FENOMENA PERCERAIAN

Bab I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Teks Hadits Lengkap Dengan Sanad
حدثنا كثير بن عُبيد، حدثنا محمد بن خالد، عن مُعرِّف بن واصل، عن مُحارِب بن دِثار، عن ابن عمر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ تَعَالىَ اَلطَّلاَقُ" .

C. Rumusan masalah
D. Tujuan penelitian
E. Kegunaan penelitian


Bab II. LANDASAN TEORI
A. Terminologi Hadits Nabawi
I. Pengertian Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Secara etimologi hadits berarti sesuatu yang baru. Sedangkan secara terminologi hadits adalah perkataan, tindakan, keputusan, sifat jasmani, akhlak, dan perilaku Nabi Muhammad, baik sebelum menjadi Nabi maupun setelahnya.
Sunnah secara etimologi mempunyai arti langkah . Adapun secara terminologi, sunnah mempunyai arti yang sama dengan hadits . Namun, ketika ditemukan kata hadits kebanyakan artinya cenderung mengarah kepada perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad setelah beliau menjadi Nabi. Dengan demikian, arti sunnah lebih luas daripada hadits .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara hadits dan sunnah terdapat sedikit perbedaan, yaitu hadits khusus untuk perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad setelah beliau menjadi Nabi. Adapun sunnah lebih umum dari hadits. Di samping mencakup perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad setelah menjadi Nabi, sunnah juga mencakup perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad sebelum menjadi Nabi.
Secara etimologi atsar berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat .
Secara etimologi khabar berarti cerita . Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar, yaitu:
a. Kata khabar sinonim dengan hadits;
b. Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad. Sedangkan hadits adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad.
c. Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadits. Oleh karena itu, setiap hadits dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut dengan hadits .
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa antara atsar dan khabar tidak ada perbedaan sama sekali, dengan kata lain keduanya merupakan dua kata yang sinonim. Namun menurut para pakar fiqh dari wilayah Khurasan, atsar khusus kepada hadits mauquf, sedangkan khabar khusus kepada hadits marfu’.
II. Pengertian al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi
Terkait dengan pengertian al-Quran dari segi etimologi, para ulama berbeda pendapat. Di dalam kitab Ulum al-Quran wa al-Hadits, Muhammad Ali Daud menyebutkan enam pendapat berkenaan pengertian al-Quran dari segi etimologi ini, yaitu:
1. Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Quran merupakan nama yang independent, tidak diderivasi dari kosakata apapun. Ia merupakan nama yang khusus digunakan untuk firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
2. Menurut Imam al-Fara’ kata al-Quran diderivasi dari noun (kata benda) qarain, bentuk jama’ (plural) dari qarinah yang mempunyai arti indikator. Menurutnya, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad disebut dengan al-Quran karena sebagian ayatnya menyerupai sebagian ayat yang lain, sehingga seakan-akan ia menjadi indikator bagi sebagian ayat yang lain tersebut.
3. Imam al-Asy’ari dan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa kata al-Quran diderivasi dari masdar (abstract noun, kata benda abstrak) qiran yang mempunyai arti bersamaan atau beriringan. Menurut mereka, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad disebut dengan al-Quran karena surat, ayat, dan huruf yang ada di dalamnya saling beriringan.
4. Imam al-Zajaj berpendapat bahwa kata al-Quran diderivasi dari noun (kata benda) qur-u yang mempunyai arti kumpulan. Menurut al-Raghib, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dinamakan dengan al-Quran karena ia mengumpulkan intisari beberapa kitab yang diturunkan sebelum al-Quran.
5. Sebagian ulama mutaakhirin tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa al-Quran bersumber dari fi’il (verb, kata kerja) qaraa yang mempunyai arti mengumpulkan dengan dalil firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”. (Q. S al-Qiyamah: 17). Menurut mereka, kata kerja qaraa mempunyai arti memperlihatkan atau memperjelas. Dengan demikian, orang sedang yang membaca al-Quran berarti ia sedang memperlihatkan dan mengeluarkan al-Quran.
6. Menurut al-Lihyani kata al-Quran diderivasi dari fi’il qaraa yang mempunyai arti membaca. Oleh karena itu, kata al-Quran merupakan masdar yang sinonim dengan kata qiraah. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat .
Adapun definisi al-Quran secara terminologi adalah Firman Allah yang berbahasa Arab, dapat melemahkan musuh, diturunkan kepada Nabi Muhammad, ditulis di dalam mushaf, dan ditranformasikan secara tawatur serta membacanya termasuk ibadah .
Secara etimologi Hadits Qudsi merupakan nisbah kepada kata Quds yang mempunyai arti bersih atau suci . Sedangkan secara terminologi Hadits Qudsi adalah setiap hadits yang disandarkan oleh Nabi Muhammad kepada Allah .
Untuk pengertian Hadits Nabawi, baik secara etimologi maupun terminologi dapat dilihat di dalam pembahasan sebelumnya.
Setelah kita mengetahui masing-masing dari definisi al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi, maka ada baiknya kita juga membahas tentang perbedaan ketiga hal tersebut. Perbedaan antara al-Quran dengan Hadits Qudsi:
 Al-Quran mampu mengungguli sastra Arab yang waktu itu merupakan sastra yang terbaik, sehingga orang Arab tidak mampu membuat karya sastra yang seindah dan sebaik al-Quran, walaupun hanya satu surat. Tidak demikan halnya dengan Hadits Qudsi .
 Lafadz dan arti al-Quran berasal dari Allah. Sedangkan Hadits Qudsi, artinya berasal dari Allah, akan tetapi lafadznya dari Nabi Muhammad .
 Tidak boleh meriwayatkan al-Quran secara makna. Adapun Hadits Qudsi, boleh meriwayatkannya secara makna .
 Al-Quran tidak boleh dipegang oleh orang yang mempunyai hadats. Al-Quran juga tidak boleh dibaca oleh orang yang mempunyai hadats besar. Dua larangan ini tidak berlaku di dalam Hadits Qudsi .
 Al-Quran harus dibaca di dalam shalat. Sedangkan Hadits Qudsi, apabila dibaca di dalam shalat maka dapat menyebabkan shalat menjadi batal .
 Al-Quran ditransformasikan secara tawatur. Oleh karena itu, ia berstatus qath’i al-tsubut. Adapun mayoritas Hadits Qudsi ditransformasikan secara ahad (individual), sehingga ia berstatus dhanni al-Tsubut.
 Orang yang mengingkari al-Quran terkategorikan sebagai orang kafir, karena al-Quran bersifat qath’i al-Tsubut. Sedangkan orang yang mengingkari Hadits Qudsi tidak dianggap orang kafir, karena Hadits Qudsi bersifat dhanni al-Tsubut .
 Membaca al-Quran termasuk ibadah. Satu huruf al-Quran sebanding dengan 10 kebaikan. Hal ini tidak berlaku pada Hadits Qudsi .
 Di dalam al-Quran terdapat penamaan ayat dan surat untuk kalimat-kalimatnya. Tidak demikian dengan Hadits Qudsi .
Pebedaan antara Hadits Nabawi dengan Hadits Qudsi antara lain:
 Hadits Nabawi dinisbahkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad. Adapun Hadits Qudsi dinisbahkan kepada Allah. Nabi Muhammad hanya berstatus sebagai penyambung lidah dari-Nya .
 Bentuk Hadits Nabawi ada dua macam : 1. Tauqifi, yaitu hadits yang kandungannya diterima oleh Nabi Muhammad melalui wahyu, kemudian beliau sampaikan kepada umatnya. 2. Taufiqi, yaitu hadits yang tercipta murni dari pemahaman Nabi Muhammad terhadap al-Quran, atau dari perenungan dan ijtihad beliau . Adapun keseluruhan kandungan Hadits Qudsi bersumber dari Allah.




B. Pembagian Hadits ditinjau dari aspek kualitas
I. Pengertian Matan, Sanad, Isnad, dan Mukharrij
Secara etimologi matan berarti sesuatu yang tampak. Sedangkan secara terminologi matan adalah lafadz hadits yang mengandung arti .
Secara etimologi sanad mempunyai arti tempat bersandar atau mengungsi . Adapun secara terminologi terdapat dua pendapat mengenai pengertian sanad ini, yaitu:
a) Menurut al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki dan Muhammad Ali Daud sanad ialah jalur yang menghubungkan seseorang sampai kepada matan. Jalur ini, tidak lain, adalah para rawi (periwayat) yang mentransformasikan matan tersebut secara berkesinambungan. Dengan demikian, menurut keduanya sanad dan rawi mempunyai arti yang sama .
b) Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib mendefinisikan sanad dengan jalur matan. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan jalur matan adalah silsilah para rawi yang mentransformasikan matan dari sumber utama. Dengan demikian, menurut beliau terdapat perbedaan antara sanad dan rawi. Definisi sanad sebagaimana yang telah dijelaskan. Sedangkan definisi rawi ialah orang yang mentransformasikan matan dari sumber utama.
Secara etimologi isnad berarti menyandarkan. Adapun secara terminologi isnad didefinisikan dengan pemberitahuan dan penjelasan tentang jalur matan. Namun, terkadang kata isnad diartikan dengan sanad, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, kata isnad dan sanad mempunyai arti yang sama.
Secara etimologi mukharrij mempunyai arti orang yang meriwayatkan hadits dan mengumpulkannya dalam sebuah kitab. Seperti enam imam hadits -Imam Bukhari, Muslim, Abi Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah- dan lain-lain yang meriwayatkan hadits dan mengumpulkannya di dalam kitab mereka.

II. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Shahih
Secara terminologi definisi Hadits Shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, melalui pentransformasian periwayat yang adil dan dlabith taam (kuat ingatannya) dari awal sanad hingga akhir dan hadits tersebut tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal .
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa Hadits Shahih harus memenuhi lima syarat berikut:
1) Sanadnya harus ittishal (sambung) ;
2) Periwayatnya harus seorang yang adil . Yang dimaksud dengan ‘adalah dalam pembahasan ini adalah ‘adalah al-Riwayah (adil dalam meriwayatkan) bukan ‘adalah al-Syahadah (adil dalam bersaksi) karena ‘adalah al-Riwayah memasukkan orang laki-laki, perempuan, orang merdeka, hamba sahaya, orang yang mampu melihat, orang buta, dan orang yang terkena had (hukuman) karena menuduh zina apabila ia telah bertaubat. Hal ini berlainan dengan ‘adalah al-Syahadah. Di dalam ‘adalah al-Syahadah, saksi harus merdeka, mampu melihat, laki-laki, dan jumlah personalnya sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh syari’at ;
3) Periwayatnya harus seorang yang dlabith (kuat ingatannya). Seorang periwayat dikategorikan dlabith atau tidak berdasar pada konsensus (kesepakatan) para mutqinin (cendikiawan). Dlabth dipandang dari segi kualitas dibagi menjadi tiga tingkatan: I. Daya ingatan seseorang sangat kuat dan sempurna. Ini tingkatan tertinggi; II. Daya ingatan seseorang berada di bawah tingkatan yang pertama; III. Daya ingatan seseorang berada di bawah tingkatan yang kedua. Ini tingkatan terendah . Terkait pembahasan ini, kedlabithan periwayat harus mencapai tingkat yang tertinggi, dengan kata lain periwayat harus mempunyai daya ingatan yang sangat kuat dan sempurna .
4) Hadits yang diriwayatkan bukan termasuk kategori hadits yang syadz ;
5) Hadits yang diriwayatkan harus terbebas dari illat (cacat) yang dapat menyebabkan kualitas hadits menjadi turun.
Hadits Shahih terbagi menjadi dua macam:
 Hadits Shahih li dzatihi , yaitu hadits yang memenuhi kelima syarat di atas. Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dia berkata:
حدثنا مُسدَّد، حدثنا مُعتمِر، قال: سمعت أبي قال: سمعت أنس بن مالك -رضي الله عنه- قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول: "اللّهُمَّ إِنىِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ".
Artinya: “Musaddad menceritakan hadits kepada kita, dari Mu’tamir, dia berkata: Saya mendengar ayah saya berkata: Saya mendengar Anas Ibn Malik berkata: Nabi Muhammad telah bersabda: Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, serta pelit dan pikun, aku juga berlindung kepada-Mu dari fitnah (cobaan, siksaan ) kehidupan dan kematian dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur”.

