A. PENGERTIAN DAN DEVINISI URF
Ulama ushul fiqh membedakan antara ‘urf dan adat dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil penetapan hukum syara’. Adat didevinisikan sebagai suatu perbuatan yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa hubungan rasional. Perbuatan tersebut menyangkut perbuatan pribadi, seperti kebiasaan tidur ngorok, maupun perbuatan orang banyak seperti tradisi membeli baju baru dan shoping jika menghadapi Hari Raya. Sedangkan ‘urf adalah kebiasaan mayoritas umat baik dalam perkataan maupun perbuatan
Namun para ulama fiqh berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara adat dan ‘urf, di dalam kalimat “هذا ثابت بالعرف والعادة” lafadz al-‘adat di sana menurut mereka merupakan ta’kid (penguat) dari lafadz al’urf dengan pengertian yang sama. Pendapat serupa dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya “Ilmu Ushul Fiqh” halaman 89 bahwa para Ulama syari’ berpendapat “لا فرق بين العرف والعادة”. Pertanyaannya adalah, apakah semua tradisi di berbagai daerah yang kadang berlainan bisa disebut ‘urf ?.
Untuk lebih memahami pengertian ‘urf, mari kita cermati beberapa devinisi ‘urf di bawah ini yang sebelumnya juga pernah disampaikan oleh ustadz Ahmad Bahauddin pada tugas makalah Kaidah-kaidah fiqh.
العرف هو ما تعارفه العقول و تلقَّته الأئمَّة بالقبول
“Sesuatu yang diketahui akal dan dapat diterima oleh masyarakat”.
كلُّ ما إعتاده الناس وساروا عليه من كلِّ فعل شاع بينهم أو قول تعارفوا
أطلاقه علي معنى خاصٍّ لا تألفه اللُّغة ولا يبادر غيره منذ سماعه
“Setiap aktivitas yang tersohor dikalangan masyarakat atau perkataan yang mempunyai arti khusus yang tidak terlaku dalam tata bahasa dan tidak menimbulkan kesalah fahaman”.
العادة ما تعارفه الناس و أصبح مألوفا لهم سائغا في مجرى حياتهم
Adat kebiasaan adalah Aktivitas yang dikenal dan digemari manusia dalam peri kehidupan mereka”.
ما تعارفه الناس و ساروا عليه من كل فعل أو قول أو ترك
“Prilaku baik perbuatan atau ucapan ataupun meninggalkan ativitas yang dikenal dan terlaku dimasyarakat”.
Mustafa Ahmad az-Zarqa berpendapat bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum daripada ‘urf. Dengan kata lain, suatu tradisi atau adat belum tentu ‘urf, tapi suatu ‘urf sudah pasti adat.
B. PERBEDAAN ANTARA ‘URF DAN IJMA’
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan pendapat, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf, telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
C. MACAM-MACAM ‘URF
Ulama ushul fiqh membagi ‘urf menjadi tiga.
1. Ditinjau dari segi obyeknya, terbagi kepada:
a. ‘Urf qauli
adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan perkataan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami, seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja.
b. ‘Utf amali
adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah , seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jua beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.
2. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya dalam pandangan syara’, terbagi atas:
a. ‘Urf shahih
adalah kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemashlahatan, dan tidak pula mendatangkan kemudlaratan, seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dan contoh lainnya.
b. ‘Urf fasid
Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
3. Ditinjau dari luang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi kepada:
a. ‘Urf aam
adalah kebiasaan tertentu yang berlaku di masyarakat secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.
b. ‘Urf khash
Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada Negara-negara Islam lain tidak dibiasakan. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, ‘urf khash tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
D. DASAR HUKUM ‘URF.
Para Ulama sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-Quran diturunkan, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di masyarakat. Sebagai contoh,.
E. KEHUJJAHAN ‘URF
Para Ulama menganggap ‘urf sebagai salah satu landasan pokok dalam menetapkan beberapa hukum. Sebagian dari perkataan mereka yang menunjukkan kehujjahan ‘urf adalah kaidah fiqh yang berbunyi “ العادة المحكّمة، المعروف عرفا كالمشروط شرطا “.
