’ah ini, ia mengatakan bahwasanya hukum halal atau haram tidak bisa ditetapkan dengan sangkaan yang kuat (dzan), maka barang siapa menharamkan sebuah dzari’ah ia mengharamakan dengan berdasarkan sangkaan saja, padahal Allah berfirman ان الظن لايغنى من الحق شيأ .
PENUTUP
Dari uraian yang singkat diatas, beberapa hal yang perlu dijadikan catatan adalah bahwasanya parameter di dalam memberikan vonis haram adalah prasangka yang kuat (ghalabatud dzan) dan pada umumnya (ghalib). Kemudian yamg kedua, tujuan digunakanya saddu dzari’ah sebagai acuan pengambilan hukum adalah berhati-hati agar tidak terjerumus kepada ma’siat dan mengerjakan hal-hal yang haram. Terakhir saya sadar sepenuhnya bahsanya makalah ini masih butuh pembenhan di sana sini, dengan kata lain masih sangat jauh dari sempurna, namun saya tidak akan minta kritik apapun, sekali lagi saya tidak akan minta kritik apapun yang konstruktif sekalipun. Saya ngeri mendengarnya, terima sajalah permintaan maaf saya. Sekian, semoga bermanfaat. Waallahu a’lam.
0 Response to "سد الذرائع SEBUAH TINDAKAN PREVENTIF"
Posting Komentar