NASAKH SEBAGAI SOLUSI PENYELESAIAN KONTRADIKSI

PENDAHULUAN
Dalam disiplin ilmu ushul fiqh kontradiksi (ta’arud) di antara dua dalil yang sederajat dimungkinkan sekali terjadi. Kontradiksi yang terjadi bukan pada tataran hakikat dan kandungan nash itu sendiri, karena tidak mungkin syari’i (Allah SWT) menurunkan wahyu yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi hal ini terjadi karena dalamnya analisa dan luasnya cakrawala berfikir yang dimiliki oleh seorang mujtahid.


Sesuai dengan teori daf’ at-ta’arud (ta’arud al-adillah), apabila ada dua dalil yang sederajat bertentangan secara lahir, maka cara yang pertama adalah diupayakan pengkompromian kedua dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan, maka cara yang kedua adalah di-tarjih (diambil yang lebih kuat). Apabila dengan cara tarjih masih sulit untuk ditemukan makhraj-nya, maka salah satu dalil tersebut di-nasakh (dibatalkan). Apabila dengan cara yang ketiga juga tidak dapat ditempuh, maka cara yang terakhir adalah dengan menggugurkan keduannya (tsuqud).
Dari keempat cara di atas, nasakh menempati posisi yang sangat strategis sebagai upaya untuk menghilangkan kontradiksi di antara dua dalil. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam berbagai disiplin ilmu utamanya yang terkait dengan ilmu tafsir dan ilmu hadits, pembahasan mengenai nasakh tidak pernah terlewatkan. Bahkan di dalam kedua disiplin ilmu ini disebutkan, bahwa salah satu syarat untuk menjadi mufassir dan muhaddits harus memahami nasakh.
Ada banyak hal yang terkait dengan nasakh, di antaranya dasar hukum dan hikmahnya, pengertiannya, syarat-syaratnya, varian-variannya, beberapa pendapat ulama tentang nasakh dan lain-lain. Oleh karena itu saya mencoba untuk mendefinisikan dan mendeskripsikan nasakh sesuai dengan proporsinya, yakni sebagai salah satu metode untuk menyelesaikan pertentangan di antara dua dalil.



PEMBAHASAN
I. Dasar adanya nasakh dan hikmah yang dikandungnya
A. Surat al-Baqarah ayat 106 “Ayat apapun yang kami Kami (Allah) nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
B. Surat an-Nahl ayat 101 “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki.
Hikmah dari adanya nasakh adalah “membatasi perubahan kemaslahatan agar selalu bersandar pada hukum syara’”
II. Pengertian
Nasakh secara etimologi adalah pembatalan, penghapusan, dan pemindahan. Sedang secara terminologi adalah pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang pengertian nasakh ini.
III. Syarat-syarat nasakh
1. Hukum yang dibatalakan adalah hukum syara’
2. Khitab yang menasakhkan itu datangnya setelah khitab yang dinasakhkan.
3. Nasakh dilakukan dengan menggunakan metode yang ditetapkan oleh syara’ bukan dengan akal.
4. Hukum yang dibatalkan (mansukh) itu tidak terikat dengan waktu berlakunya hukum tersebut sebagaimana yang ditunjukan khitab itu sendiri. Seperti firman Allah SWT. pada surat al-Baqarah ayat 187 “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…”. Berakhirnya puasa dengan datangnya waktu malam tidak dinamakan nasakh, karena ayat itu sendiri telah menentukan bahwa puasa tersebut berakhir ketika malam tiba.
5. Mansukh adalah hukum syara’ yang boleh dibatalkan. Tidak diperbolehkan membatalkan hal-hal yang bersifat ketuhanan (tauhid) dan hukum-hukum syara’ yang bersifat pasti (dlarurat) seperti maqasid as-syari’iyyah.
6. Hukum itu dinasakhkan kecuali apabila mukallaf telah memiliki kesempatan untuk melaksanakannya, jika belum pernah dilakukan maka disebut takhsis.
7. Khitab antara nash yang dibatalkan dan yang membatalkan berbeda.
8. Nasakh hanya terjadi pada masa Rasulullah saja, karena baik nash al-Qur’an maupun al-Hadits hanya diturunkan pada masa ini. Oleh karena itu saat ini kita harus selalu mengikuti syariat telah diajarkannya.

IV. Varian nasakh
A. Nasakh ditinjau dari adanya hukum yang membatalkan dan tidaknya, terbagi menjadi dua, yakni:
 Nasakh yang tidak ada gantinya. Misalnya, pembatalan hukum memberikan sadakah kepada orang miskin bagi orang yang ingin melakukan pembicaraan khusus atau meminta tolong kepada Rasulullah. Hukum ini telah dibatalkan oleh Allah SWT. tanpa ada gantinya.
 Nasakh yang ada penggantinya. Nasakh ini terbagi menjadi tiga varian, yaitu:
• Nasakh dengan ganti yang lebih ringan. Misalnya, ayat yang menyebutkan masa ‘iddah adalah satu tahun, dibatalkan dengan ayat yang menyatakan masa ‘iddah adalah empat bulan sepuluh hari.
• Nasakh yang gantinya seimbang dengan yang diganti. Misalnya, pemindahan kiblat dari bait al-Maqdis (Palestina) ke Masjidil Haram.
• Nasakh yang gantinya lebih berat. Misalnya, pada awal Islam Allah memerintahkan untuk berdakwah secara sembunyi dan damai, akan tetapi dinasakh dengan nash yang mengharuskan untuk berjihad.



