POLA PENYAJIAN HADITS

PENDAHULUAN
Dalam bentangan sejarah yang panjang, eskalasi pemalsuan hadits yang sengaja dimunculkan oleh oknum-oknum tertentu untuk menjustifikasi kelompok masing-masing, telah banyak menyita perhatian ulama hadits untuk segera membendung fenomena yang sedang terjadi, dengan memberikan kreteria status terhadap setiap hadits dan pendukung mata rantainya. Sehingga dapat dibedakan mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak.


Usaha-usaha yang mereka lakukan dalam kaitannya dengan uji validitas hadits tak dapat dilepaskan dari dua faktor utama, yaitu kritik internal (Naqdu al Dakhili) dan kritik eksternal. Dalam kesempatan ini kami mengarahkan pembahasan pada kritik eksternal, dengan konsentrasi pada pola penyajian hadits dan mereportasekannya. Kritik dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman selalu kami nantikan, guna memperbaiki isi dari makalah ini.
KEAHLIAN RAWI
Yang kami maksud dengan keahlian rawi adalah suatu tahapan dimana seseorang sudah dianggap pantas mendengarkan (menerima) hadits dan mentransfernya kepada orang lain. Dalam hal ini, secara tidak tertulis kalangan ulama sepakat bahwa yang dikehendaki tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara yang akan kami terangkan nanti”. Sementara ada’ adalah proses mentransfernya. Dengan demikian profesionalitas yang mesti dilalui oleh seorang informator hadits ada dua, yaitu :
Pertama Tahamul dengan arti yang telah kami sebutkan diatas. Terkait dengan masalah tahamul ini “penerimaan hadits” sebenarnya masih terjadi tumpang tindih pendapat di antara para kritikus hadits, dalam hal sejauh mana anak bawah umur (belum balig) dianggap boleh atau sah menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi –seperti diungkapkan oleh al Karmani - pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diwartakan kembali setelah ia mencapai umur balig.
Masih dalam masalah anak bawah umur, mayoritas ilmuan –khususnya yang memusatkan perhatiannya pada hadits- menganggap boleh anak di bawah umur menerima riwayat hadits, sementara yang lain berpendapat bahwa hadits yang diterimanya tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur. Hal itu dikarenakan, bila kita amati lebih jauh tidak jarang sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll , tanpa membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya setelah masuk Islam . Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus, batasan umur bukanlah hal yang paten, melainkan titik tekan utamanya adalah sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum mencapai umur lima tahun .
Kedua Adaul Hadits adalah sebuah proses mereportasekan hadits. Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh sepakat menyatakan bahwa orang yang berprofesi sebagai informator hadits harus memenuhi dua kreteria di bawah ini.
Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi) dan integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatu1r Rawi). Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu Islam , balig, berakal, dan takwa .
Kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits –seperti diungkapkan al Zanjani - lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.
SIGHAT MENERIMA DAN MEWARTAKAN HADITS
Dalam kesempatan ini kami akan mengetengahkan delapan cara menerima hadits dan mentransfernya, dengan sedikit menjelaskan metode yang telah disepakai di kalangan kritikus hadits dan yang diperselisihkan.
A. Simak (mendengar). Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektian), dan tahdits (narasi atau memberi informasi) . Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut سمعت , حدثنى, أخبرنى, أنبأنى, dan قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak نا.
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits yang didengar langsung . Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.
B. al Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh). Qira’ah sendiri yang juga disebut al Ard memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakann kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah kitab yang kredibel . Akan tetapi jika syeikh tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak benar .
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar. Ulamak ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan simak dalam menanggung hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil .
C. Ijazah, salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah .
Sekalipun bagian ini banyak menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi . Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
Sebenarnya Ijaza hadits yang baru saja kita diskusikan memiliki beberapa variabel. Menurut Qadli Iyadl –orang yang pertama kali mencoba mengklasifikasikan- terdapat 8 macam, dan menurut Ibnu Shalah ada 7 macam . Namun penulis tidak akan menjelaskan kesemua variabel secara panjang lebar, melainkan penulis mencukupkan diri dengan konsep dasar Ijazah sebagaimana yang telah penulis terangkan diatas.
D. Munawalah, adalah tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam, A. Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”. B. Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”. C. Seorang murid membawakan hadits yang kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah ia dari ku” . Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan .
ُE. Mukatabah (menulis). Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits –baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah . Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان .
F. Al-I’lam (memberitahukan). I’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama –hadits, usul, fiqih - memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya . Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
Akan tetapi ketika golongan kedua berasalan dengan tidak adanya izin sehingga hadits yang diriwayatkan dengan cara ini dianggap tidak sah, tentunya alasan ini juga harus mereka jadikan syarat dalam meriwayatkan hadits baik yang didengar langsung atau yang lainnya, yang nantinya berimplikasi pada banyak hadits yang diriwayatkan secara tidak sah. Karena kami yakin banyak sekali syeikh yang membacakan hadits pada muridnya tanpa disertai dengan penegasan (izin) agar hadits tersebut disampaikan ulang. Dalam hal ini al Ramahrumuzi berpendapat “sekalipun syeikh melarang mereportasekan hadits darinya, namun larangan itu tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap menyampaikan hadits tersebut .
G. Wasiat . Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya . Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat. Wasiat hadits –masih menurut mereka- sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa ia termasuk riwayatnya.
Seklaipun mereka memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah , bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam, sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang meneri hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya, dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah .
