MASLAHAH

A. Definesi Maslahah
Secara etimologi, Maslahah sama dengan manfaat dari segi maknanya. Maslahah juga berarti kemanfaatan atau pekerjaan yang mengandung manfaat.
Sementara dari tinjauan terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fikh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Al Gahazali mengemukakan bahwa maslahah pada prinsipnya adalah “mengambil manfaat dan menolak memudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara


Al Ghazali memandang bahwa suatu maslahah harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun hal itu bertentangan dengan tujuan manusia. Hal itu dikarenakan menurut beliau, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan pada tujuan syara’ yang sebenarnya, akan tetapi lebih sering didasarkan pada kehendak hawa nafsunya. Oleh karena itu, -masih menurut al Ghazali- yang dijadikan sebagai patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.

B. Varian-varian maslahah
Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fikh membaginya kepada :
a. Maslahah al Ammah. Yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatann umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b. Maslahah Khashsah. Yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat sering terjadi dalam kehidupan kita. Seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (Al Mafqud).
Mengetahui kedua pembagian kemaslahatan di atas adalah suatu hal yang sangat urgen, karena berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan, ketika terjadi benturan antara kemaslahatan umum dan kemaslahatan yang bersifat indivual. Dalam pertentangan keduanya, Islam mendahulukan kemaslahatan yang bersifat umum dari kemaslahatan pribadi.

Dan dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syarak membaginya atas tiga bentuk yaitu :
a. Maslahah muktabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syarak. Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Seperti dalam kasus peminum khamer, hukuman atas orang yang meminum minuman keras ( arak dan semisalnya) dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
b. Maslahah al Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syarak, karena bertolak belakang dengan ketentuan syarak. Misalnya, syarak menetukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al Bukhari dan Muslim). Terkait dengan kasus ini al Laits Ibnu Sa’ad langsung menetapkan dengan hukuman berupa puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadlan . Dalam kasus ini, para ulama memandang putusan hukum yang diberikan oleh al Laits tadi bertentangan dengan Hadits Rasullah di atas, karena bentuk-bentuk hukum itu menurut mereka harus diterapkan secara berurutan. Oleh sebab itu ulama ushul fikh memandang mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut daripada memerdekakan seorang budak dengan dalil kemaslahatan hukum, merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syarak, sehingga dengan sendirinya putusan itu menjadi batal. Kemaslahatan semacam ini, menurut kesepakatan mereka disebut Maslahah al Mulghah dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam memproduk hukum.
c. Maslahah yang keberadaannya tidak didukung oleh syarak dan tidak pula ditolak melalui dalil yang detail (rinci). Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu : (1). Maslahah al Gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau suatu kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syarak, baik secara rinci maupun secara umum. Ironisnya, para ulama ushul fikh sendiri tidak dapat mengemukakan contohnya yang pasti. Bahkan Imam as Syatibi menyatakan, kemaslahatan jenis ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada secara teori. (2). Maslahah al Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didudkung oleh dalil syarak atau nash secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.

