QIYAS (Analogi)

I. PENDAHULUAN
Perubahan jaman yang dapat kita rasakan saat ini bermula dari pola pikir manusia yang kreatif, sehingga selalu ingin berinovasi memunculkan sesuatu yang baru. Dari sinilah muncul berbagai keadaan yang baru baik dari segi sosial, budaya, politik, dan lain-lain.
Kemaslahatan dan kemafsadatan baru akan muncul seiring dengan berbagai problematika yang muncul dari kondisi baru tersebut. Hal ini tentu membutuhkan solusi terbaik dan tercepat dari para cendekia hukum, sebagai tanggung jawab keilmuan yang telah dimiliki.


Hal ini akan terasa ringan bagi mereka yang telah mampu memahami perangkat-perangkat yang telah tersedia sebagai sarana mereka untuk beristinbath. Salah satu perangkat yang kita kenal adalah QIYAS, perangkat ini adalah sebagai bentuk penghargaan atas akal manusia yang memang seharusnya bermanfaat bagi semua hal dan memanfaatkannya.
Berikut ini akan diulas tentang dan bagaimana qiyas itu.

II. DEFINISI QIYAS
Qiyas menurut terminologi adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain, contoh: Ahmad mengukur kain dengan meteran.
Sedangkan qiyas secara etimologi adalah: memperjelas hukum (menghukumi) kasus yang ada pada nash dengan kasus yang ada pada nash, karena‘illatnya sama, contoh: menghukumi sabu-sabu haram untuk dikonsumsi, karena mempunyai ‘illat yang sama dengan khamer, yaitu sama-sama memabukkan.

III. RUKUN QIYAS
1. Asal : kasus yang ada pada nash.
2. Hukum asal: hukum syara’ yang ada pada asal dan bisa ditularkan pada far’.
3. Far’ : kasus yang tidak ada pada nash dan yang akan diqiyaskan pada asal.
4. ‘Illat : sifat yang ada pada asal.

IV. SYARAT-SYARAT QIYAS
o Syarat asal adalah bukan merupakan cabang (far’) dari asal yang lain.
Contoh: mengqiyaskan buah jambu dengan buah apel (dalam masalah riba) tidaklah sah, sebab buah apel adalah far’ yang sudah pernah diqiyaskan dengan buah kurma berdasarkan sebuah hadits.
o Syarat hukum asal, adalah:
1. merupakan hukum praktis syariat yang telah ditetapkan oleh nash. Jika ditetapkan oleh ijma’, maka masih terjadi ikhtilaf.
2. harus berdasar ‘illat yang dapat dirasionalisasikan, sehingga tidak ada pengqiyasan yang terjadi pada hukum-hukum ta’abudiyah, seperti jumlah rakaat shalat.
3. memiliki ‘illat yang dapat diterapkan dalam far’.
4. tidak dikhususkan pada asal, sebagaimana hukum yang dikhususkan pada Nabi SAW, semisal diperbolehkannya Nabi menikah dengan wanita lebih dari 4 orang.
5. tidak ada dasar nash pada hukum far’. Jika dalil menunjukkan hukum asal dan hukum asal menunjukkan hukum far’, maka tidak dibutuhkan qiyas. Contoh: memakai dalil hadits dalam pengharaman khamer كل مسكر حرامmaka sabu-sabu atau sejenisnya yang memabukkan adalah haram (penetapan hukum haram tidak dengan dasar qiyas.
6. mendahulukan penjelasan hukum asal daripada hukum far’. Maka tidak sah mengqiyaskan wudlu dengan tayamum (dalam masalah niat). Jika far’ memiliki dalil lain selain qiyas, maka tidak apa-apa dijadikan sebagai qiyas, seperti dalil: إنما الأعمال بالنيات
o Syarat-syarat far’:
1. far’ tidak tercantum dalam nash.
2. ‘illat yang ada pada asal ada pada far’
o Syarat-syarat ‘illat:
1. merupakan sifat dzahir (dapat diterapkan pada yang asal dan yang far’). Maka tidak sah menjadikan saling rela (تراضي) sebagai ‘illat dalam jual beli, sebab masuk sifat khaufi, karenanya Syari’ mengarahkannya pada sifat dzahir yaitu akad.
2. merupakan sifat terbatas atau terukur, yang tidak ada perbedaan besar dengan adanya perbedaan individu dan kondisi. Maka tidak sah menjadikan masyaqqat (kesukaran) sebagai ‘illat diperbolehkan mengqashar shalat.
3. merupakan sifat yang selaras dengan hukum yang dimaksud oleh syari’ (dapat mewujudkan kemaslahatan).
4. merupakan sifat yang bisa ditularkan (tidak hanya terbatas pada asal).
5. merupakan sifat-sifat yang tidak akan dibatalkan oleh syari’. Maka tidak sah analisa seseorang yang menyatakan bahwa perempuan berhak mentalak suaminya dengan alasan selaras dengan permasalahan akad nikah, karena adanya dalil syara’ yang menunjukkan bahwa talak adalah hak suami.
*metode pengambilan ‘illat
1. Nash
1.1. dengan ‘illat sharih
a. ‘illat qath’I (jelas), jika menggunakan shighat-shighat (bentuk kata) yang menunjukkan alasan, contoh:
رسلا مبشرين لئلا يكون للناس على االله حجة بعد الرسل
b. ‘illat yang tidak qath’I (nash menunjukkan ‘illat namun juga mencakup yang lain), contoh:
كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات الى النور
Kata لتخرج bisa menjadi alasan atau bisa pula menunjukkan implikasi.
1.2. dengan ‘illat tidak sharih, namun terdapat indikasi yang mengisyaratkan adanya ‘illat
السارق و السارقة فاقطعوا أيديهما
3. Ijma’, contoh: saudara laki-laki kandung didahulukan daripada saudara laki-laki sebapak dalam hal warisan.
4. investigasi dan klasifikasi, yaitu dengan mengumpulkan sifat-sifat yang disangka sebagai ‘illat asal dengan cara menyelidikinya dan meragukannya (apakah pantas dijadikan sebagai alasan ataukah tidak). Hal ini berdasarkan ijtihad fiqhiyyah (istinbath). Contoh: ayah berhak menikahkan anaknya yang masih kecil dan perawan. Pada kasus ini terdapat 2 ‘illat (yaitu: 1. keperawanannya, 2. kondisinya yang masih kecil) yang diperselisihkan. Menurut imam Syafi’I, ‘illatnya adalah karena keperawanannya, tidak mungkin kondisinya yang masih kecil dijadikan sebagai ‘illat, sebab seorang anak yang sudah janda tetap tidak boleh dipaksa kawin oleh anaknya, berdasar hadits:
الثيب أحق بنفسها من وليها و البكر تستأذن و إذنها صماتها
Sedangkan menurut imam Hanafi, ‘illatnya adalah kondisinya yang masih kecil (shabiy), karena keperawanan tidak pernah dijadikan sebagai alasan hukum syariat, berbeda dengan shabiy, ia pernah dijadikan sebagai alasan atas hak kepemilikan hartanya.
5. revisi ‘illat, contoh: jima’ pada siang bulan Ramadlan terkena hukum kafarat. Menurut imam Syafi’I ‘illatnya adalah karena jima’nya, sedangkan menurut imam Hanafi, ‘illatnya adalah murni karena sengaja membatalkan puasa dengan hal yang membatalkan puasa (karena dianggap tidak menghormati kemuliaan bulan Ramadlan).