Hadits ini telah memenuhi seluruh kriteria Hadits Shahih yang meliputi:
i. Sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad;
ii. Dari awal hingga akhir, sanadnya bersambung. Anas Ibn Malik, seorang shahabat, mendengar langsung dari Nabi. Sulaiman Ibn Tharhan, ayah Mu’tamir, mendengar langsung dari Anas . Begitu juga Mu’tamir, ia mendengar langsung dari ayahnya (Sulaiman Ibn Tharhan). Musaddad, Guru Imam Bukhari, juga mendengar langsung dari Mu’tamir . Imam Bukhari juga demikian mendengar langsung dari Musaddad.
iii. Seluruh periwayat, dari awal hingga Imam Bukhari yang berstatus sebagai mukharrij, adil dan mempunyai daya ingat yang sangat kuat (dlabith taam).
No Nama Status
01 Anas Ibn Malik Shahabat. Seluruh Shahabat adil
02 Sulaiman Ibn Tharhan (ayah Mu’tamir) Tsiqah (dapat dipercaya) dan ‘abid (ahli beribadah)
03 Mu’tamir Tsiqah
04 Musaddad Tsiqah dan hafidz (orang yang hafal 1000 lebih hadits)
05 Imam Bukhari Jabal al-Hifdzi (intelektualitasnya tinggi) dan Amir al-Mu’munin (panutan) di dalam disiplin hadits

iv. Hadits ini bukan termasuk hadits yang Syadz;
v. Hadits ini bukan termasuk hadits yang Mu’allal .
 Hadits Shahih li ghairihi , yaitu hadits yang tidak memenuhi salah satu lima syarat di atas, yakni dalam hal dlabth. Tingkat kedlabithan periwayat hadits ini tidak mencapai derajat tertinggi. Meskipun demikian, kekurangan yang dimiliki oleh hadits ini dapat ditutupi dengan adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama, yang diriwayatkan melalui jalur lain. Contoh: hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibn ‘Amr dari Abi Salamah dari Abu Hurairah yang berbunyi:
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتىِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ".
Artinya: “Rasulullah Muhammad bersabda: “Seandainya aku tidak memberatkan umatku maka aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwakan setiap hendak melakukan shalat”.

Hadits ini sebenarnya merupakan kategori Hadits Hasan karena kedlabithan salah satu periwayatnya, yaitu Muhammad Ibn ‘Amr, masih diperdebatkan oleh ulama hadits. Sebagian ulama menganggap Muhammad Ibn ‘Amr sebagai orang yang lemah hafalannya, sehingga mereka memasukkannya ke dalam kelompok periwayat dlaif. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai orang yang tsiqah karena kejujuran dan kebesarannya. Namun, karena hadits di atas didukung oleh mutabi’ , yaitu al-A’raj Ibn Hurmuz, Sa’id Ibn al-Maqbari dan periwayat yang lain meriwayatkan hadits yang sama dari Abu Hurairah, maka tingkatan hadits tersebut naik ke derajat shahih. Untuk sekedar diketahui, Hadits di atas diriwayatkan melalui tiga jalur: 1. dari Abi Salamah yang meriwayatkan dari Abi Hurairah; 2. dari Zaid Ibn Khalid al-Juhani; 3. dari ‘Aisyah .
Tingkatan Hadits Shahih berbeda-beda tergantung tinggi rendahnya keadilan, dan kedlabithan periwayat serta faktor lain yang dapat menyebabkan hadits menjadi shahih. Dalam hal ini, ulama hadits telah mengklasifikasikan Hadits Shahih dalam tujuh tingkatan:
o Hadits yang telah disepakati -untuk dikeluarkan- oleh Imam Bukhari dan Muslim;
o Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari saja;
o Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim saja;
o Hadits yang ‘ala Syarthi al-Bukhari wa al-Muslim (para periwayatnya ada di kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim);
o Hadits yang para periwayatnya hanya ada di kitab Shahih Bukhari;
o Hadits yang para periwayatnya hanya ada di kitab Shahih Muslim;
o Hadits yang dianggap shahih oleh para ulama selain Imam Bukhari dan Muslim dan periwayat hadits ini tidak ada di dua kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim ataupun salah satunya .
Di atas disebutkan bahwa tinggi rendahnya keadilan dan kedlabithan periwayat merupakan salah satu faktor dalam menentukan tingkatan Hadits Shahih. Terkait dengan hal ini, para ulama hadits berbeda pendapat dalam menentukan periwayat yang paling adil dan dlabith (sanad yang paling shahih):
• Sebagian ulama berpendapat bahwa sanad yang paling shahih adalah Ibn Syihab al-Zuhri dari Salim Ibn Abdillah Ibn Umar dari ayahnya (Abdillah Ibn Umar);
• Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sanad yang paling shahih adalah Sulaiman al-A’masy dari Ibrahim al-Nakhai dari ‘Alqamah Ibn Qais dari Abdillah Ibn Mas’ud;
• Imam Bukhari dan ulama yang lain berpendapat bahwa sanad yang paling shahih adalah Imam Malik Ibn Anas dari Nafi’, budak yang dimerdekakan oleh Ibn Umar, dari Abdillah ibn Umar. Adapun untuk era setelah Imam Malik, para ulama mutaakhirin berpendapat bahwa sanad yang paling shahih adalah Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Abdillah Ibn Umar. Dengan argument (alasan), Imam Syafi’i merupakan murid Imam Malik yang paling agung dan Imam Ahmad merupakan murid Imam Syafi’i yang paling agung.

III. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Hasan
Untuk sekedar diketahui, pada masa Imam Ahmad Ibn Hambal, sebelum masa Imam Tirmidzi, hadits diklasifikasikan menjadi dua bagian:
 Hadits Shahih, yaitu hadits yang memenuhi syarat keshahihan hadits;
 Hadits Dla’if, yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat keshahihan hadits.
Pada periode ini, istilah Hadits Hasan belum dikenal sehingga dalam pengklasifikasian ia masih dikelompokkan di dalam Hadits Dla’if . Menurut Ibnu Taimiyyah , orang yang pertama kali mengklasifikasikan hadits menjadi tiga bagian, yakni Shahih, Hasan, dan Dla’if, adalah Abu Isa al-Tirmidzi . Pada masa sebelumnya, pengklasifikasian seperti ini belum dikenal.
Secara etimologi, Hasan mempunyai arti hal yang diminati atau kecenderungan hati . Adapun secara terminologi, Hadits Hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung, melalui pentransformasian periwayat yang adil, namun mempunyai daya ingatan yang lemah dan hadits tersebut tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal . Dari definisi ini dapat diketahui bahwa point yang membedakan antara Hadits Shahih dan Hasan terletak pada sisi kedlabithan periwayat. Jika dalam Hadits Shahih periwayat harus seorang yang dlabith taam , maka dalam Hadits Hasan periwayatnya merupakan seorang yang daya ingatannya lemah.
Sebagaimana Hadits Shahih, Hadits Hasan juga terbagi menjadi dua macam:
 Hasan li dzatihi. Definisi Hadits Hasan li dzatihi ini sebagaimana definisi Hadits Hasan di atas. Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Qathan dari jalur Yahya Ibn Said, dari Amr Ibn Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "كفر بإمرئ ادعاء نسب لا يعرفه، أو جحده، وإن دق".
Faktor yang menyebabkan hadits ini termasuk Hadits Hasan adalah status salah satu periwayatnya, Amr Ibn Syu’aib Ibn Muhammad Ibn Abdillah Ibn Amr Ibn Ash. Ibn Hajar, di dalam kitabnya Taqrib , mengkategorikan Amr Ibn Syu’aib ini dalam kelompok Shaduq (orang yang benar).
 Hasan li ghairihi, yaitu hadits yang keadilan salah satu periwayatnya masih belum diketahui (mastur) -namun ia bukanlah seorang yang pelupa, banyak melakukan kesalahan, dan diduga melakukan kebohongan serta hal lain yang menyebabkannya menjadi fasiq- akan tetapi hadits ini didukung oleh adanya mutabi’ atau syahid . Definisi lain dari Hadits Hasan li ghairihi adalah hadits yang tidak memenuhi syarat Hadits Hasan li dzatihi. Contoh: Hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bazar di dalam kitab Musnadnya, Ibnu Syahin di dalam bab Fadlail Syahri Ramadlan (7), dan Abd al-Ghani al-Maqdisi di dalam bab Fadlaili Ramadlan (12) dari jalur Salmah Ibn Wardan, dari Anas Ibn Malik, ia berkata:
رَقَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الَْمِنْبَرَ، فَارْتَقَى دَرَجَةً، ثُمَّ قَالَ: "آمِيْنَ"، ثُمَّ ارْتَقَى دَرَجَةً أُخْرَى، ثُمَّ قَالَ: "آمِيْنَ، ...الْحَدِيْثَ فى فضائل شهر رمضان.
Artinya: “Rasulullah Muhammad naik ke atas Mimbar. Beliau lalu naik lagi satu derajat, kemudian berkata: “Amin”. Nabi naik lagi satu derajat kemudian berkata: “Amin”…..”.

