MU’TAZILAH DAN AHLI SUNNAH WA AL-JAMAAH

I. MU’TAZILAH
Aliran MU’TAZILAH dipelopori oleh Washil bin Atho' (w. 748H) dan 'Amr bin Ubaid (w. 761 H). Menurut pakar sejarah, aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murji'ah tentang di mana posisi seorang mukmin yang telah melakukan dosa besar.


Menurut aliran Khawarij, ia telah dianggap sebagai orang kafir. Sementara aliran Murji'ah tetap menganggapnya sebagai orang mukmin. Sedangkan menurut Washil bin Atho' –dalam masalah ini ia ia mendahului gurunya 'Hasan al-Basri (w. 727 H)' dalam memberikan jawaban-; orang tersebut berposisi di antara mukmin dan kafir, sehingga tidak berada di neraka ataupun di surga. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat selain surga dan neraka, maka ia tetap dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Demikianlah pendapat Wasil, yang nantinya akan menjadi salah satu doktrin MU’TAZILAH, yakni al-Manzilah baina al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Setelah itu, ia meninggalkan perguruan Hasan al-Basri dengan membentuk kelompok sendiri, yang menjadi cikal bakal dari kelompok MU’TAZILAH (berdiri pada 100 H/718 M), yang berarti orang yang memisahkan diri (dari pendapat-pendapat sebelumnya). Sebenarnya ada beberapa pendapat mengenai sebab munculnya nama MU’TAZILAH, di antaranya menurut al-Baghdady:
 Ahli Sunnah menyebut mereka dengan MU’TAZILAH karena konsep yang mereka lontarkan, yaitu Manzilah baina al-Manzilatain.
 Sedangkan menurut al-Syahristani, bahwa ketika Washil bin Atho' berbeda pendapat dengan gurunya (Hasan al-Basri) -dalam permasalahan orang mukmin yang melakukan dosa besar- dan meninggalkan majlis beserta teman-temannya yang sepaham dengannya, setelah itu Hasan al-Basri berkata: "I'tazala 'annaa Washil" (Wasil menjauhkan diri dari kita). Maka sejak itulah ia dan teman-temannya disebut dengan MU’TAZILAH.
MU’TAZILAH memiliki julukan-julukan yang lain, di antaranya: Ahl al-'Adl, Ahl al-Tauhid, Qadariyah, Ahl al-Haq, dan lain-lain.
Pada awal perkembangannya, MU’TAZILAH kurang mendapat simpati dari masyarakat awam dikarenakan mereka sulit memahami ajaran MU’TAZILAH yang bersifat filosofis dan rasional. Di samping itu, golongan ini dinilai tidak berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Saw dan para sahabat.
Barulah pada masa pemerintahan al-Makmun , aliran ini mendapatkan dukungan lebih luas, karena sang khalifah menjadikannya sebagai madzhab resmi negara. Dalam fase kejayaannya, MU’TAZILAH seringkali memaksakan ajarannya kepada kelompok lain dengan penyiksaan (misal: yang dilakukan kepada Ahmad bin Hambal, karena menentang pendapat mereka yang mengatakan al-Quran adalah makhluk), dan juga pernah suatu ketika Khalifah al-Makmun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan yang mereka anut ini. Barulah pada masa al-Mutawakkil , peristiwa menghebohkan ini berhenti, karena dominasi aliran MU’TAZILAH semakin menurun dan semakin tidak simpatik di mata masyarakat. Ia mengganti paham MU’TAZILAH dengan Asy'ariyah sebagai madzhab negara.
Doktrin MU’TAZILAH
Doktrin MU’TAZILAH terkenal dengan 5 ajaran dasar yang populer dengan istilah al-Ushul al-Khamsah, yaitu: al-Tauhid (tauhid), al-'Adl (keadilan) , al-Wa'd wa al-Wa'id (janji dan ancaman), al-Manzilah baina al-Manzilatain (posisi di antara 2 posisi), al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-nahy 'an al-Munkar(perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat) . Kelima ajaran ini telah disepakati oleh seluruh pengikut aliran ini, walaupun terkadang dalam penjelasannya ada perbedaan di antara sesama tokoh, hal ini lumrah sebab mereka memberikan peranan yang besar terhadap akal manusia.
Al-Tauhid, yang dimaksud di sini mereka meyakini sepenuhnya bahwa Allah adalah yang Maha Esa dengan menafikan seluruh sifat-sifat-Nya (dalam artian bahwa Tuhan tidak memiliki sifat yang berdiri di luar Zat-Nya) untuk menghindari adanya yang Qadim selain Allah. Kalau Tuhan mempunyai sifat Maha Mengetahui, maka bagi mereka yang Maha Mengetahui itu bukan sifat–Nya melainkan Zat-Nya.
Al-'Adl (keadilan Tuhan), paham ini memberikan pengertian bahwa Tuhan tidak akan berbuat zalim pada hamba-Nya, dari sini timbul ajaran al-shalah wa al-ashlah yang maksudnya Tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia, dengan tidak memberikan beban yang terlalu berat. Tuhan wajib mengirimkan Rasul dan Nabi-Nabi untuk menuntun kehidupan manusia, dan lain sebagainya.
Al-Wa'd wa Al-Wa'id (janji dan ancaman), Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga dan menepati ancaman-Nya dengan mencampakkan orang kafir dan orang berdosa besar ke dalam neraka, sekalipun Allah sanggup melakukkan sebaliknya, namun itu tidak mungkin sebab pasti akan bertentangan dengan sifat adilnya Allah. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya dengan melalui daya yang telah diciptakan Tuhan untuknya.
Al-Manzilah baina al-Manzilatain (posisi di antara 2 posisi). Paham ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan MU’TAZILAH ketika terjadi peristiwa antara Washil bin Atho’ dan Hasan al-Basri. Bagi MU’TAZILAH , orang mukmin yang melakukan dosa besar bukan termasuk kafir dan bukan pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya, yaitu yang disebut dengan fasik. Seseorang yang dihukumi fasik di dunia, tetap berhak menikah, mendapat warisan, serta dikuburkan bersama dengan orang-orang Islam dan selainnya. Namun ia tidak berhak untuk menjabat sebagai penguasa atau imam. Adapun nanti di akhirat, bila ia mati belum sempat bertaubat, maka ia akan hidup kekal di neraka, sekalipun siksaan yang diterima lebih ringan daripada orang-orang musyrik.
al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-nahy 'an al-Munkar(perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat). Dalam prinsip MU’TAZILAH, setiap Muslim wajib menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan segala daya upaya yang dimiliki (bahkan mengangkat senjata), yang , mana ketika itu golongan Ahli hadits dan ahli Sunnah membatasi diri (dalam amar ma’ruf nahi munkar) dengan hati dan lisan semata.
Aliran MU’TAZILAH melahirkan beberapa tokoh penting yang terbagi dua kelompok, yaitu kelompok Basrah dan Baghdad. Pemukapemuka yang termasuk kelompok Basrah adalah Washil bin Atho’ (80H/699M-131H/748M), ‘Amr bin ‘Ubaid (w. 145 H), Abu Hudzail al-‘Allaf (135-235 H), al-Nadzam (185-231 H), al-Jahiz (Abu Usman bin Bahar (w. 869 H), dan al-Jubba’I (w. 210). Adapun kelompok Baghdad antara lain, Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H), Abu Musa al-Murdar (w. 226), Sumamah bin Asyras (w. 213 H), Ahmad bin Abi Du’ad (w. 240 H), Hisyam bin Amir al-Fuwati, dan Abu al-Husain al-Khayyat (w. 300 H).