C. Berargumen dengan maslahah
Ulama ushul fikh sepakat menyatakan bahwa maslahah muktabarah dapat dijadikan sebagai hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum Islam. Mereka juga sepakat menyatakan bahwa maslahah al Mulghah tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum Islam. Demikian juga dengan maslahah al gharibah, karena tidak ditemukan dalam prakteknya. Adapun terhadap kehujjahan Maslahah al Mursalah, pada prinsipnya semua ulama madzhab menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syarak. Sekalipun dalam menentukan syarat, penerapan, penempatan, dan istilahnya mereka berbeda pendapat.
Kadangkala hikmah yang ada di belakang hukum itu tampak jelas, sehingga tida perlu dipermasalahkan. Tetapi kadangkala juga hikmah tersebut sangat samar, yang hanya bisa diketahui oleh orang yang ahli dan berkompeten di bidang itu. Ketidaktahuan akan maksud dan hikmah syri’at terkadang malah mebuat orang mengingkarinya. Dalam kaitannya dengan ini, Ibnu Qayyim dalam statementnya menyatakan “Syari’at itu semuanya bernilai keadilan, rahmah, hikmah dan maslahah. Kemudian beliau menambahkan bahwa masalah apa saja yang tidak mengandung nilai-nilai tersebut, maka ia bukan syariat, tetapi mungkin saja sudah kemasukan unsur-unsur takwil dan bisa juga kepentingan-kepentingan tertentu”.
.
dalam kaidah yang berbunyi : إذا تعارض المفسدتان روعي أعظم هما بارتكاب أخف هما ضرارا
Menolak kemudlaratan, bagaimana pun bentuknya merupakan tujuan syarak yang wajib dilakukan. Menolak kemudlaratan (bahaya) itu termasuk dalam konsep maslahah muarsalah. Atas dasar itulah ulama hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat sifat kemaslahatan tersebut terdapat dan didukung oleh nash dan ijma’. Penerapan konsep maslahah mursalah di kalangan hanafiyah terlihat sangat luas dalam metode Istihsan . Indikasi-indikasi yang dijadikan pemalingan hukum tersebut pada umumnya adalah maslahah mursalah.
Maslahah ini yang menyebabkan Abu Bakar mengumpulkan lembaran-lembaran al Quran yang berserakan. Sehingga al Quran mengalami perkembangan sampai menjadi satu mushaf. Padahal sebelumnya hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Kemudian dengan dasar itu pula Umar membentuk kota-kota administrasi, dan membangun penjara, Rasulullah tidak pernah melakukan hal tersebut yang disinyalir oleh ahli sejarah sebagai gagasan Umar. Dan dasar ini pula yang dijadikan landasan oleh ahli fikh Syafi’iyah bahwa boleh membunuh seorang muslim yang dijadikan taming atau perisai oleh orang-orang kafir yang harus dibunuh.
Selain hanafiyah, madzhab Maliki dan Hambali adalah madzhab yang menerima maslahah mursalah sebagai landasan hukum, bahkan kedua madzhab ini dianggap sebagai ulama fikh yang paling banyak dan luas dalam menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah adalah hasil induksi dari logika sekumpulan nash, akan tetapi bukan dari nash-nash yang rinci sebagaimana dalam Qiyas.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh jumhurul ulama dalam menjadikan maslahah sebagai pijakan hukum, antara lain : (A). Hasil induksi atas sejumlah ayat dan hadist menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia sebagaimana disinyalir firman Allah “dan tidaklah kami mengutus mu (Muhammad ) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam”. Menurut mereka, Muhammad tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia, baik didunia maupun id akhirat. Oleh sebab itu memberlakukan hukum-hukum yang mengandung maslahah adalah legal (sah). (B). Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu, serta subyek hukum. Apabila syariat Islam hanya dibatasi pada hukum-hukum yang sudah ada saja, padahal problematika dan kemaslahatan selalu muncul dan berkembang, maka akan membawa kesulitan bagi umat manusia ,. (C). Penggunaan maslahah mursalah ini juga didasarkan pada beberapa atsarus sahabah.
Dari tinjauan ini kita memperbolehkan kaum wanita bepergian pada masa sekarang dengan tanpa disertai oleh muhrimnya, karena keadaan saat ini bisa dikatakan sudah aman. Sebagaiman bepergian dengan pesawat, kapal laut, dan kereta api yang mengangkut beratus-ratus kaum wanita. Keadaan sekarang sudah tidak lagi seperti keadaan di padang pasir dulu.
Seperti juga larangan bagi lelaki mendatangi keluarganya diwaktu malam ketika datang dari bepergian jauh, dengan alasan hal itu akan mengagetkan mereka. Akan tetapi di masa kita saat ini, ia mungkin sudah menghubungi keluarganya terlebih dulu dengan telepon, faksimili dan lain sebagainya yang membuat keluarganya menjadi tenang. Apalagi di masa ini orang tidak bisa seenaknya mengundurkan janji bepergian atau pulang. Bahkan perusahaan penerbangan mengharuskannya menepati jadwal penerbangan yang ada, kalau tidak ia harus memberi konfirmasi dulu.