Hadits ini sebenarnya termasuk Hadits Dla’if karena salah satu periwayatnya, Salmah Ibn Wardan merupakan periwayat yang dla’if karena faktor hafalannya lemah dan ia meriwayatkan dari Anas hadits yang berbeda dari hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah. Meskipun demikian, kedla’ifan Salmah Ibn Wardan masih bisa ditolelir dan didukung pula oleh adanya mutabi’, yaitu Tsabit al-Bannani, yang juga meriwayatkan hadits tersebut dari Anas yang dikeluarkan oleh Ibnu Syahin (4). Namun, hadits yang diriwayatkan oleh Tsabit al-Bannani itu statusnya juga Dlaif, karena salah satu periwayatnya, Tsabit Muammal Ibn Isma’il, termasuk periwayat yang dla’if karena hafalannya lemah. Dengan demikian, apabila kedua jalur tersebut digabungkan maka haditsnya naik ke derajat Hasan .
IV. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Dla’if
Secara etimonologi, kata dla’if diderivasi dari masdar (abstract noun, kata benda abstrak) dlu’fun atau dla’fun yang artinya lemah . Sedangkan secara terminologi, Hadits Dla’if didefinisikan dengan hadits yang tidak memenuhi syarat untuk diterimanya sebuah hadits . Definisi ini cakupannya terlalu luas. Oleh karena itu -untuk menyederhanakan- mayoritas ulama mendefinisikannya dengan hadits yang tidak memenuhi kriteria Hadits Shahih dan Hadits Hasan . Contoh: Hadits
أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى الْجُوْرْبَيْنِ.
Artinya: “Nabi Muhammad berwudlu dan beliau mengusap dua kaos kakinya (ketika membasuh kaki)”.

Hadits ini dla’if karena hadits tersebut diriwayatkan dari Abi Qais al-Audi, padahal statusnya masih diperbincangkan oleh para ulama .
Hadits Dla’if terbagi menjadi tujuh belas macam:
1) Mu’allaq, yaitu hadits yang salah satu periwayatnya atau lebih -bahkan keseluruhan periwayat- tidak disebutkan, baik di awal sanad, tengah atau akhir. Contoh: Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari :
وَقاَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِصَاحِبِ الْقَبْرِ: "كَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ".
Artinya: “Nabi bersabda kepada penghuni kubur: “Ia tidak menghindarkan diri dari percikan air kencingnya”.

Dalam hadits ini, Imam Bukhari tidak menyebutkan satu periwayat pun. Beliau langsung menyebutkan Nabi Muhammad.
2) Munqathi’, yaitu hadits yang salah seorang periwayatnya -baik dalam satu tempat maupun lebih- tidak disebutkan atau hadits yang salah seorang periwayatnya belum jelas. Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Abu al-‘Alak Ibn Abdillah Ibn al-Syakhir dari dua orang lelaki, dari Syaddad Ibn Aus, dari Nabi Muhammad :
"اَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِى الْأَمْرِ".
Artinya: “Ya Allah aku meminta kepada-Mu keteguhan hati -dalam menjalankan- segala urusan”.

Dalam meriwayatkan hadits ini, Abu al-‘Alak Ibn Abdillah Ibn al-Syakhir menyebutkan periwayat yang belum jelas identitasnya, dengan pernyataannya “dari dua orang lelaki”.
3) Mu’adlal, yaitu hadits yang dua orang periwayatnya atau lebih secara berturut-turut tidak disebutkan. Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab al-Muwatha’, dia berkata:
بلغنى عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ......" الحديث.
Artinya: “Telah sampai kepada saya dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Budak berhak mendapat makanan dan pakaian………”.

Hadits ini, di selain kitab al-Muwatha’, diwashalkan (keseluruhan sanad disebutkan) oleh Imam Malik, yakni Imam malik meriwayatkan dari Muhammad Ibn ‘Ijlan, dari ayahnya, dari Abi Hurairah. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik di atas termasuk Hadits Mu’adlal karena dua orang periwayatnya secara berturut-turut tidak disebutkan. Dua periwayat tersebut adalah Muhammad Ibn ‘Ijlan dan ayahnya .
4) Mursal, yaitu hadits yang disandarkan oleh seorang Tabi’in atau Shahabat kepada Nabi Muhammad, padahal ia tidak pernah bertemu dengan Nabi. Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq di dalam kitab Mushannaf (5281) dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’:
أن النبي صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذاَ صَعَدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ: "السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ".
Artinya: “Nabi Muhammad ketika naik ke atas mimbar, beliau menghadap ke arah hadirin kemudian beliau menguucapkan: “Assalamu’alaikum”.

Salah satu periwayat hadits ini, yaitu ‘Atha’ merupakan salah seorang sesepuh Tabi’in. yang tidak pernah bertemu dengan Nabi. Beliau meriwayatkan hadits melalui para Shahabat .
5) Mudallas. Secara etimologi kata mudallas diderivasi dari masdar (kata benda abstrak) tadlis yang mempunyai arti manipulasi . Terkait dengan pembahasan ini, tadlis di dalam masalah hadits dapat diartikan tindakan memanipulasi data periwayatan. Dengan demikian, pengertian Hadits Mudallas adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi (periwayat) dari sumber yang semasa dan pernah ia temui, namun belum ada kepastian dan kejelasan apakah sumber tersebut benar-benar menceritakan hadits itu kepada sang periwayat atau tidak . Contoh: Perkataan Ali Ibn Kharsyam:
كُنَّا عِنْدَ سُفْيَانُ بْنِ عُيَيْنةَ فَقَالَ: قَالَ الزُّهْرِىُّ كَذَا، فَقِيْلَ لَهُ: أَسَمِعْتَ مِنْهُ هَذَا؟ قَالَ: حَدَّثَنِى بِهِ عَبْدُ الرَّزاَّقُ عَنْ مُعَمَّرَ عَنْهُ.
Artinya: “Kita sedang berada di majlisnya Sufyan Ibn ‘Uyainah kemudian beliau berkata: Zuhri berkata demikian…………. . Beliau ditanya: Apakah anda mendengar pernyataan langsung ini dari Zuhri? Sufyan Ibn ‘Uyainah menjawab: Perkataan Zuhri tersebut aku riwayatkan dari Abd al-Razaq, dari Mu’ammar, baru dari Zuhri”.
Faktor yang menyebabkan hadits ini menjadi Mudallas adalah tindakan manipulasi data periwayatan yang dilakukan oleh Sufyan Ibn ‘Uyainah dengan tidak menyebutkan dua rawi, Abd al-Razaq dan Mu’ammar, sebelum Zuhri. Ia langsung menyatakan “Zuhri berkata demikian….” yang menunjukkan seakan-akan ia mendengar langsung dari Zuhri, padahal sebenarnya ia mendengar perkataan Zuhri tersebut dari Abd al-Razaq, Abd al-Razaq mendengar dari Mu’ammar, Mu’ammar mendengar dari Zuhri. Untuk sekedar diketahui, Sufyan Ibn Uyainah memang hidup semasa dengan Zuhri, namun ia tidak pernah berguru kepada Zuhri .
Hadits Mudallas terbagi menjadi dua bagian:
• Mudallas al-Isnad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat dari sumber yang semasa dan pernah ia temui, namun ia tidak pernah berguru kepada sumber tersebut atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat dari sumber yang semasa akan tetapi ia tidak pernah menjumpai sumber tersebut dengan ungkapan yang menunjukkan seakan-akan sang periwayat mendengar langsung hadits tersebut darinya.
• Mudallas al-Syuyukh, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari sumber yang ia ungkapkan dengan nama, julukan, atau karakter yang tidak dikenal untuk mengaburkan jati diri sumber tersebut .
Faktor yang menjadikan kelima bentuk hadits di atas termasuk kategori Hadits Dlaif adalah ketidak-bersambungan sanad.
6) Maudlu’, yaitu hadits yang diciptakan dan direkayasa oleh seseorang kemudian hadits itu dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi, Shahabat, atau Tabi’in . Contoh: Hadits yang dikeluarkan oleh al-Khallal di dalam bab Fadlailu Syahri Rajab (2) dari jalur Ziyad Ibn Maimun, dari Anas Ibn Malik, dia berkata:
قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لِمَ سُمِّىَ رَجَبَ؟ قَالَ: "لِأَنَّهُ يَتَرْجَبُ فِيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ لِشَعْبَانَ وَرَمَضَانَ".
Artinya: “Nabi Muhammad ditanya: Wahai Rasulullah, kenapa bulan Rajab dinamakan dengan Rajab? Nabi menjawab: Karena di dalam bulan tersebut kebaikan bulan Sya’ban dan Ramadlan yang berlimpah berkumpul”.

Hadits ini Maudlu’ karena salah satu periwayatnya, Ziyad Ibn Maimun, merupakan seorang pembohong dan ia mengakui bahwa ia pernah menciptakan hadits palsu .
7) Matruk, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang pelupa, sering membuat gosip, diasumsikan berbohong di dalam meriwayatkan hadits, atau diduga pernah secara terang-terangan mengucapkan atau melakukan tindakan yang menyebabkannya menjadi fasiq . Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Dunya dari jalur Juwaibir Ibn Said al-Azdi dari Dlahak dari Ibn Abbas dari Nabi Muhammad, beliau bersabda:
"عَلَيْكُمْ بِاصْطِنَاعِ الْمَعْرُوْفِ، فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مُصَارِعَ السُّوْءِ، وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةِ السِّرِّ، فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ".
Artinya: “Berbuatlah kebajikan karena sesungguhnya kebajikan dapat mencegah terjadinya kejelekan dan bershadaqahlah secara sembunyi-sembunyi karena sesungguhnya hal itu dapat menyelamatkan diri dari murka Allah” .

8) Mudla’af, yaitu hadits yang kedla’ifannya masih dipertentangkan oleh para ulama hadits, sebagian ulama menganggap dlaif, baik di sanad ataupun matan, dan sebagian yang lain menganggap tidak .
9) Majhul. Majhul terbagi menjadi dua macam: I. Majhul al-‘Ain, yaitu seseorang yang haditsnya hanya diriwayatkan oleh satu orang saja. Misalnya, Hafsh Ibn Hasyim Ibn ‘Utbah. Hanya Abdullah Ibn Lahi’ah yang meriwayatkan hadits darinya. II. Majhul al-Hal, yaitu seseorang yang jati dirinya telah diketahui dengan adanya periwayatan dari dua orang yang adil dan haditsnya diriwayatkan oleh lebih dari satu orang. Hanya saja, keadilan seseorang tersebut masih belum ada kejelasan.
Keempat bentuk hadits ini terkategorikan sebagai Hadits Dlaif karena faktor keadilan periwayat.
10) Mudarraj, yaitu hadits yang terdapat penambahan, baik di dalam matan atau sanad. Contoh: Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah:
"كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَنَّثُ فِى غَارِ حِرَاءَ -وَهُوَ التَّعَبُّدُ- اللَّيَالِى ذَوَاتِ الْعَدَدِ".
Artinya: “Nabi Muhammad berdiam diri di Gua Hira untuk beribadah selama beberapa hari”.
Di dalam hadits ini, kalimat وَهُوَ التَّعَبُّدُ bukanlah termasuk perkataan Aisyah, namun perkatan orang lain, Zuhri, sebagai penjelas bagi kata يَتَحَّنَثُ.
11) Maqlub, yaitu hadits yang matan atau sanadnya berubah dari hadits yang asli. Bentuk perubahannya dapat berupa penggantian satu kata dengan kata yang lain, mendahulukan kata yang seharusnya terletak di akhir, atau sebaliknya (mengakhirkan kata yang seharusnya terletak di depan). Contoh: Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi:
"إِذَا سَجَدَ أَحُدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ".
Artinya: “Apabila salah satu di antara kalian sujud maka jangan menderum seperti deruman seekor unta, akan tetapi letakkanlah kedua tanganmu dahulu sebelum kedua lututmu”.