II. Ahlu Sunnah wa al-Jamaah
a. Asy’ariyah
Kelompok ini dinisbatkan pada Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (260 H-334 H). Kelompok ini muncul ketika Abu Musa al-Asy’ari mulai bimbang dengan ajaran MU’TAZILAH yang selama ini dianutnya, sehingga suatu saat ia mengurung dirinya di dalam kamar memohon petunjuk kepada Allah agar ditunjukkan kebenaran. Setelah beberapa hari (15 hari) bertepatan dengan hari Jumat, ia keluar menuju masjid al-Basrah berkhutbah di hadapan masyarakat, yang intinya adalah penolakan ajaran MU’TAZILAH yang dianggapnya adalah paham akidah yang sesat.
Doktrin Asy’ariyah
1) Berusaha untuk menghidupkan kembali paham akidah ulama salaf.
2) Melandasi akidahnya dengan al-Kitab dan al-Sunnah. Dalam arti, mengambil ayat-ayat yang ada dalam al-Quran, baik ayat Muhkamat ataupun ayat Mutasyabihat dengan tanpa mentakwilnya. Serta menggunakan hadits-hadits yang sahih ataupun yang Ahad dalam pengambilan keputusan.
3) Menolak paham aliran MU’TAZILAH dan menganggapnya sebagai aliran kafir terhadap al-Quran (karena menggapnya makhluk).
4) Meyakini segala apa yang telah diyakini oleh para ulama salaf, termasuk:
 Meyakini kesempurnaan sifat-sifat Allah dengan tanpa diserupakan ataupun ditakwil lagi.
 Meyakini bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, yang mentakdirkan segala hal tanpa terkecuali.
 Meyakini bahwa beriman adalah meyakini dalam hati dengan lisan sebagai penegas isi hati. Siapapun yang menerima kerasulan Muhammad dalam hati dalam menegaskannya dengan lisan, niscaya ia dianggap sebagai orang yang beriman. Bila melakukan dosa besar dan belum sempat bertaubat, maka ia di bawah kekuasaan Allah, dalam artian bila Allah menghendaki maka ia akan disiksa, lalu dimasukkan ke surga setelahnya, atau sebaliknya tanpa disiksa sama sekali.
 Meyakini bahwa esok di hari kiamat, orang-orang yang beriman akan dapat melihat Allah sebagaimana melihat rembulan di malam purnama.
 Meyakini mukjizat para Nabi dan karamah para wali.
 Meyakini bahwa Khulafa al-Rasyidin adalah benar.
5). Meyakini bahwa 2 kelompok (dari sahabat dan tabi’in) yang berseteru bukanlah orang yang fasik, karena menimbang kesalehan dan ketakwaan mereka serta berusaha untuk selalu berbaik sangka kepada mereka, maka yang berhak menentukan adalah Allah.
6). Meyakini bahwa al-Quran (Kalam Allah) bukanlah makhluk. Adapun perbuatan, suara, tulisan yang dilakukan manusia itulah makhluk.