H. Wijadah adalah rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika sipenemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب فلان بخطه .
Kebolehan mewartakan hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Sekalipun penulis tidak menutup mata dari komentar orang-orang yang menolak metode Wijadah, namun jika orang yang mewartakannya sudah memenuhi ketentuan yang berlaku, penulis lebih setuju pada pendapat yang mengesahkannya Karena bagaimanapun juga metode ini pernah dilakukan pada masa-masa awal, walaupun masih dalam jumlah terbatas. Keterbatasan ini menurut penulis tidak lebih dari langkah untuk meminimalisir terjadinya distorsi dalam mewartakan nilai-nilai agama. Yang terpenting, rawi harus maupun data yang menjadi sumber primer harus kredibel .
KONTROVERSI HADITS MU’AN’AN & MUANAN
Hadits mu’an’an adalah hadits yang dalam proses pewartaannya hanya menyebutkan lafat عن فلان عن فلان tanpa memberi penjelasan apakah hadits tersebut diperoleh dengan mendengar langsung atau yang lain .
Kalimat عن bukan sengaja diletakkan oleh rawi yang namanya disebut sebelumnya, melainkan ia datang dari orang yang ada di bawahnya . Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Himam حدثنا قتادة عن أنس, maka kalimat ‘An di situ merupakan perkataan Himam, bukan Qatadah. Karena ‘An berkesinambungan dengan حدثنا. Disamping itu kebiasan seorang guru dalam meriwayatkan hadits dengan mengatakan حدثنا, أخبرنا dll. tidak dengan kalimat عن. Dengan demikian, dalam kasus Himam di atas masih belum dapat dipastikan kalimat apa yang digunakan oleh Qotadah ketika meriwayatkan hadits dari Anas. Sehingga juga berakibat pada belum adanya kejelasan, apakah sanad Qotadah dari Anas bersambung atau tidak .
Sementara terkait dengan Mu’asharah (seperiode) apakah ia bisa dijadikan sebagai salah satu metode untuk menetapkan bersambungnya sanad, masih menjadi perdebatan yang sangat hangat di kalangan kritikus hadits. Imam Muslim dalam mukadimah kitab shahihnya mengatakan Mu’asharah saja sudah bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk memastikan kemuttasilan sanad, dengan catatan sanad tersebut tidak mengadung unsur tadlis , sekalipun tidak ada informasi lebih lanjut yang menjelaskan bahwa keduanya pernah bertemu. Imam Muslim tidak men-syaratkan adanya liqo’ dan simak, yang terpenting dalam pandangan beliau adalah ketsiqahan perawi yang menjadi perekam fakta kesejarahan hadits . Pendapat ini juga dikemukakan oleh mayoritas kritikus hadits di antaranya al Hakim. Sementara Ali al Madini dan muridnya al Bukhari mengharuskan adanya pertemuan dan berkumpul antara perawi, walaupun hal itu hanya terjadi sekali .
Abu Bakar al Shairafi menjelaskan lebih lanjut bahwa seorang rawi yang telah dikenal sebagai orang yang mendengar hadits dari seorang syeikh, bila kemudian ia meriwayatkan hadits dari syeikh tersebut maka hadits yang diriwayatkan dianggap muttasil. Demikian juga orang yang diketahui bertemu dengan syeikh kemudian meriwayatkan darinya. Anggapan ini terus berlaku sampai ada kejelasan bahwa hadits yang diriwayatkannya mengandung unsur tadlis .
Bagaimanapun juga dalam uji ketersambungan sanad, hadits ini tidak terlepas dari kritikan para muhaddits lain. Syu’bah misalnya menyatakan hadits yang dirwayatkan dengan ‘An tidak pantas disebut sebagai hadits, melainkan ia adalah –seperti juga diungkapkan an Nawawi- ucapan yang disepakati oleh ulama klasik untuk menolaknya. Di antara orang yang menolak kemuttasilan sistem transmisi (sanad) hadits ini adalah al Baihaqi. Beliau mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Qais sebagai sampel, yang kemudian dijadikan sebagai alasan untuk memastikan ketidak bersambungan serial mata rantainya . Yang demikian ini dikarenakan hadits tersebut mengandung kemungkinan besar bahwa orang yang menjadi tangga perantara tidak mendengar langsung dari gurunya, melainkan ia mendapatkannya dari orang lain yang sengaja tidak disebutkan dalam serial mata rantainya .
Penulis melihat pertentangan seputar hadits mu’an’an yang terjadi di kalangan para pendahulu kita hanyalah sebatas wanaca pemikiran. Lebih tepatnya tertjadi sedikit miskomunikasi, yang sebenarnya tidak perlu di perluas. Pendapat ulama yang kontra mu’an’an misalnya –menurut persepsi penulis- sebenarnya merupakan langkah protektif untuk membendung eskalasi pemalsuan hadits, sehingga mereka memilih sikap menolak segala bentuk hadits yang diriwayatkan dengan ‘An, karena pada tataran prosesnya ia dianggap tidak jelas.
Namun tidak demikian halnya dengan golongan yang setuju. Sekalipun dalam hadits ini terdapat beberapa kemungkinan tidak bersambungnya sanad, semisal tidak mendengar langsung, namun dengan adanya beberapa syarat yang dikemukakan oleh golongan kedua, maka kemungkinan-kemungkinan negative itu akan segera hilang dengan sendirinya. Dan dari sini dapat dimengerti bahwa tidak semua hadits mu’an’an dapat diterima oleh golongan ini, melainkan yang bersumber dari orang-orang tertentu.
Sama halnya dengan mu’an’an adalah hadits muannan . Yaitu hadits yang dalam pola penyampainnya banyak menggunakan أنّ. Al Barmawi menyatakan sebenarnya pertentangan seputar perkataan rawi أنّ فلان قال/ عن فلان أنه قال tidak perlu diperpajang, karena keduanya sama saja dengan rawi mengatakan قال فلان. Melainkan yang perlu kita cermati disini apabila perawi yang menjadi sumber primer hadits mengatakan إن فلان قال/ فعل كذا atau lafat lain yang tidak menunjukkan adanya simak.
Oleh karenanya, al Hafidz Ibnu Rajab memberikan jalan tengah. Menurut beliau perkataan rawi berupa إن فلان قال/ فعل كذا dalam kemuttasilan sanad terdapat dua macam. Pertama, jika rawi memang mendengar atau menyaksikan langsung ucapan atau perbuatan yang diceritakan, maka ia sama dengan قال فلان/ فعل فلان كذا, yang berarti serial mata rantainya bersambung. Kedua, kemungkinan kedua ini rawi tidak mendengar atau melihat sendiri, semisal masanya berbeda . Jika memang demikian, maka contoh yang disebut terahir ini bisa dipastikan tidak muttasil.
SIMPULAN
Setelah kita mengetahui metode penyajian hadits dengan berbagai ragamnya, dapat kita mengambil satu kesimpulan bahwa, untuk menjadi informator hadits –dengan melihat pada kreteria yang telah ditetapkan- ternyata tidak semudah yang kita bayangkan, yang pernah ada di zaman ini. mereka (pemerhati hadits) benar-benar konsisten menyeleksi hadits agar validitasnya tetap terjaga. Sekalipun di antara mereka ada yang terlalu ketat dan ada yang lumayan longgar, namun mereka tetap memberikan aksentuasi yang signifikan dalam perkembangan sejarah hadits.
Perbedaan pendapat seputar salah satu metode untuk mereportasekan hadits, bukanlah hal yang perlu diperpanjang, karena pada intinya –menurut analisis penulis- dalam ketersambungan sanad mereka menekankan simak atau minimal harus berpegang pada kodeks-kodeks yang valid.