Di dalam hadits ini, sebagian periwayat mendahulukan kata يَدَيْهِ sebelum kata رُكْبَتَيْهِ, padahal seharusnya kata رُكْبَتَيْهِ terletak sebelum kata يَدَيْهِ. Hal ini berdasarkan hadits lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibnu Hibban, dan al-Thahawi dari haditsnya Wail Ibn Hajar:
"رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ............".
Artinya: “Saya melihat Rasulullah ketika bersujud, beliau meletakkan kedua lututnya dahulu sebelum kedua tangannya”.
Di samping dalil hadits, secara rasional pendahuluan kata يَدَيْهِ sebelum kata رُكْبَتَيْهِ -di dalam hadits sebelumnya- bertentangan dengan arti kata sebelumnya, yaitu فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ, karena arti kata ini adalah Nabi melarang kita untuk bersujud dengan keadaan menderum seperti unta, sedangkan unta ketika menderum ia mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua lututnya .
12) Mudltharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalur yang saling bertentangan dan tidak mungkin untuk dipadukan atau diunggulkan salah satunya .
13) Munkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang lemah, atau hadits yang matannya bertentangan dengan matan hadits yang diriwayatkan orang yang tingkatannya lebih tinggi. Contoh: Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi di dalam kitabnya (3386) dari jalur Hammad Ibn Isa al-Juhani, dari Handhalah Ibn Abi Sufyan al-Jamhi, dari Salim Ibn Abdillah dari ayahnya dari Umar Ibn Khattab, dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يُحِطَّهُمَا حَتىَّ يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.
Artinya: “Ketika Rasulullah mengangkat kedua tangannya di dalam waktu berdoa, beliau tidak akan menurunkannya kecuali mengusap wajahnya terlebih dahulu dengan kedua tangan itu”.

Tentang hadits ini, Imam Tirmidzi memberi komentar: “Hadits ini adalah hadits yang asing (di telinga kita), kita mengetahuinya hanya dari Hammad Ibn Isa yang merupakan satu-satunya periwayat hadits ini”. Menurutnya, Hammad Ibn Isa merupakan seorang yang lemah dalam meriwayatkan hadits. Penilaian Imam Tirmidzi ini didukung oleh Abu Hatim, Abu Daud, dan Hakim .
14) Mukhtalit, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang daya ingatannya lemah karena faktor lanjut usia, takut, buta, sakit, atau kitab literaturnya terbakar atau hilang .
15) Mushahhaf dan Muharraf, yaitu hadits yang terjadi perubahan pada salah satu hurufnya -untuk Mushahhaf-, atau salah satu harakatnya (untuk Muharraf) . .
Keenam bentuk hadits di atas terkategorikan sebagai Hadits Dlaif karena faktor daya ingat periwayat.
16) Syad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul (dapat diterima), namun hadits yang ia riwayatkan berbeda dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih tinggi tingkatannya. Contoh: Hadits Marfu’ yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Tirmidzi dari haditsnya Abd al-Wahid Ibn Ziyad dari al-A’masy dari Abi Shaleh dari Abi Hurairah:
"إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَنْ يَمِيْنِهِ".
Artinya: “Apabila salah satu di antara kalian telah selesai melakukan shalat sunat fajar dua rakaat maka berbaringlah dengan miring ke kanan”.

Menurut Imam al-Baihaqi, Abd al-Wahid -periwayat hadits ini- berbeda dengan para rawi yang lain dalam meriwayatkan hadits tersebut. Abd al-Wahid meriwayatkan dari perkataan Nabi, sedangkan para rawi yang lain meriwayatkan dari perbuatan Nabi .
17) Mu’allal, yaitu hadits yang terdeteksi -oleh seorang pakar hadits- mengandung illat (cacat) yang mempengaruhi kepada keshahihannya, meskipun secara lahiriyah hadits tersebut terbebas dari illat . Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Qutaibah Ibn Said dari Abd al-Salam Ibn Harb al-Mallai dari al-A’masy dari Anas, dia berkata:
"كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لَمْ يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتىَّ يَدْنُو مِنَ الْأَرْضِ".
Artinya: “Nabi Muhammad ketika hendak qadli al-Hajat (buang air besar) tidak mengangkat pakaiannya kecuali beliau mendekati tanah”.

Sanad hadits ini secara lahiriyah shahih dan seluruh periwayatnya termasuk orang yang tsiqah (dapat dipercaya), hanya saja dalam meriwayatkan hadits ini al-A’masy tidak mendengar langsung dari Anas Ibn Malik, sebagaimana pernyataan Ibn al-Madini: “Al-A’masy tidak mendengar langsung dari Anas Ibn Malik, akan tetapi al-A’masy melihat Anas Ibn Malik di Mekah ketika Shalat di belakang Maqam Ibrahim .
V. Peran al-Tabi’ dalam analisis kualitas Sanad
VI. Cara mengukur keshahihan Hadits
C. Pembagian Hadits ditinjau dari aspek kuantitas sanad
I. Pengertian, pembagian, dan contoh Hadits Mutawatir
Secara etimologi kata mutawatir diderivasi dari masdar (abstract noun, kata benda abstrak) tawatur yang mempunyai arti kesinambungan . Adapun secara terminologi Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat -mulai awal sanad hingga akhir- yang tidak mungkin melakukan konsensus dalam kebohongan, baik secara rasional maupun menurut kebiasaan . Dengan adanya periwayatan oleh sejumlah periwayat yang tidak mungkin melakukan konsensus dalam kebohongan, Hadits Mutawatir dapat melahirkan keyakinan yang mendalam dan menghilangkan keraguan. Oleh karena itu, orang yang mengingkari Hadits Mutawatir termasuk orang kafir.
Hadits Mutawatir terbagi menjadi dua bagian:
 Mutawatir Lafdhi, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok periwayat -mulai awal sanad hingga akhir- yang tidak mungkin melakukan konsensus dalam kebohongan, baik secara rasional maupun menurut kebiasaan. Masing-masing periwayat meriwayatkan hadits dengan teks yang sama . Menurut Ibn al-Shalah, Hadits Mutawatir Lafdhi sangat jarang, bahkan hampir tidak ditemukan. Misalnya hadits:
"مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ".
Artinya: “Barang siapa yang mendustakanku (Nabi Muhammad) maka hendaknya ia mengungsikan tempat duduknya dari api neraka”.

Hadits ini telah ditransformasikan oleh para Shahabat yang tak terhitung jumlahnya. Namun, sebagian ulama hadits menyebutkan bahwa Shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi berjumlah enam puluh dua orang, termasuk di dalamnya sepuluh Shahabat yang dipastikan masuk surga.
 Mutawatir Maknawi, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat -mulai awal sanad hingga akhir- yang tidak mungkin melakukan konsensus dalam kebohongan, baik secara rasional maupun menurut kebiasaan. Masing-masing periwayat meriwayatkan hadits dengan teks yang berbeda, namun mengandung pengertian yang sama . Contoh hadits ini sangat banyak, di antaranya hadits tentang kesunahan mengangkat tangan ketika berdoa. Jumlah hadits yang menyebutkan kesunahan mengangkat tangan ketika berdoa sekitar 100 hadits. Meskipun teks yang digunakan oleh para periwayat berlainan, namun secara keseluruhan 100 hadits tersebut menerangkan tentang kesunahan mengangkat tangan ketika berdoa .
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang tidak mungkin melakukan konsensus dalam kebohongan. Terkait hal ini, para ulama hadits berbeda pendapat dalam menentukan jumlah minimal orang yang meriwayatkan Hadits Mutawatir, sebagai berikut:
 Periwayat Hadits Mutawatir harus berjumlah minimal empat orang, dengan dalil firman Allah tentang saksi zina:
"لَوْلاَ جَاؤُوْا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ".
Artinya: “Hendaknya mereka (orang yang menuduh zina) mendatangkan empat orang saksi”. (Q. S al-Nur: 13).
 Periwayat Hadits Mutawatir harus berjumlah minimal lima orang, dengan dalil firman Allah tentang wanita yang dituduh melakukan zina:

                    •                       •        
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah: Sesungguhnya dia adalah termasuk orang yang benar”. (6). “Dan (sumpah) yang kelima: Bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang yang berdusta”.( 7). “Dan istrinya itu dapat terhindarkan dari hukuman dengan bersumpah empat kali atas nama Allah: Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang dusta”. (8). “Dan (sumpah) yang kelima: Bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk oran yang benar”. ( 9). (Q. S al-Nur: 6-9).