V. MACAM-MACAM QIYAS
1. Al-Qiyas al-Aula
Adalah qiyas yang far’nya lebih unggul daripada yang asal dalam segi hukum karena kekuatan ‘illatnya. Seperti: menganalogikan pemukulan seorang anak kepada orang tua dengan perkataan kasar kepada mereka, dengan ‘illat yang sama yaitu menyakitkan. Maka analoginya jika perkataan kasar saja dilarang apalagi melakukan pemukulan.
2. Al-Qiyas al-Musawi
Adalah qiyas yang far’ nya sama dengan asal dari segi hukumnya. Seperti: menganalogikan pembakaran harta anak yatim dengan memakannya, dengan ‘illat yang sama-sama merusak atau merugikannya.
3. Al-Qiyas al-Adna
adalah qiyas yang far’nya lebih rendah daripada asal dari segi hukum karena kelemahan ‘illatnya (karena karena memiliki korelasi hukum paling sedikit dari hukum asal). Seperti: buah apel diqiyaskan pada biji gandum (karena sama-sama jenis makanan) dalam hal larangan praktek riba.
*sebetulnya terdapat 1 pembagian lagi yaitu: al-Qiyas al-Jali (sama dengan pembagian yang pertama) dan al-Qiyas al-Khafi (Istihsan),namun tidak perlu disampaikan di sini, sebab salah satu bagiannya akan dijelaskan pada bab tersendiri.

V. ARGUMENTASI QIYAS
Ada perbedaan persepsi ulama tentang keberadaan qiyas sebagai salah satu argumentasi syara’, seperti:
1. Ulama Jumhur yang sependapat dengan qiyas
2. Ulama Nidzamiyah Mu’tazilah, Dzahiriyah, dan beberapa kelompok syiah yang tidak sependapat dengan adanya qiyas.