Daftar pustaka

Al Aini, Badrudin Abi Muhammad, Umdah al Qarii Syarhu Shahih al Bukhari, vol 2, Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, 2001.
Al Iraqi, Moch Zainudin, al Taqyid Wa al Idlah, t.t. : Muassasahh al Kutub al Tsaqafiyah, t.t..
Al Khatib, Moch ujaj, Ushulul Hadist Ulumuhu Wa Musthalah, Beirut : Dar al Fikr, 1989.
Al Qosimi, Moch Jamaludin, Qawaid al Tahdits Min Fununi Mushtalah al Hadits, Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, t.t..
Al Sakhawi, Syamsudin Abdurrahman, Fathul Mugits Syarhu Alfiyatul Hadits, vol 1, Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, 2001.
Al Shan’ani, Muhammad, Taudlih al Afkar Lima’ani Tanqihil Andhar, vol 1, Beirut : Dar Ihyaul Turats al Arabi, 1998.
Abdurrahman, Aisyah, Muqadimatu Ibnu Shalah Wa Mahasin al Istilah, Kairo : Dar al Ma’arif, 1990.
Daud, Achmad Muhammad, Ulumul Quran Wal Hadits, Amman : Dar al Basyir, 1984.
Iyadl, Qadli, al Ilma’, Kiaro : Maktabah Dar al Turats, 1970.
Nashr, Shiddiq Basyir , Dlawabit al Riwayah Inda al Muhadditsin, Tharabulus : Silsilah al Turasiyah, 1992.
Mahmud, Abd Halim, al Tautsiq Wa al Tadl’if Baina al Muhadditsin Wa al Du’aat, t.t. : Maltabah Alfu Fa’, 1993.
Sholih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997.
Syakir, Ahmad Muhammad, al Ba’its al Hatsits, Kairo : Dar al Turats, 1979.

0 Response to "POLA PENYAJIAN HADITS"

Posting Komentar