 Periwayat Hadits Mutawatir harus berjumlah minimal sepuluh orang, karena bilangan di bawah sepuluh masih termasuk satuan.
 Periwayat Hadits Mutawatir harus berjumlah minimal dua belas orang, dengan dalil firman Allah:
            ...........الأية.
Artinya: “Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin…….”. (Q. S al-Maidah: 12).
 Periwayat Hadits Mutawatir harus berjumlah minimal dua puluh orang, dengan dalil firman Allah:
 •            .........الأية.
Artinya: “Hai Nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh….”. (Q. S al-Anfal: 65).
 Periwayat Hadits Mutawatir harus berjumlah minimal empat puluh orang, dengan dalil firman Allah:
 •    •   
Artinya: “Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu”. (Q. S al-Anfal: 64).
Jumlah pengikut Nabi pada waktu turunnya ayat ini mencapai empat puluh orang dengan masuk Islamnya Shahabat Umar.
 Periwayat Hadits Mutawatir harus berjumlah minimal tujuh puluh orang, dengan dalil firman Allah:
       ............الأية.
Artinya: “Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan Taubat kepada kami) pada waktu yang Telah kami tentukan”. (Q. S al-A’raf: 155).
Keenam pendapat di atas, meskipun secara mayoritas didasarkan atas firman Allah, namun perlu diingat bahwa firman Allah tersebut tidak menunjukkan secara jelas adanya keterkaitan dengan masalah periwayat Hadits Mutawatir ini. Sebaliknya, setiap bilangan yang terdapat di dalam beberapa ayat di atas -secara khusus- berhubungan dengan kejadian yang mengiringinya . Oleh karena itu, point terpenting dalam masalah periwayat Hadits Mutawatir ini adalah mungkin tidaknya sejumlah periwayat tersebut melakukan konsensus dalam kebohongan. Apabila secara rasional dan menurut kebiasaan mereka tidak mungkin melakukan konsensus dalam kebohongan -berapapun jumlahnya- maka hadits yang mereka riwayatkan termasuk Hadits Mutawatir.
II. Pengertian, pembagian, dan contoh Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang jumlah periwayatnya tidak mencapai standar periwayat Hadits Mutawatir .
Mayoritas ulama sepakat bahwa Hadits Ahad dapat dijadikan hujjah (dasar, alasan) dan wajib untuk diamalkan dengan dalil:
 Firman Allah:
       •          
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Q. S al-Hujurat: 6).
Di dalam ayat di atas, kata naba’ yang mempunyai arti berita berbentuk nakirah (bersifat umum). Oleh karena itu, ia bisa mencakup seluruh berita, termasuk berita yang berkaitan dengan Nabi Muhammad (hadits). Di samping itu, Allah memerintahkan kita untuk berhati-hati dalam menyeleksi setiap berita karena unsur kefasikan. Apabila faktor kefasikan tersebut hilang sebab orang yang memberi kabar kepada kita adalah orang yang adil dan dapat dipercaya maka kabar itu dapat diterima.
Menurut pandangan penulis, ayat di atas tidak dapat dijadikan dasar atas kewajiban mengamalkan Hadits Ahad. Dengan alasan, di dalam ayat tersebut tidak ada satu kalimat pun -secara eksplisit maupun implisit- yang menunjukkan kepada perintah untuk mengamalkan Hadits Ahad. Hal ini sebenarnya juga diakui oleh mayoritas ulama. Dengan bukti, argument yang mereka sampaikan bahwa apabila faktor kefasikan tersebut hilang sebab orang yang memberi kabar kepada kita adalah orang yang adil dan dapat dipercaya maka kabar itu dapat diterima. Kalimat “kabar itu dapat diterima” secara rasional mengandung arti kita diberi kebebasan untuk menerima atau menolak kabar tersebut, bukan kita wajib menerimanya.
 Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Sufyan Ibn Uyainah dari Abd al-Malik Ibn ‘Amir dari Abd al-Rahman Ibn Abdillah Ibn Mas’ud dari ayahnya:
"أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: نَضَّر الله ُعَبْدًا سَمِعَ مَقَالَتِىْ فَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا وَأَدَّاهَا"......الحديث.
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad bersabda: “Seorang hamba yang mendengar perkataanku kemudian ia hafalkan, dan ia simpan baik-baik, serta ia sampaikan kepada orang lain maka Allah akan menjadikannya sebagai orang yang baik ……”.
Di dalam hadits tersebut, Rasulullah menyerukan kepada umatnya untuk mendengarkan dan memperdengarkan sabdanya dan beliau mendoakan orang yang mau menjalankan seruannya itu dengan nadlrah (kebagusan). Beliau juga hanya memerintahkan agar menyampaikan sabdanya yang dapat dijadikan hujjah. Hal itu menunjukkan bahwa kita wajib mengamalkan Hadits Ahad.
 Ijma’ (kesepakatan) para Shahabat yang disimpulkan dari beberapa peristiwa tentang pengamalan mereka terhadap Hadits Ahad dan tidak adanya pendayagunaan terhadap akal.
Sebagaimana telah disebutkan, mayoritas ulama sepakat bahwa Hadits Ahad dapat dijadikan hujjah dan wajib untuk diamalkan. Namun, tidak semua Hadits Ahad dapat dijadikan hujjah dan wajib untuk diamalkan, bahkan para ulama memberlakukan beberapa syarat yang ketat yang harus dipenuhi oleh Hadits Ahad sehingga dapat dijadikan hujjah dan wajib untuk diamalkan. Persyaratan itu terbagi menjadi dua bagian :
 Syarat yang berkaitan dengan diri seorang rawi ,yaitu a. adil; b. mempunyai daya ingat yang kuat dan sempurna; c. berstatus sebagai seorang pakar fiqh; d. mengamalkan kandungan hadits; e. meriwayatkan hadits sesuai teks aslinya; f. mengetahui metode untuk memindahkan makna hadits dari teksnya.
 Syarat yang berkaitan dengan hadits, yaitu 1. sanad hadits harus bersambung sampai kepada Nabi Muhammad; 2. terbebas dari syududz dan illat; 3. tidak bertentangan dengan sunnah yang telah masyhur, baik berupa perkataan maupun perbuatan; 4. tidak bertentangan dengan kaidah dan prinsip yang diikuti oleh para Shahabat dan Tabi’in dan tidak bertentangan dengan keumuman al-Quran atau dhahirnya; 5. tidak ada yang mengomentari dan menyangkal hadits tersebut; 6. di dalam hadits itu tidak ada penambahan matan (redaksi) ataupun sanad yang hanya diriwayatkan oleh periwayatnya saja .
Hadits Ahad terbagi menjadi tiga macam:
 Ahad Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang periwayat atau lebih, namun belum mencapai standar tawatur. Misalnya hadits:
"اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ".
Artinya: “Seorang muslim sejati adalah orang yang dapat menghindarkan dirinya dari melukai dan menciderai muslim yang lain”.
Periwayat hadits ini -mulai dari awal sanad hingga akhir- berjumlah tiga orang lebih.
 Ahad Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh minimal dua periwayat. Misalnya hadits :
"لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ".
Artinya: “Salah seorang di antara kalian belum dianggap sempurna imannya kecuali aku (Nabi Muhammad) lebih ia cintai melebihi cintanya kepada orang tua dan anaknya”.
Hadits ini diriwayatkan -dari Nabi Muhammad- oleh dua orang Shahabat, yakni Anas dan Abu Hurairah. Dari Anas, hadits ini diriwayatkan oleh dua orang Tabi’in, Qatadah dan Abd al-Aziz Ibn Shuhaib. Dari Qatadah, diriwayatkan oleh Syu’bah dan Said dan dari Abd al-Aziz Ibn Shuhaib, diriwayatkan oleh Ismail Ibn Ali dan al-Waris. Dari masing-masing Ismail Ibn Ali dan al-Waris, hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari dua orang.
 Ahad Gharib , yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat. Misalnya hadits:
"اَلْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ".
Artinya: “Iman mempunyai enam puluh cabang lebih dan sifat malu merupakan salah satu cabangnya”.
Hadits ini hanya diriwayatkan -dari Abi Hurairah- oleh Abu Shaleh. Dari Abi Shaleh, hadits ini hanya diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Dinar .
III. Peran al-Syahid dalam analisis kuantitas Sanad
IV. Cara mengukur kemutawatiran Hadits
D. Tahammul wa Ada’ al-Hadits
I. Pengertian dan Syarat Tahammul al-Hadits
Tahammul al-hadits adalah penerimaan hadits dari seorang guru dengan menggunakan metode yang insya Allah akan dijelaskan lebih lanjut .
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan usia seseorang diperbolehkan untuk tahammul al-Hadits (menerima hadits dari guru). Untuk sekedar diketahui, yang dimaksud dengan kebolehan ini adalah kebolehan yang berimplikasi pada pengakuan dan diterimanya hadits yang diperoleh. Mayoritas ulama berpendapat bahwa shabi (anak kecil yang belum baligh) boleh untuk tahammul al-Hadits. Sedangkan sebagian ulama yang lain tidak memperbolehkan shabi untuk tahammul al-Hadits . Dalam menyikapi dua pendapat ini, penulis cenderung setuju dan mengikuti pendapat mayoritas ulama, karena para Shahabat, Tabi’in, dan generasi setelahnya mengakui dan menerima hadits yang diriwayatkan oleh para Shahabat muda -seperti Hasan, Husein, Abdillah Ibn Zubair, Anas Ibn Malik, Abdillah Ibn Abbas, Mahmud Ibn al-Rabi’, dan lain-lain- tanpa membedakan periwayatan tersebut dilakukan sebelum baligh atau sesudahnya.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa mayoritas ulama membolehkan shabi untuk tahammul al-Hadits. Namun, berapakah batas minimal usia shabi yang boleh untuk tahammul al-Hadits? Dalam hal ini, para ulama mempunyai persepsi yang berbeda:
 Shabi yang boleh untuk tahammul al-Hadits minimal harus berusia lima tahun . Pendapat ini didasarkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya dari hadits Mahmud Ibn al-Rabi’, dia berkata:
"علقت من النبي صلى الله عليه وسلم مجة مجها فى وجهي وأنا ابن خمس سنين من دلو".
 Tahammul al-Hadits yang dilakukan oleh shabi dapat diterima apabila ia (shabi) ketika melakukan tahammul telah mampu membedakan antara sapi dan keledai . Pendapat ini dikemukakan oleh al-Hafidz Musa Ibn Harun al-Hammal.
 Shabi boleh melakukan tahammul al-Hadits apabila telah dianggap tamyiz. Sifat tamyiz ini dideskripsikan dengan mampu memahami pembicaraan dan memberi jawaban. Dengan demikian, apabila shabi telah mampu memahami pembicaraan dan memberi jawaban maka ia dianggap telah tamyiz dan boleh melakukan tahammul al-Hadits, walaupun belum berusia lima tahun. Sebaliknya, apabila shabi belum mampu memahami pembicaraan dan memberi jawaban maka ia belum boleh melakukan tahammul al-Hadits, meskipun ia telah berusia lima tahun lebih. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama hadits mutaqaddimin (tradisional) .
II. Pengertian dan Syarat Ada’ al-Hadits
Ada’ al-Hadits adalah periwayatan hadits oleh seorang guru kepada muridnya . Terkait dengan hal ini, mayoritas ulama hadits, ushul al-Fiqh, dan fiqh sepakat bahwa orang yang meriwayatkan hadits kepada orang lain harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
 Beragama Islam. Oleh karena itu, menurut konsensus para ulama periwayatan hadits yang dilakukan oleh orang kafir tidak dapat diterima, meskipun ia mengetahui tentang larangan untuk berbohong dari ajaran yang dianutnya;
 Telah baligh dan berakal. Oleh karena itu, periwayatan hadits yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh dan orang yang tidak berakal tidak dapat diterima, berdasarkan hadits:
"رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتىَّ يَبْرَأَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتىَّ يَحْتَلِمَ".
Artinya: “Catatan amal dihapuskan dari tiga orang, yaitu orang gila hingga ia sembuh, orang yang tidur hingga ia bangun, dan anak kecil hingga ia baligh”.
 Adil;
 Dlabith (mempunyai daya ingatan yang kuat) .
III. Shighat Tahammul wa Ada’ al-Hadits dan implikasinya terhadap persambungan sanad
Metode yang digunakan oleh orang yang melakukan tahammul al-Hadits (menerima hadits) beragam. Sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama ada delapan metode tahammul al-Hadits:
1. Al-Sama’ , yaitu mutahammil al-Hadits (orang yang menerima hadits) mendengar hadits langsung dari perkataan gurunya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara penyampaian materi hadits -yang dilakukan oleh guru tersebut- melalui pembacaan buku dan penyampaian materi hadits dengan tanpa membaca buku. Begitu juga, tidak ada perbedaan antara materi hadits itu didiktekan dan tidak . Metode ini, menurut mayoritas ulama, merupakan metode yang terbaik dan tertinggi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa metode yang terbaik dan tertinggi adalah perpaduan antara mendengar dan menulis, karena peluang terjadinya kesalahan lebih rendah .
2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh atau disebut juga dengan al-‘Ardl, yaitu mutahammil al-Hadits menghafal atau membaca materi hadits di hadapan seorang guru yang mendengarkan dengan seksama. Dalam hal ini, Mutahammil al-Hadits harus mengetahui dan memahami kalimat yang ia ucapkan, sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Ahmad. Adapun guru yang mendengarkan disyaratkan harus mampu membenarkan kesalahan -berupa apapun- yang dilakukan oleh Mutahammil al-Hadits, sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Haramain. Diriwayatkan dari banyak ulama bahwa metode al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh dan al-Sama’ mempunyai kedudukan yang sama. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa kedudukan al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh lebih tinggi dari al-Sama’, karena dalam metode al-Sama’ ada kemungkinan seorang guru melakukan kesalahan dalam penyampaian materi dan kesalahan tersebut tidak disangkal oleh muridnya. Tidak adanya penyangkalan dari murid disebabkan salah satu dari tiga faktor berikut: i. ketidaktahuan murid terhadap kesahalan yang dilakukan oleh gurunya; ii. kesalahan yang dilakukan oleh guru tersebut -secara kebetulan- merupakan permasalahan yang masih dipertentangkan oleh para ulama, sehingga murid menganggap bahwa itu bukan suatu kesalahan, akan tetapi pendapat yang diikuti oleh gurunya dan murid tersebut menganggap bahwa pendapat ini yang benar; iii. Perasaan murid yang mensakralkan guru, sehingga ia tidak berani untuk menyangkalnya. Pendapat ini merupakan kebalikan dari pendapat mayoritas ulama yang menganggap bahwa al-Sama’ mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh .
3. Al-Ijazah, yaitu izin yang diberikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan ilmu -seperti hadits dan lain-lain- yang dimilikinya atau kitab yang dikarangnya, walaupun murid tersebut tidak mendengar, tidak menghafal atau membaca ilmu itu dihadapan gurunya. Karena metode ini hanya menggunakan izin seorang guru sebagai sarana untuk meriwayatkan suatu ilmu maka sebagian ulama memandang bahwa metode ini tidak boleh diterapkan. Mereka memberi alasan bahwa periwayatan suatu ilmu oleh seseorang yang belum mendengarnya dilarang oleh Syara’. Mereka juga menyatakan bahwa sesorang yang berkata kepada orang lain: “Saya memberi izin kepada kamu untuk meriwayatkan semua ilmu yang belum kamu dengar dan ketahui”, seakan-akan ia telah memberi izin kepada orang lain tersebut untuk melakukan kebohongan. Salah satu ulama yang tidak memperbolehkan untuk menggunakan metode ini adalah Ibn Hazm. Beliau mengkategorikan metode ini termasuk bid’ah yang tidak diperbolehkan . Meskipun demikian, sebagian ulama yang lain memandang bahwa metode ini boleh untuk digunakan, dengan syarat naskah yang dimiliki oleh murid sama dengan naskah aslinya dan murid tersebut -dalam hal keilmuan- mempunyai kapabilitas dan kredibiltas yang tinggi sehingga ilmu tidak diberikan kepada orang yang bukan ahlinya . Metode al-Ijazah ini dapat dipraktekkan dengan berbagai cara. Yang terbaik dan tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau riwayatnya dan berkata kepada muridnya: “Saya mendengar materi yang termuat di dalam kitab ini dari guru saya dan saya memberi izin kepadamu untuk meriwayatkannya dariku”. Bentuk semacam ini disebut dengan Ijazah min Mu’ayyan li Mu’ayyan fi Mu’ayyan (pemberian izin oleh orang yang tertentu, yaitu guru, kepada orang yang tertentu, yaitu muridnya, di dalam hal yang tertentu juga, yakni meriwayatkan kitabnya) Metode al-Ijazah menempati peringkat ketiga setelah al-Sama’ dan al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh .
4. Al-Munawalah, yaitu pemberian kitab -yang memuat hadits atau lainnya- oleh seorang guru kepada muridnya untuk diriwayatkan dan disampaikan kepada orang lain. Sebagai contoh seorang guru memberikan sebuah kitab -yang memuat hadits atau lainnya- kepada muridnya dan berkata: “Ini adalah kitab yang berisi ilmu yang saya dengar dan riwayatkan dari guru saya” . Metode ini mempunyai bentuk yang beragam dan tentunya, tingkatannya berbeda. Tingkatan yang tertinggi adalah pemberian kitab oleh seorang guru kepada muridnya dan guru tersebut berkata: “Ini adalah kitab yang memuat ilmu yang saya dengar dari guru saya, ambillah dan riwayatkanlah dari saya”, atau dengan perkataan: “Ambillah kitab ini kemudian salinlah. Apabila telah kamu bandingkan maka kembalikan kepada saya dan riwayatkanlah dari saya”, atau dengan perkataan yang lain. Metode al-Munawalah seperti ini disebut dengan al-Munawalah ma’a al-Ijazah. Tingkatan di bawahnya adalah seorang murid datang kepada gurunya dengan membawa naskah yang sama dengan naskah aslinya. Guru tersebut kemudian mengambil naskah itu dan menelitinya kemudian berkata: “Riwayatkanlah naskah ini dariku”. Metode al-Munawalah semacam ini dinamakan dengan ‘Ardl al-Munawalah. Sebagaimana al-Ijazah, metode al-Munawalah juga masih dipertentangkan oleh para ulama. Sebagian ulama memperbolehkan dan sebagian yang lain melarang. Mereka yang memperbolehkan metode al-Munawalah untuk diterapkan berlandaskan kepada Hadits Rasulullah:
"أَنَّهُ كَتَبَ لِأَمِيْرِ السَّرِيَّةِ كِتَاَبًا وَقَالَ: لاَ تَقْرَأَهُ حَتىَّ تَبْلُغَ مَكَانَ كَذَا كَذَا. فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الْمَكَانَ قَرَأَهَ عَلَى النَّاسِ وَأَخْبَرَهُمْ بِأَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ".
Artinya: “Nabi memberikan surat kepada pemimpin pasukan dan berkata: “Kamu jangan membaca surat ini kecuali kamu sampai di tempat …….”. Ketika sampai di tempat yang telah ditentukan pemimpin pasukan tersebut membacakan surat dan memberitahukan perintah Nabi kepada khalayak umum”.
Dan surat Nabi kepada Amr Ibn Hazm, Shahabat dan pemimpin lainnya yang disertai perintah beliau kepada mereka untuk mengamalkan isi surat tersebut .
5. Al-Mukatabah, yaitu penulisan hadits yang dilakukan oleh seorang guru atau asistennya untuk seorang murid yang hadir di tempat belajar-mengajar maupun yang tidak hadir. Khusus untuk murid yang tidak hadir, guru tersebut menuliskan hadits di dalam surat yang dikirimkan melalui orang yang dapat dipercaya . Memang, untuk murid yang hadir di tempat belajar-mengajar kevalidan hadits yang ia terima dapat dipertanggung jawabkan karena ia melihat sendiri tulisan seorang guru atau asistennya yang disaksikan oleh guru tersebut. Namun, untuk murid yang tidak hadir kevalidan hadits yang ia terima masih perlu dipertanyakan, meskipun sebenarnya sifat amanah (kejujuran) kepada Nabi dapat dijadikan landasan bagi murid tersebut untuk mempercayai bahwa tulisan yang ia terima benar-benar merupakan tulisan gurunya atau asistennya. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis hadits dan orang yang mengirimkannya disyaratkan harus orang yang adil dan dapat dipercaya . Metode al-Mukatabah ini terbagi menjadi dua: a. al-Kitabah ma’a al-Ijazah (penulisan disertai dengan pemberian izin). Seperti seorang guru menulis hadits di hadapan muridnya kemudian berkata: “Saya memberi izin kepada kamu untuk meriwayatkan hadits yang saya tulis ini”. Al-Mukatabah seperti ini sama dengan al-Munawalah ma’a al-Ijazah dalam segi kevalidannya; b. al-Kitabah bi duni al-Ijazah (penulisan tanpa disertai pemberian izin). Tingkatan al-Mukatabah semacam ini lebih rendah dari al-Kitabah ma’a al-Ijazah .
6. I’lam al-Syaikh, yaitu pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwa hadits atau kitab ini diterima dan didengarnya dari seseorang tanpa ada pemberian izin secara jelas . Mayoritas ulama membolehkan untuk menggunakan metode ini jika guru tersebut termasuk orang yang dapat dipercaya. Mengapa demikian? Karena apabila guru tersebut termasuk orang yang dapat dipercaya maka ia hanya akan memberitahukan hadits yang telah diriwayatkan dan didengarnya, sehingga pemberitahuan tersebut mengindikasikan bahwa ia rela dan membolehkan hadits yang ia beritahukan diriwayatkan dan disampaikan kepada orang lain. Dengan demikan, pemberian izin oleh guru tersebut dapat diketahui secara implisit. Karena pemberian izin untuk meriwayatkan hadits hanya secara implisit maka dalam hal kebolehan menggunakan metode ini apabila seorang guru melarang muridnya untuk meriwayatkan hadits darinya , para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama tidak memperbolehkan penggunaan metode ini. Dengan alasan bahwa tahammul al-Hadits dengan metode al-I’lam sama dengan al-Syahadah ‘ala al-Syahadah (kesaksian terhadap kesaksian orang lain). Di dalam al-Syahadah ‘ala al-Syahadah, kesaksian saksi yang kedua hanya dapat dinyatakan sah apabila saksi yang pertama memperbolehkan saksi yang kedua untuk bersaksi terhadap kesaksiannya. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain memperbolehkan hal ini. Salah satu ulama yang memperbolehkan adalah al-Qadli ‘Iyadl. Menurutnya, metode al-I’lam tidak dapat dianalogikan dengan al-Syahadah ‘ala al-Syahadah, karena -di dalam kondisi apapun- al-Syahadah ‘ala al-Syahadah hanya sah apabila disertai dengan izin dari saksi pertama. Sedangkan periwayatan hadits melalui al-Sama’ dan al-Qira’ah -menurut kesepakatan para ulama- tidak membutuhkan izin. Di samping itu, metode al-I’lam berbeda dengan al-Syahadah ‘ala al-Syahadah di dalam banyak hal .
7. Al-Wasiat, yaitu seseorang yang alim (berilmu) -sebelum berpergian atau sebelum meningggal- berwasiat kepada orang lain untuk meriwayatkan kitab yang ia riwayatkan. Metode tahammul al-Hadits semacam ini sangat jarang ditemukan. Menurut mayoritas ulama orang yang diberi wasiat tidak diperbolehkan untuk meriwayatkan kitab dari orang yang memberi wasiat. Namun, menurut sebagian ulama hal tersebut diperbolehkan berdasarkan riwayat bahwa sebagian ulama salaf -sebelum meninggal- memberikan wasiat untuk meriwayatkan kitab mereka, sebagaiman yang dilakukan oleh Abu Qallabah Abdullah Ibn Zaid al-Jurami (w. 104 H). Ia berwasiat kepada Ayyub al-Sikhtiyani (68-131 H) untuk meriwayatkan beberapa kitabnya. Di samping berdasarkan riwayat tersebut, para ulama yang memperbolehkan memberi alasan bahwa di dalam penyerahan kitab kepada orang yang diberi wasiat terdapat semacam izin dari pemberi wasiat dan ada unsur keserupaan dengan al-‘Ardl dan al-Munawalah . Akan tetapi mereka memperbolehkan tahammul al-Hadits dengan menggunakan al-Wasiat tidak secara mutlak. Mereka mensyaratkan orang yang diberi wasiat harus menggunakan kitab yang diwasiatkan ketika meriwayatkannya . Selain itu, kitab yang diwasiatkan harus jelas bentuknya . Metode al-Wasiat merupakan metode yang menduduki tingkatan terendah kedua.
8. Al-Wijadah, yaitu pengambilan ilmu dari sebuah naskah tanpa melalui jalur al-Sama’, al-Ijazah, dan al-Munawalah. Sebagai contoh: seseorang menemukan sebuah kitab yang ditulis oleh orang semasa dengannya -baik pernah bertemu ataupun tidak- dan ia mengenal tulisan tersebut, atau yang ditulis oleh orang yang tidak semasa dengannya, namun kebenaran bahwa tulisan itu benar-benar merupakan tulisan orang yang tidak semasa dengannya tersebut dapat dipertanggung jawabkan sebab kesaksian para cendekiawan, kemasyhuran kitab tersebut, adanya sanad kitab yang terdapat di dalamnya, atau faktor pendukung lainnya. Apabila telah terbukti bahwa tulisan tersebut merupakan tulisan pengarangnya maka orang yang menemukan boleh untuk meriwayatkannya dengan cara menceritakan. Sejarah membuktikan bahwa sebagian ulama salaf menggunakan metode al-Wijadah ini dalam meriwayatkan hadits, meskipun jumlahnya hanya sedikit . Sebagaimana yang terjadi pada masa Tabi’in. Jumlah hadits yang diriwayatkan dengan metode al-Wijadah hanya sedikit, karena mereka hanya meriwayatkan hadits yang telah terbukti kebenarannya. Metode al-Wijadah ini tidak boleh kita anggap remeh, bahkan, untuk masa sekarang metode al-Wijadah sangat bermanfaat, karena periwayatan hadits yang kita lakukan selama ini dari beberapa kitab hadits termasuk bagian dari al-Wijadah. Di samping itu, saat ini orang yang meriwayatkan hadits dengan metode al-Talqin dan al-Sama’ sangat jarang, apalagi setelah kitab hadits tersebar ke seluruh pelosok dunia sehingga memudahkan untuk dipelajari. Dengan demikian, apabila seseorang menemukan sebuah kitab yang telah terbukti kebenarannya maka ia harus mengamalkannya , berdasarkan hadits Nabi Muhammad:
"قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْخَلْقِ أَعْجَبُ إِلَيْكُمْ إِيْمَاناً؟ قاَلُوْا: اَلْمَلاَئِكَةُ. قَالَ: وَكَيْفَ لاَيُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ؟ وَذَكَرُوْا الْأَنْبِيَاءَ، فَقَالَ: كَيْفَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ وَالْوَحْيُ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ؟ قَالُوْا: فَنَحْنُ؟ قاَلَ: وَكَيْفَ لاَ تُؤْمِنُوْنَ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟ قَالُوْا فَمَنْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: قَوْمٌ يَأْتُوْنَ بَعْدَكُمْ يَجِدُوْنَ صُحُفًا يُؤْمِنُوْنَ بِهَا".
Artinya: “Nabi bertanya (kepada para Shahabatnya): Siapa makhluk yang paling kamu kagumi keimanannya? Para Shahabat menjawab: Malaikat. Nabi berkata: (Kurang tepat), karena sudah seharusnya bagi malaikat untuk beriman, sebab mereka berada di sisi Allah. Para Shahabat berkata: Para Nabi. Nabi bersabda: (Bukan), karena sudah seharusnya bagi para Nabi untuk beriman, sebab mereka mendapatkan wahyu. Para Shahabat berkata: Kita. Nabi bersabda: (Kurang tepat), karena sudah seharusnya bagi kalian untuk beriman, sebab aku berada di hadapanmu. Para Shahabat bertanya: Kalau demikian, siapa wahai Rasulullah? Nabi menjawab: Generasi setelahmu yang menemukan kitab kemudian mereka meyakininya” .
Setelah kita membahas metode tahammul al-Hadits, ada baiknya kita juga membahas tentang shiyagh al-Ada’ (ungkapan yang digunakan ketika meriwayatkan hadits kepada orang lain). Shiyagh al-Ada’ terbagi menjadi delapan macam sebagimana metode tahammul al-Hadits , karena pada hakikatnya shiyagh al-Ada’ mengikuti dan sesuai dengan metode tahammul al-Hadits. Dengan penjelasan, apabila sesorang meriwayatkan hadits dari orang lain dengan metode al-Sama’ -misalnya- maka metode inilah yang digunakan ketika seseorang tersebut meriwayatkan hadits kepada orang lain (ada’ al-Hadits). Delapan shiyagh al-Ada’ itu sebagai berikut:
 Al-Sama’. Apabila seseorang meriwayatkan hadits dari seorang guru dengan metode al-Sama’ maka seseorang tersebut dapat menggunakan ungkapan: sami’tu (saya mendengar), haddatsana (telah menceritakan hadits kepada kita), akhbarana (telah memberitahukan kepada kita), atau anbaana (telah menceritakan kepada kita) ketika meriwayatkan hadits itu kepada orang lain. Di dalam kosa kata bahasa Arab, empat ungkapan tersebut mempunyai arti menceritakan hadits. Arti ini telah dikenal oleh para ulama mutaqadimin (tradisional). Namun, ungkapan akhbarana kemudian juga digunakan untuk meriwayatkan hadits yang menggunakan metode al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh.
Ungkapan yang mempunyai kedudukan yang tertinggi adalah sami’tu, karena ungkapan ini tidak mungkin diucapkan oleh orang yang meriwayatkan hadits dengan metode al-Ijazah dan al-Mukatabah, apalagi untuk memanipulasi hadits yang tidak didengarnya. Meskipun sami’tu merupakan ungkapan yang mempunyai kedudukan yang tertinggi, namun tidak banyak digunakan. Ungkapan yang paling sering digunakan adalah akhbarana . Di samping empat ungkapan tersebut masih ada dua ungkapan lagi, yaitu qaala li (telah berkata kepada saya), dan dzakara li (telah menyebutkan kepada saya), akan tetapi dua ungkapan ini sangat jarang digunakan . Terkait hal ini, seorang ahli hadits jarang sekali menggunakan ungkapan ‘an (dari) ketika meriwayatkan hadits kepada orang lain dengan metode al-Sama’, karena ungkapan ‘an sering digunakan untuk memanipulasi hadits yang tidak didengar. Oleh karena itu, ungkapan ‘an dapat diartikan al-Sama’ apabila diucapkan oleh orang yang tidak pernah melakukan manipulasi data periwayatan, atau oleh orang yang telah terbukti bahwa ia pernah bertemu dengan gurunya .
 Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Apabila seseorang meriwayatkan hadits dari seorang guru dengan metode al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh maka ketika meriwayatkan hadits itu kepada orang lain seseorang tersebut dapat menggunakan ungkapan: qara’tu ‘ala al-Syaikh wahuwa yasma’u (saya telah membaca di hadapan guru saya) jika ia membaca sendiri, atau dengan ungkapan: quria ‘ala al-Syaikh wahuwa yasma’u wa ana kadzalika asma’u (seseorang telah membaca di hadapan guru saya. Beliau mendengarkan, begitu juga saya) apabila orang lain yang membaca. Ungkapan lain yang boleh dipergunakan adalah: haddatsana al-Syaikh qiraatan ‘alaihi (guru saya telah menceritakan hadits kepada kita melalui pembacaan di hadapannya), akhbarana al-Syaikh qiraatan ‘alaihi (guru saya telah memberitahukan hadits kepada kita melalui pembacaan di hadapannya), dan sam’itu min al-Syaikh qiraatan ‘alaihi (saya telah mendengar dari guru saya melalui pembacaan di hadapannya) .
 Al-Ijazah. Apabila seseorang meriwayatkan hadits dari seorang guru dengan metode al-Ijazah maka ungkapan yang dapat digunakan ketika meriwayatkan hadits itu kepada orang lain adalah: akhbarana al-Syaikh Ijazatan (guru saya telah memberitahukan kepada saya dengan cara ijazah) dan ungkapan yang lain.
 Al-Munawalah. Apabila seseorang meriwayatkan hadits dari seorang guru dengan metode al-Munawalah maka ungkapan yang dapat digunakan ketika meriwayatkan hadits itu kepada orang lain adalah: akhbarana al-Syaikh Munawalatan (guru saya telah memberitahukan kepada saya dengan cara Munawalah), dan ungkapan yang lain.
 Al-Mukatabah. Apabila seseorang meriwayatkan hadits dari seorang guru dengan metode Al-Mukatabah maka ungkapan yang dapat digunakan ketika meriwayatkan hadits itu kepada orang lain adalah: kataba ilayya fulanun qaala: akhbarana fulanun….. (seseorang telah menulis untuk saya, dia berkata: Saya telah diberitahu oleh sesorang…..) dan ungkapan yang lain.
 I’lam al-Syaikh. Apabila seseorang meriwayatkan hadits dari seseorang yang lain dengan metode i’lam al-Syaikh maka ungkapan yang dapat digunakan ketika meriwayatkan hadits itu kepada orang lain adalah: fiima a’lamani Syaikhi anna fulanan haddatsahu (di dalam riwayat yang diberitahukan oleh guru saya bahwa seseorang telah menceritakan hadits kepadanya) dan ungkapan yang lain.
 Al-Wasiat. Apabila seseorang meriwayatkan hadits dari seseorang yang lain dengan metode al-Wasiat maka ungkapan yang dapat digunakan ketika meriwayatkan hadits itu kepada orang lain adalah: akhbarani al-Syaikh bi al-Wasiat (guru saya telah memberitahukan kepada saya dengan cara wasiat), ausha ilayya fulanun (seseorang telah berwasiat kepada saya), dan ungkapan yang lain.
 Al-Wijadah. Apabila seseorang meriwayatkan hadits dari seseorang yang lain dengan metode al-Wijadah maka ungkapan yang dapat digunakan ketika meriwayatkan hadits itu kepada orang lain adalah: wajadtu fi kitabi fulanin (saya telah menemukan di dalam kitab seseorang), dan ungkapan yang lain .
IV. Pengertian Hadits Muan’an dan Hadits Muannan serta implikasinya terhadap persambungan sanad
Hadits Muan’an adalah hadits yang sanadnya menggunakan teks fulan ‘an fulan bukan sami’tu, akhbarana, akhbarani, haddatsana atau haddatsani. Hadits Muan’an banyak sekali ditemukan di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim , namun prosentasinya lebih banyak di dalam kitab Shahih Muslim dari pada Shahih Bukhari, karena Imam Muslim tidak mengharuskan seorang rawi bertemu dengan gurunya. Pendapat Imam Muslim ini bertentangan dengan pendapat para ulama hadits yang lain, seperti Ali Ibn al-Madini dan Imam Bukhari. Menurut pendapat mayoritas ulama, Hadits Muan’an dapat dikategorikan Hadits Muttashil dengan tiga syarat: 1. periwayatnya merupakan orang yang adil; 2. periwayatnya pernah bertemu dengan gurunya; 3. terbebas dari tadlis (manipulasi). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Hadits Muan’an termasuk Hadits Mursal. Namun, pendapat ini ditentang oleh Imam Nawawi. Ia menyatakan bahwa pengategorian Hadits Muan’an ke dalam kelompok Hadits Mursal tertolak dengan adanya konsensus para ulama salaf .
Hadits Muannan adalah hadits yang sanadnya menggunakan teks haddatsana fulanun anna fulanan. Menurut mayoritas ulama, di antaranya Imam Malik, Hadits Muannan sama dengan Hadits Muan’an di dalam hal dapat dikategorikan Hadits Muttashil dengan tiga syarat di atas. Sedangkan sebagian ulama yang lain -seperti al-Bardiji- mengelompokkan Hadits Muannan ke dalam Hadits Munqati’ hingga terbukti bahwa periwayatnya mendengar atau menyaksikan gurunya dengan adanya riwayat lain .



E. Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
I. Pengertian Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
Secara etimologi kata al-Jarh diderivasi dari fi’il (verb, kata kerja) jaraha yang mempunyai arti melukai. Adapun secara terminologi, al-Jarh adalah terlihatnya sifat buruk dari diri seorang periwayat. Sifat buruk tersebut berupa sifat yang dapat menyebabkan keadilan, kecerdasan, dan kecermatannya diragukan, sehingga berdampak pada periwayatan yang dilakukannya menjadi lemah, bahkan ditolak. Al-Tajrih adalah penilaian terhadap seorang rawi dengan menganggap lemah atau menolak hadits yang diriwayatkannya, karena adanya sifat buruk yang dimiliki oleh perawi tersebut.
Secara etimologi kata adil merupakan antonim dari kata al-Juur yang mempunyai arti kesewenang-wenangan. Sedangkan secara terminologi, adil adalah seorang periwayat yang secara lahiriyah tidak mempunyai sifat yang dapat merusak karakter agamisnya dan dapat menyebabkannya kehilangan martabat. Oleh karena itu, hadits yang diriwayatkannya dapat diterima apabila syarat lain yang telah dijelaskan di dalam bab ada’ al-Hadits juga terpenuhi. Al-Ta’dil adalah penilaian terhadap seorang rawi dengan menerima hadits yang diriwayatkannya, karena sifat baik dan adil yang melekat di dalam perawi tersebut.
Dengan demikian, pengertian ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang sifat dan karakter seorang periwayat yang berimplikasi pada penerimaan atau penolakan terhadap hadits yang diriwayatkannya .