 Argumen-argumen yang digunakan oleh golongan pertama:
1. al-Quran, seperti: يا أولي الأبصار فاعتبروا
Pada contoh tersebut menunjukkan larangan melakukan perbuatan yang pernah dilakukan oleh kaum Yahudi bani Nadlir (kufur dan menyakiti Nabi SAW) dan kata فاعتبروا sendiri mengindikasikan kita diperbolehkan mengadopsi hukum dari sebuah peristiwa yang ada, karena kata الإعتبار berarti memindah sesuatu kepada yang lain.
2. hadits, seperti ketika Umar ra. bertanya kepada Nabi tentang apakah batal puasanya orang yang mencium istrinya tapi tidak sampai keluar mani?, maka Nabi menjawab dengan kembali bertanya: “bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur sedang dalam keadaan berpuasa?” tentu jawabnya tidak membatalkan. Hal ini mengindikasikan, bahwa Nabi pun menggunakan analogi ketika memutuskan kasus di atas.
3. ijma, seperti yang pernah terjadi ketika pemilihan khalifah pertama kali; para sahabat sepakat memilih Abu Bakar ra. dengan menganalogikan pemilihan khalifah dengan imam shalat.
4. alasan rasional
1. semua hukum syariat yang dapat dirasionalisasikan harus sesuai dengan kemaslahatan. Maka tidak cukup rasional mengharamkan khamer karena alasan memabukkan saja, tapi ada alasan lain yang lebih rasional, yaitu pertimbangan kemaslahatan; menjaga akal dan kesehatan jasmani.
2. Nash (baik al-Quran ataupun hadits) terbatas dengan terhentinya wahyu, sedangkan kasus-kasus kontemporer terus berkembang dan segera memerlukan kejelasan hukum.
3. Fitrah, logika, dan kejernihan akal manusia menuntut adanya qiyas. Seperti: segala hal yang dzalim dianalogikan dengan memakan harta orang lain secara bathil.

 Argumen-argumen yang dipergunakan oleh golongan kedua:
1. al-Quran: ما فرطنا في الكتاب من شيءmereka mengartikan ayat ini; bahwa al-Quran sudah mencakup segalanya, jadi tidak diperlukan adanya analogi manusia. Namun pendapat ini disangkal, dengan alasan: bahwa al-Quran hanya mencakup hal-hal yang global dengan indikasi bahwa kebanyakan hukum syariat tidak diketemukan dalam al-Quran (terutama dalam memutuskan kasus-kasus kontemporer). Maka di sini ada penunjukan hukum yang langsung dapat dilihat di dalam al-Quran dan ada yang melalui perantara yaitu dengan qiyas (analogi) itu sendiri.
2. hadits: تعمل هذه الأمة برهة بالكتاب و برهة بالقياس فإذا فعلوا ذالك فقد ضلوا, hadits ini menunjukkn larangan qiyas dijadikan sebagai sumber pengambilan hukum. Namun pernyataan ini disangkal dengan alasan; bahwa hadis ini tidaklah sahih, maka tidak sah berargumen dengannya.
3. ijma’: seperti perkataan Umar ra.: إياكم و أصحاب الرإي فإنهم أعداء السنن , ini dianggap ijma’ ebab tidak ada sahabat yang menyangkalnya. Namun atsar ini, menurut golongan pertama dinyatakan tidak bisa dipercaya, di samping itu jika benar maka akan bertentangan dengan pernyataan Umar ra. yang lain kepada Abu Musa al-Asyari (yang menyetujui adanya qiyas), yaitu:
إعرف الأشباه و النظاءر و قس الأمور برأيك
4.alasan rasional: qiyas terlaksana karena adanya perbedaan persepsi dalam permasalahan hukum sampai menimbulkan perselisihan di antara para mujtahid, padahal perselisihan dilarang dalam al-Quran: ولا تنازعو فتفشلوا و تذهب ريحكم. Namun hal ini disangkal, dengan alasan bahwa perselisihan yang dilarang adalah dalam masalah kaidah sedang dalam masalah hukum tidak demikian karena perbedaan justru akan membawa kemaslahatan, umat tidak akan terkungkung dengan hanya satu pendapat ulama (karena ada banyak pilihan yang membawa kemaslahatan).

V. PENUTUP
Dari keterangan yang telah dipaparkan, jelas bahwasanya qiyas adalah merupakan solusi bagi kita yang hidup di jaman yang semakin maju dan berkembang ini. Dengan pertimbangan nash diramu dengan analogi yang benar maka akan memunculkan hukum yang benar sesuai dengan kemaslahatan umat.
Dengan hanya berpedoman kepada nash, kita tidak mungkin memberikan solusi terbaik dan bijak terhadap permasalahan kontemporer yang ada, sebab sebagaimana kita ketahui nash hanyalah mencakup permasalahan-permasalahan global yang tidak mungkin kita sajikan mentah-mentah kepada kaum muslimin..

0 Response to "QIYAS (Analogi)"

Posting Komentar