Adapun dalil ‘urf menurut sebagian Ulama adalah al-Quran surat al-A’raf ayat 199, “خذ العفو وأمر بالمعروف “ . sebagian Ulama yang lain mengambil dalil dari hadits Nabi, “ ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن “. Tetapi kedua dalil di atas dianggap lemah karena lafadz العرف pada dalil pertama pengertiannya adalah al-ma’ruf. Sedangkan pada dalil kedua, hadits tersebut mauquf pada sahabat Ibnu Mas’ud dan dilalahnya menunjukkan kehujjahan ijma’ bukan ‘urf kecuali jika tendensi ‘ijma’ tersebut berupa ‘urf shahih, dilalah tersebut hanya sebatas bagian dari ‘urf, bukan ‘urf secara absolute.
Namun demikian, ‘urf merupakan perkara yang mu’tabar dalam syara’ dan diperbolehkan menetapkan hukum-hukum dengan bertendensi padanya. Pada kenyataannya ‘urf tidak berdiri sendiri tetapi merujuk kepada dalil-dalil syara’ yang mu’tabar, dan alasan-alasan yang disebutkan berikut ini:
1) Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang mengukuhkan kebiasaan-kebiasaan orang Arab, misalnya; kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum Islam, persekutuan-persekutuan yang dibenarkan seperti dalam akad mudlarabah, jual beli, ijarat dan lain-lain. Hadits-hadits Rasulullah SAW juga banyak sekali yang mengakui eksistensi ‘urf yang telah berlaku dalam masyarakat.
2) ‘Urf pada hakikatnya kembali kepada beberapa dalil syara’ yang mu’tabar seperti ijma’, contohnya akad ishtishna’, mashlahat mursalah, dan dzara’i.
3) para Ulama fiqh berhujjah dengan menggunakan ‘urf dalam beberapa masa yang berbeda. Ijtihad mereka yang beracuan pada ‘urf menunjukkan kelayakan ‘urf untuk dijadikan salah satu istinbath hukum syara’ dan apa yang mereka lakukan bisa dikategorikan sebagai ijma’ sukuti.
Ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik itu ‘urf aam dan ‘urf khash, maupun ‘urf qauli dan ‘urf ‘amali dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Imam Malik banyak mencetuskan hukum berdasarkan adat penduduk Madinah, Imam Hanafi dan para Ulama penganut Mazhab Hanafi banyak berbeda pendapat karena melihat beberapa ‘urf yang tidak sama. Imam Syafi’i ketika beliau pindah dari Mekah ke Mesir banyak mengubah beberapa fatwanya. Dalam beberapa kasus beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai hujjah. Terkait dengan kehujjahan ‘urf terdapat beberapa ibarat yang terkenal, di antaranya adalah:
المعروف عرفا كا لمشروط شرطا، والثا بت بالعرف كالثابت بالنصّ
“Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat. Yang ditetapkan dengan ‘urf itu sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat/hadits).
‘Urf bisa mentakhsis nash yang umum, mengqayyidi nash yang mutlak, dan kadang-kadang ketetapan ‘urf menggantikan ketetapan Qiyas. Para Ulama fiqh mengatakan:
كلّ ما ورد به الشرع مطلقا، ولا ضابط له فيه ولا فى اللغة، يرجع فيه الى العرف .
F. SYARAT ‘URF
‘Urf baru bisa dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi empat syarat berikut:
k Berlaku dalam kebanyakan kasus yang terjadi di masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
k Telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Dalam kaitan ini Ulama ushul fiqh membuat kaidah “’Urf yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama”.
k Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas.
k Tidak ada nash yang mengandung hukum dari permasalahan yang dihadapi. Artinya, bila suatu permasalahan sudah ada nash-nya, maka ‘urf itu tidak dapat dijadikan dalil syara’.
F. PERTENTANGAN ‘URF DENGAN SYARA’
‘Urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash dan dalil syara’. Berkaitan dengan persoalan tersebut, para ahli ushul fiqh memerincinya sebagai berikut:
Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus atau terperinci. Apabila pertentangan itu menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf ini tidak dapat diterima.
Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, apabila ‘urf itu telah ada ketika nash yang bersifat umum itu datang, maka harus dibedakan antara ‘urf lafdhi dan ‘urf ‘amali. Apabila ‘urf itu ‘urf lafdhi, maka ‘urf itu bisa diterima, sehingga nash yang umum itu dikhusudkan sebatas ‘urf lafdhi yang telah berlaku tersebut, dengan catatan tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh ‘urf. Apabila
4. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ‘urf.
Di antara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan ‘urf adalah:
a.
Artinya:
"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."
b.
Artinya: "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya."
c.
Artinya:
"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa."
0 Response to "Urf"
Posting Komentar