B. Nasakh ditinjau dari teks bacaan dan hukumnya terbagi menjadi empat, yaitu:
 Membatalkan hukum yang dikandung oleh suatu ayat, sedangkan bacaan atau teksnya masih utuh. Misalnya: membatalkan ayat wasiat kepada orang tua dan kerabat dengan ayat yang menjelaskan tentang warisan.
 Nasakh bacaan atau teks dari suatu ayat sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Misalnya, hukuman rajam bagi orang tua (laki-laki dan perempuan) yang melakukan zina.
 Nasakh hukum dan bacaan sekaligus. Misalnya, hadits dari Aisyah “ketika ayat al-Qur’an masih turun, susuan yang mengharamkan pernikahan orang yang menyusukan dengan anak yang disusui adalah sepuluh kali susuan” (HR. Bukhari dan Muslim), lalu dinasakh dengan hanya lima kali susuan saja.
 Membatalkan sebuah hukum, sedangakan nash dan bacaannya masih tetap, dengan hukum yang dikandung oleh sebuah ayat, meskipun ayat tersebut tidak dipergunakan lagi (dibuang). Misalnya, dalam surat an-Nisa’ ayat 15 yang menyatakan bahwa perempuan yang melakukan zina hendaknya diasingkan di dalam rumah sampai ajal menjemputnya, yang dibatalkan dengan ayat yang mengatakan bahwa orang tua yang berzina (baik laki-laki atau perempuan) hendaknya dihukum rajam.
V. Pendapat ulama mengenai nasakh
Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh terdapat dalam hukum Islam. Mereka beralasan bahwa syari’at-syari’at sebelum Islam telah dihapuskan dengan hukum Islam, sebagaimana juga nasakh itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum Islam. Misalnya, pembatalan puasa Asyura dan menggantinya dengan puasa Ramadhan dan pemindahan kiblat dari arah Bait al-Makdis ke Masjid al-Haram.
Akan tetapi mufasir Abu Muslim al-Asfahani berpendapat bahwa nasakh tidak berlaku dalam syariat Islam dan tidak ada buktu yang menunjukkan adanya nasakh itu. Menurutnya, apabila hukum-hukum syara’ boleh dinasakh, maka terdapat perbedaan kemaslahatan sesuai dengan pergantian zaman. Hal ini akan berakibat bolehnya seseorang mengubah keimanannya karena tuntutan zaman. Hal ini tidak mungkin dan tidak dapat diterima akal. Selain itu juga menunjukan ketidaktahuan Allah SWT. terhadap kemaslahatan umat di suatu zaman, sehingga Ia harus mengganti atau membatalkan sutau hukum dengan hukum lain. Perbuatan ini mustahil bagi Allah dan menjadi hal yang sia-sia. Kemudian ia mengatakan bahwa Allah sendiri berfirman dalam surat fussilat (41) ayat 42 yang artinya “yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang”. Abu Muslim menafsirinya, bahwa al-Qur’an tidak disentuh (invisible hand) oleh “pembatalan”.
Muhammad Abduh, mufasir dan tokoh pembaharu dari Mesir, setelah menganalisis ayat-ayat yang mengandung nasakh yang dikemukakan jumhur ulama di atas, berpendapat bahwa nasakh lebih tepat diartikan sebagai penggantian atau pengalihan atau pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum lainnya. Oleh sebab itu, nasakh berarti “penggantian atau pemindahan satu wadah ke wadah yang lain”. Dengan demikian, menurut Muhammad Quraish Shihab, mufasir dari Negara kita, pengertian ini akan membawa konklusi bahwa semua ayat al-Qur’an tetap berlaku, dan tidak ada yang kontradikitif. Hanya saja terjadi pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena adanya kondisi yang berbeda. Namun, ayat hukum yang tidak berlaku bagi masyarakat atau orang tertentu tersebut tetap berlaku bagi masyarakat atau orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi ayat hukum itu.
VI. Potret mengenai nasakh dan mansukh
Untuk membedakan antara nasakh dan mansukh maka ada beberapa koridor yang harus diperhatikan, diantaranya:
 Terdapat kesepakatan di antara masyarakat bahwa terdapat pembatalan pada suatu kasus hukum. Misalnya, penggantian puasa Asyura dengan puasa Ramadahan.
 Penjelasan langsung dari Rasulullah SAW.
 Terdapat petunjuk yang menyatakan salah satu nash datang terlebih dahulu dari yang lain. Misalnya, sabda Rasulullah tentang hukum menziarahi kubur. “Dulu aku melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahlah”. (HR. Muslim).
 Ucapan Rasulullah yang bertolak belakang dengan tindakan yang dilakukannya. Misalnya, Rasulullah hanya mengenakan rajam pada Ma’iz, padahal –kalau sesuai dengan ucapan beliau- seharusnya dia dijilid dan dirajam.

PENUTUP
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengetahuan tentang nasakh dan mansukh sangat penting sekali. Karena untuk menyelesaikan pertentangan di antara dua dalil perannya sangat diperlukan. Akan tetapi ini bukan satu-satunya solusi, karena masih ada solulsi lain yang harus kita perhatikan dengan seksama.
Dan terakhir, penulis mohon maaf apabila di dalam makalah ini banyak sekali kekurangan, karena keterbatasan waktu dan energi. Akan tetapi penulis sangat yakin makalah ini sangat jauh dari kesalahan, sehingga tidak dibutuhkan kritik ataupun saran dalam bentuk apapun (meskipun konstruktif). Alhamdulillah……….

0 Response to "NASAKH SEBAGAI SOLUSI PENYELESAIAN KONTRADIKSI"

Posting Komentar