b. Maturidiyah
Kelompok ini dinisbatkan pada tokoh yang bernama al-Maturidi . Lontaran-lontaran pemikirannya sejalan dengan pemikiran imam Abu Hanifah dalam ushul, penjelasannya serta cabang-cabangnya. Begitu juga dengan Asy’ariyah, sebagian besar pemikiran Maturidiyah sama dengan mereka, walaupun ada beberapa saja yang berbeda. Perbedaan itu lebih disebabkan, al-Maturidi lebih memberikan peran dan toleransi kepada akal dalam memahami Allah (ma’rifat Allah), sehingga dalam beberapa prinsip yang ditawarkan, ia banyak menjadi penengah di antara MU’TAZILAH dan Ahli Sunnah, dalam artian tidak terlalu ke kanan maupun ke kiri
Doktrin Maturidiyah
1) Makrifat kepada Allah
Mereka berpendapat, bahwa dalam memahami Allah (ma’rifat Allah) dan segala hal yang berkaitan dengan ajaran Teologi, seorang Muslim wajib untuk memanfaatkan akal secara maksimal. Sepintas al-Maturidiyah sama dengan MU’TAZILAH, namun sebenarnya mereka tidak seekstrem MU’TAZILAH yang menyatakan bahwa hukum taklif (beban syariat) adalah ditentukan oleh akal, mereka berpendapat hukum taklif tetap ditentukan oleh Allah.
2) Sifat-sifat Allah
Dalam hal ini Maturidiyah mencoba menengah-nengahi pendapat MU’TAZILAH dan Asy‘ariyah (tetapi sepertinya ia lebih condong ke MU’TAZILAH dalam posisi sifat-sifat itu). Mereka mengakui bahwa sifat Allah itu ada (seperti Asy’ariyah), namun sifat itu sendiri, tidak lain adalah Dzat-Nya (seperti MU’TAZILAH), sehingga Allah itu Maha Mendengar dengan Dzat-Nya, Maha Kuasa dengan Dzat-Nya dan seterusnya.
3) Sifat-sifat Khabariyah (yang terdapat dalam nash)
Al-Maturidiyah lebih cenderung menggunakan ta’wil dalam menerjemahkan sifat-sifat Allah yang ada di dalam nash, seperti: kata yadun diterjemah dengan kenikmatan dan kekuasaan, wajah diterjemah dengan Dzat Ilahiyah, dll.
4) Kalam Allah
Mereka berpandangan bahwa makna kata yang ada dalam mushaf al-Quran adalah Qadim dan berdiri sendiri (bukanlah makhluk). Sedangkan kata-kata dan huruf-huruf yang ditulis di dalamnya adalah baru (Hadits) atau makhluk.
5) Perbuatan manusia
Dalam hal ini, lagi-lagi Maturidiyah mengambil posisi tengah. Mereka berpendapat bahwa Allah menciptakan semua perbuatan manusia (seperti pendapat Asy’ariyah yang dianggap Jabariyah karenanya), namun usaha yang akan berimplikasi pada pahala dan siksa nantinya adalah kreasi manusia sendiri dengan daya kemampuan yang dititipkan Allah kepada mereka.

6) Orang yang melakukan dosa besar
Orang yang melakukan dosa besar –menurut Maturidiyah- masih dianggap Islam dan beriman. Sehingga orang ini tidak akan selamanya disiksa di neraka (karena neraka bukan tempatnya orang beriman). Kemudian jika orang tersebut meninggal dan belum sempat benar-benar bertaubat, maka yang berhak memutuskan adalah Allah, bahkan Dia berhak mengampuninya dengan tanpa siksaan sedikitpun. Mereka bersandar pada surat an-Nisa’: 48 dan 116.

3 Response to "MU’TAZILAH DAN AHLI SUNNAH WA AL-JAMAAH"

  1. Unknown says:
    19 Januari 2015 pukul 08.11

    Assalamu'alaikum..
    izin save file.nya yaa,, buat baca2+referensi tugas jga, hehe
    syukran..

  2. Unknown says:
    9 Mei 2015 pukul 01.23

    Mantap.. jadi tau..

  3. Unknown says:
    9 Mei 2015 pukul 02.53

    Mantap.. jadi tau..

Posting Komentar