HADITS ERA TABI’IN

a. Definisi tabi’in
Ulama berbeda pendapat di dalam pendefinisian tabi’in:
• Mayoritas ulama hadits mendefinisikannya dengan orang yang bertemu dengan sahabat, berdasarkan pada hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم :
"طوبى لمن رآنى وآمن بى وطوبى لمن رأى من رآنى................." الحديث
ِِِِِArtinya: “Beruntunglah orang yang bertemu dan beriman denganku (Nabi Muhammad), serta beruntunglah orang yang bertemu dengan orang yang bertemu denganku…….” .


Dengan definisi yang dikemukakan oleh mayoritas ulama hadits ini, siapapun yang bertemu dengan sahabat berhak mendapat gelar tabi’in, meskipun saat bertemu dengan sahabat ia masih belum cukup umur (tamyiz), dan meskipun pertemuannya dengan sahabat hanya sebatas bertatap muka (tidak sempat terjadi interaksi apapun). Definisi ini memang terkesan sangat longgar, namun dalam hal periwayatan hadits, orang yang dapat digolongkan sebagai tabi’in belum tentu bisa dijadikan sumber,. Sebagai contoh: Al-A’masy. Menurut Imam muslim, al-A’masy termasuk golongan tabi’in namun ia tidak boleh dijadikan sumber periwayatan hadits Musnad.
• Ibn Hibban mengemukakan bahwa seseorang dapat disebut tabi’in apabila saat bertemu dengan sahabat, ia sudah cukup umur. Oleh karena itu, Ibn Hibban menganggap Khalf Ibn Khalifah tidak termasuk tingkatan tabi’in melainkan termasuk pengikut tabi’in (أتباع التابعين).
• Menurut Imam Khatib tabi’in, adalah seorang yang bertemu dan melakukan interaksi dengan sahabat. Dalam definisinya ini, Imam Khatib menambahkan syarat harus adanya interaksi yang terjadi antara sahabat dan orang yang bertemu dengannya, karena interaksi dapat memberi pengaruh yang besar dalam perubahan perilaku .
b. Kodifikasi hadits
Semula, pada masa pembesar tabi’in (كبار التابعين) penulisan dan pengodifikasian hadits belum banyak mendapat perhatian, bahkan banyak di antara mereka yang tidak menyukai aktivitas tersebut. Ketidaksukaan para pembesar tabi’in terhadap kegiatan penulisan dan pengodifikasian hadits ini, bukan karena mereka menolak kehujahan hadits -sebagaimana faham para penganut hermeunetika-, melainkan disebabkan faktor yang justru menunjukkan kebaikan dan terpujinya perilaku serta hati mereka. Faktor tersebut adalah kekhawatiran mereka nantinya hadits akan menyamai al-Quran, sehingga menjadikan orang lalai terhadap al-Quran, karena terlalu banyak menaruh perhatian terhadap hadits. Namun, dengan banyaknya para tabi’in yang ahli dalam bidang hadits wafat, sehingga dikhawatirkan akan meyebabkan terhentinya proses pentrasferan hadits kepada generasi berikutnya, maka para tabi’in yang masih hidup memandang urgen penulisan dan pengodifikasian hadits.


Kota-kota terpenting dalam penyebaran hadits:
1. Madinah
2. Mekah
3. Kufah
4. Bashrah
5. Syam
6. Mesir
7. Maghrib dan Andalusia
8. Yaman
9. Yordania
10. Qazwin
11. Khurasan:
a. Bukhara
b. Samarqandi
c. Firyab

0 Response to "HADITS ERA TABI’IN"

Posting Komentar