II. Kaidah penerapan
III. Shighat al-Ta’dil dan implikasinya terhadap eksistensi Hadits
IV. Shighat al-Jarh dan implikasinya terhadap eksistensi Hadits

F. Kajian Syudzudz dalam analisis matan Hadits
I. Pengertian Syudzudz dan contohnya
II. Cara menentukan Syudzudz al-Hadits


G. Kajian Illat dalam analisis matan Hadits
I. Pengertian Illat dan contohnya
II. Cara menentukan Illat dalam matan Hadits























Bab III. LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Analisis Kualitas
1. Skema Periwayat
Jalur Periwayatan Yang Ditempuh Oleh Abu Daud















2. Biografi para periwayat
1. Abdullah Ibn Umar. Nama lengkap beliau adalah Abdullah Ibn Umar Ibn al-Khattab Ibn Nufail al-Qurasyiyyi al-‘Adawi Abu Abd al-Rahman . Ibunya bernama Zainab Ibn Madh’un, saudara perempuan Usman Ibn Madh’un. Beliau adalah saudara kandung Hafshah, salah satu isteri Nabi Muhammad SAW. Beliau wafat pada tahun 24 H. Ketika masih kecil (belum baligh), tepatnya umur 10 tahun, beliau sudah masuk Islam dan ikut hijrah bersama ayahnya. Saat perang Uhud, beliau dianggap masih kecil sehingga tidak diperbolehkan untuk mengikuti perang. Beliau mengikuti perang bersama Nabi Muhammad SAW pertama kali pada saat perang Khandaq dan dalam peperangan setelahnya beliau selalu ikut andil.
Guru beliau antara lain: Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar al-Shiddiq, Umar Ibn al-Khattab, ayah beliau, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib, dan lain-lain.
Murid beliau antara lain: Aslam, budak yang telah dimerdekakan oleh Umar Ibn al-Khattab, Atha’ Ibn Rabah, Bilal, Hamzah, Zaid, Salim, Abdullah, Ubaidullah, dan Umar, Seluruhnya putra beliau sendiri, Muharib Ibn Ditsar, Said Ibn Musayyab, dan lain-lain.
2. Muharib Ibn Ditsar. Nama lengkap beliau adalah Muharib Ibn Ditsar Ibn Kurdus Ibn Qirwasy Ibn Ja’unah Ibn Salamah Ibn Shakhr Ibn Tsa’labah Ibn Sadus al-Sadusi al-Qadli . Beliau wafat pada masa kekuasaan Khalid Ibn Abdillah, tahun 116 H.
Guru beliau antara lain: Abdullah Ibn Umar Ibn al-Khattab, Al-Aswad Ibn Yazid al-Nakha’i, Jabir Ibn Abdillah al-Anshari, Sulaiman Buraidah, Shilah Ibn Zufar, dan lain-lain.
Murid beliau antara lain: Anis Ibn Khalid, Said Ibn Masruq al-Tsauri, Sufyan Ibn Uyainah, Ubaidullah al-Walid al-Washafi, Mu’arrif Ibn Wasil, dan lain-lain.
3. Mu’arrif Ibn Washil. Nama lengkap beliau adalah Mu’arrif Ibn Washil al-Sa’di .
Guru beliau antara lain: Ibrahim al-Nakhai, Ibrahim al-Taimi, Muharib Ibn Ditsar, Sulaiman al-A’masy, Ya’qub Ibn Abi Nubatah, dan lain-lain.
Murid beliau antara lain: Abdullah Ibn Shalih al-‘Ijli, Abu al-Mundzir Ismail Ibn Umar al-Wasithi, Muhammad Ibn Khalid al-Wahbi, Muhammad Ibn Yusuf al-Firyabi, Waki’ Ibn al-Jarah, dan lain-lain.
4. Muhammad Ibn Khalid al-Wahbi. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ibn Khalid Ibn Muhammmad . Beliau wafat sebelum tahun 190 H.
Guru beliau antara lain: Abd al-Malik Ibn Juraij, Abu Hanifah, Fadlal Ibn Dalham, Mu’arrif Ibn Washil, Ubaid Ibn al-Walid al-Washafi, dan lain-lain.
Murid beliau antara lain: Hisyam Ibn ‘Ammar al-Dimsyiqi, Katsir Ibn Ubaid al-Madzhiji, Muhammad Ibn Mushaffa, Rabi’ Ibn Ruh, Yahya Ibn Shalih al-Wuhadhi, dan lain-lain.
5. Katsir Ibn Ubaid. Nama lengkap beliau adalah Katsir Ibn Ubaid Ibn Numair al-Madzhiji Abu al-Hasan al-Himshi al-Hadza’ al-Muqriu . Beliau wafat sekitar tahun 250 H.
Guru beliau antara lain: Ayyub Ibn Suwaid al-Ramli, Baqiyyah Ibn al-Walid, Muhammad Ibn Khalid al-Wahbi, Sufyan Ibn ‘Uyainah, Walid Ibn Muslim, dan lain-lain.
Murid beliau antara lain: Abu Bakar Ahmad Ibn ‘Amr Ibn Abi ‘Ashim, Abu Daud, Ibnu Majah, Al-nasai, Abdullah Ibn Ahmad Ibn Abi al-Hawari, dan lain-lain.
6. Abu Daud. Nama lengkap beliau adalah Sulaiman Ibn Asy’ats Ibn Ishaq Basyir Ibn Syaddad Ibn ‘Amr Ibn Imran al-Azdi al-Sijistani . Beliau dilahirkan pada tahun 202 H dan wafat di Bashrah pada tanggal 16 Syawal 275 H . Tempat tinggal beliau di Bashrah. Karangannya berjumlah 12 buku. Yang paling terkenal adalah kitab Sunan Abi Daud.
Guru beliau antara lain:
Abi al-Walid al-Thayalisi, Ahmad ibn Hambal, Katsir Ibn Ubaid, Muslim Ibn Ibrahim, Yahya Ibn Mu’in, dan lain-lain.
Murid beliau antara lain:
Abdullah (putra beliau), Abu Abd al-Rahman al-Kisai, Ahmad Ibn Muhammad al-Khallal, Abu Ali Muhammad Ibn ‘Amr al-Luklui.
B. Analisis Kuantitas
I. Paparan data jalur lain
I a. Teks hadits
حدثنا كثير بن عبيد الحمصي، حدثنا محمد بن خالد، عن عبيد الله بن الوليد الوصافي، عن محارب بن دثار، عن عبد الله بن عمر، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ اَلطَّلاَقُ" .


I b. Skema Periwayat

Jalur Periwayatan Yang Ditempuh Oleh Ibnu Majah









I c. Biografi para periwayat
1. Ubaidullah Ibn al-Walid al-Washafi Abu Ismail al-Kufi. Menurut Imam Bukhari, beliau adalah ayah dari al-Washaf Malik Ibn Amir al-‘Ijli.
Guru beliau antara lain: Athiyah al-‘Aufi, Ibrahim Ibn Ubaidillah Ibn ‘Ubadah Ibn al-Shamit, Muharib Ibn Ditsar, Muhammad Ibn Suqah, Thawus Ibn Kisan, dan lain-lain.
Murid beliau antara lain: Abd al-Rahman Ibn Muhammad al-Muharibi, Isa Ibn Yunus, Muhammad Ibn Khalid al-Wahbi, Sufyan al-Tsauri, Ya’la Ibn Ubaid al-Thanafisi, dan lain-lain.
2. Ibnu Majah. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Rab’i al-Quzwini . Beliau dilahirkan di daerah Quzwin pada tahun 209 H dan wafat pada tanggal 22 Ramadlan 273 H . Karangan beliau dalam berbagai fan ilmu, antara lain fan Tafsir, Hadits, dan Sejarah. Kitab Sunan Ibnu Majah merupakan karya beliau yang terkenal.
Guru beliau antara lain:
Murid beliau antara lain:





Bab IV. PENUTUP

Diagram Hadits










0 Response to "FENOMENA PERCERAIAN"

Posting Komentar