D. Kereteria maslahah
Dalam menjadikan maslahah sebagai pijakan hukum, ulama yang menerapkannya telah menetapkan beberapa kereteria yang harus dipenuhi. Di bawah ini kami tampilkan beberapa syarat maslahah yang dikemukakan oleh mereka, yaitu :
1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syarak dan termasuk jenis kemaslahatan yang didukung oleh nash secara umum.
2. Kemaslahatan itu harus bersifat rasional dan pasti, bukan sekadar perkiraan. Sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah itu, benar-benar manghasilkan manfaat dan menghindarkan bahaya (mudlarat) dari manusia.
3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu .
Madzhab Syafii pada dasarnya juga menjadikan Maslahah Mursalah sebagi salah satu dalil syarak. Akan tetapi beliau lebih cenderung memasukkannya ke dalam bagian Qiyas. Misalnya beliau mengqiyaskan hukuman bagi peminum arak kepada hukuman orang yang menuduh orang berzina, yaitu berupa dera sebanyak 80 kali, karena orang yang mabuk diduga kuat akan menuduh orang lain berbuat zina. Dan tak ada yang mengingkari bahwa kebanyakan hukum yang dilahirkan dari qaul jadid Imam Syafi’i di Mesir didasarkan pada Urf penduduknya. Ini berarti, tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan penduduknya .
Al Ghazali bahkan secara luas membahas maslahah mursalah dalam kitab ushul fikhnya. Pada umumnya, syarat yang dikemukakan al Ghazali terkait dengan menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah dalam mengistinbat hukum sama dengan beberapa point di atas, walaupun terdapat sedikit kelainan pada point kedua dan ketiga, yatiu : (1). Maslahah itu sejalan dengan syarak. (2). Maslahah itu tidak bertentangan dengan nash syarak . (3). Maslahah itu termasuk dalam maslahah yang dlaruriyah (kebutuhan yang sangat mendesak), baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kepentingan orang banyak. Untuk yang terahir ini al Ghazali mengatakan bahwa yang hijiyah (kebutuhan biasa), apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi dlaruriyah.
Selanjutnya beliau menambahkan, Jika yang dimaksudkan dengan Maslahah Mursalah disini adalah untuk mewujudkan moralitas unversal dari syariat, maka dalil ini tidak perlu diperselisihkan lagi dan sudah menjadi keharusan untuk diikuti. Namun ketika terjadi pertentangan antara dua maslahah, maka harus dilakukan tarjih .
Pendapat Umar di atas telah disepakati oleh Utsman, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sejumlah tabi’in. Contoh-contoh seperti ini sangat banyak dilakukan oleh para sahabat. Oleh karenanya, Imam al Syatibi dalam memberlakukan maslahah Mursalah tidak menetapkan syarat sebagaimana yang telah ditetapakan oleh al Ghazali, khususnya point pertama dan kedua. Hanya beliau memberikan tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan dalil maslahah.
A. Bersifat logis, yakni ketika dilogikakan ia dapat diterima. Ia tidak menerima hal-hal yang bersifat Ta’abbudi (ibadah), karena hal-hal yang bersifat ta’abbudi adalah sesuatu yang harus diterima.
B. Ada hubungannya dengan tujuan syariat secara global, dengan tidak menghilangkan hukum dari asalnya, serta tidak ada dalil yang menunjukkan secara qath’i.
C. Penggunaan dalil tersebut atas dasar memelihara sesuatu yang mendesak (dharuri) atau menghilangkan kesulitan dalam agama .
Adapun dasar penggunaan dalil maslahah untuk menghilangkan kesulitan, dimungkinkan ada hubungan dengan kebutuhan yang mendesak, yang maksudnya adalah untuk meringankan dan mempermudah. Dengan demkian tidaklah menjadi keharusan memenuhi beberapa syarat yang dikemukakan olah al-Ghazali, karena Kemaslahatan adakalanya bersifat mendesak dan ada yang hanya sekadar kebutuhan untuk meringankan manusia dan menghilangkan kesusahan. Tidaklah menjadi keharusan bahwa sesuatu yang menyeluruh itu meliputi kepentingan umum. Sedangkan memelihara maslahat pribadi dan kelompok-kelompok yang berbeda diakui oleh syariat. Dan tidak menjadi keharusan juga maslahah yang dapat dijadikan sebagai pijakan hukum itu berupa Qath’i (pasti), sedangkan melakukan dzan (praduga) yang rajih dibenarkan dalam masalah hukum cabang.


F. Kontradiksi maslahah dengan nash dan qiyas
Ketika terjadi benturan antara maslahah dengan nash atau qiyas, maka terkadang maslahah harus lebih diprioritaskan daripada nash dan qiyas , apabila maslahah yang dimaksud memang nyata dan terbukti logis. Sedemikian ini biasanya apabila berkaitan dengan masyakkah dan dharurah.
Pertentangan antara maslahah dengan nash dan qiyas hanya terdapat dalam kasus- kasus parsial, sekaligus merupan pengecualian. Bukan berarti menghilangkan peran nash untuk selamanya. Jika dalam kasus parsial itu tidak lagi ditemukan kemaslahatan untuk mengamalakn nash, dan dampaknya justru lebih mengarah pada kerusakan, maka kasus parsial itu harus dikecualikan dari ketentuan umum, demi terealisasinya kemaslahatan bagi umat manusia. Sementara dalam kasus lain, nash dan qiyas tetap diamalkan sesuai dengan kandungannya.
1. Bertentangan dengan al Quran.
Tidak memberikan bagian orang-orang Muallaf dari harta Fai’, ketika memberikan bagian itu tidak lagi mngandung maslahah bagi Islam. Keputusan Umar ini bertolak-belakang dengan ayat al Quran :
والمؤلفة قلو بهم
Tidak memberlakukan had potong tangan bagi orang yang mencuri pada masa-masa krisis ekonomi yang sedang melilit, jika motif pencuriannya itu karena memang tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan. Padahal ketetapan ini berseberangan dengan dzahir ayat :
والسارق والسارقة فا قطعوا أيديهما
Bisa juga dimasukkan dalam bagian ini, kasus larangan memakai jilbab di nagara-negara minoritas muslim yang sedang hangat diperbincangkan baru-baru ini.

2. Bertentangan dengan al sunnah.
Tidak memberlakukan hukuman pengasingan selama setahun –bagi wanita- dalam had zina, karena lebih mejaga pada eksistensi keagamaan pelakunya. Putusan ini jelas bertentangan dengan hadits Nabi :
البكر بالبكر : جلد مأة و تغريب عاما
Kebolehan membunuh orang zindiq terselubung walaupun menyatakan telah bertaubat, jika dihawatirkan akan merusak akidah umat dan untuk menjaga agama. Sementara pernyataan ini kontras dengan bunyi hadits :
أمرت أن أقاتل النا س حتى يقولوا لا إله إلا الله .......الحديس
3. Bertentangan dengan Qiyas / kaidah umum..
Memperbolehkan seorang safih (bodoh) berwasiat dalam hal kebaikan, agar dia suka berbuat baik, di samping tidak adanya madlarah (bahaya) dalam Tabarru’. Walupun hal itu tidak sejalan dengan kaidah umum yang berbunyi :
لا يصح التبرع من المحجور عليه
Demikian juga hukum bolehnya memasuki (mandi) pemandian umum tanpa adanya kesepakatan mengenai ongkos, dan tidak adanya batasan yang jelas terkait dengan lamanya waktu serta banyaknya air yang digunakan. Seperti juga halnya kasus parkiran umum, yang tidak ada batasan yang jelas mengenai lamanya waktu parkir dengan ongkos yang sama. Dua kasus yang disebut terahir ini jelas-jelas bertentangan dengan Qiyas umum yang menghukumi kebatalan menjual dan menyewakan sesuatu yang tidak diketahui ((المجهول. Dan masih ada sejuta kasus yang tak pernu penulis sebutkan di sini.
Dengan melihat pada contoh-contoh di atas, sudah menjadi satu keharusan bagi para mujtahid –khususnya ulama kontemporer yang berkompeten di bidang hukum- ketika terjadi saling tarik ulur antara maslahah, nash dan qiyas, agar menganalisis kasus yang ada dan membandingkannya dengan maslahah yang dikehendaki syarak. Kemudian mempertimbangkan dan menyeleksinya, mana yang lebih maslahah sehingga harus diutamakan dan mana yang tidak . Karena syari’ sendiri mendahulukan yang lebih maslahah dari semua yang mengandung maslahah, dan mengambil yang terbaik dari semua yang jelek.

0 Response to "MASLAHAH"

Posting Komentar