ASY’ARIYYAH DAN MATURIDIYAH

1st. PENDAHULUAN
Teologi sebagai refleksi keimanan adalah suatu upaya untuk membentuk nilai keimanan yang berkualitas, dan dijadikan sebagai dasar membaca realitas yang dihadapi secara jelas. Maka teologi dapat mempengaruhi berbagai aktivitas yang mengarah kepada kemajuan dan peningkatan kualitas manusia, atau dapat memberi kontribusi kualitas terhadap kemajuan manusia.


Dengan demikian, maka teologi dapat mengatasi berbagai problem manusia seperti kemunduran, kebodohan dan kemiskinan. Untuk itu, perlu dicari solusi efektif mengenai konsep pemikiran teologi yang dapat menjustifikasi kemajuan kehidupan manusia yang didominasi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bercorak humanistis. Sebagai contoh, bagaimana dapat dirumuskan study teologi Islam secara dinamis sehingga ajaran islam yang diwahyukan belasan abad yang lalu dapat dijabarkan dalam konteks kehidupan modern saat ini.
Mengacu kepada tujuan di atas, dalam makalah ini akan dijelaskan aliran teologi yang dianut oleh paham ahlussunah yang terdiri dari dua aliran besar yang saat ini mempunyai banyak penganut, yaitu aliran al-Asy'ariyah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy'ary, dan aliran al-Maturidiyah yang didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi. Pendapat-pendapat kedua aliran ini sangat menarik sekali untuk dicermati sebagai dua aliran yang dianut oleh ahlussunah, di mana bisa kita lihat bahwa antara kedua aliran ini terdapat perbedaan pandangan dalam masalah teologi di samping persamaannya.

2nd. LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara tentang aliran al-Asy'ariyah dan al-Maturidiyah, kita dihadapkan pada dua kategori pemikiran yang keberadaannya lahir untuk menangkis dan menangkal pemikiran-pemikiran aliran Mu’tazilah. Yang menarik adalah, terdapat perbedaan konsep dasar yang dipergunakan oleh kedua imam tersebut yang insya Allah akan dijelaskan dalam makalah ini. Ada beberapa pertanyaan dan permasalahan yang berkaitan dengan kedua aliran ini, yaitu:
1. Sejauh manakah peran kedua aliran ini dalam membantah pemikiran Mu’tazilah?
2. Antara al-Asy'ariyah dan al-Maturidiyah, mana yang paling kuat dan paling valid?
3. Berkaitan dengan saat ini, masih relevankah dua aliran tersebut jika diterapkan?
4. Mengapa para Ulama teologi Islam banyak berbeda pendapat dalam masalah teologi, motif apakah yang melatarbelakanginya?.
Demikianlah beberapa rumusan masalah yang akan kami coba untuk menjawabnya dalam makalah ini yang selanjutnya akan kami jelaskan analisisnya di akhir makalah.







3rd. MATERI PEMBAHASAN
A. Abu Hasan al-Asy’ari
Abu Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar al-Asy’ari -lahir di Basra, 260 H/875 M dan wafat di Baghdad, 324/939 M- ) merupakan seorang ahli hukum Islam (Fiqh), pemuka kaum teolog dan pendiri aliran Asy’ariyyah. Ia memiliki hubungan keturunan dengan Abu Musa al-Asy’ari, ) seorang sahabat Nabi Muhammad yang banyak meriwayatkan hadits. Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali al-Juba’i- ) salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah- yang cerdas, sehingga al-Juba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya. )
Walaupun selama empat puluh tahun al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah, namun akhirnya ia meninggalkan paham tersebut. Adapun faktor penyebabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Subki dan Ibn Asakir, adalah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi. Dalam mimpinya itu, Al-Asy’ari bertemu dengan Rasulullah yang menyuruhnya untuk meninggalkan aliran yang dianutnya itu (Mu’tazilah) dan selanjutnya ia diperintahkan untuk membela sunnah Rasulullah. ) Di samping itu, ada faktor lain yaitu al-Asy’ari pernah berdebat dengan gurunya, al-Juba’i. Dalam perdebatan itu, ) al-Juba’i tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh al-Asy’ari.
Di antara pertanyaan yang diajukan oleh al-Asy’ari, menurut al-Subki, adalah sebagai berikut:
 Al-Asy’ari: Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat?
 Al-Juba’i: Orang mukmin mendapatkan tempat yang baik di surga, orang kafir masuk neraka, dan anak kecil terbebas dari bahaya neraka.
 Al-Asy’ari: Kalau anak kecil tersebut ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?
 Al-Juba’i: Tidak, sebab yang mungkin mendapat tempat yang baik di surga adalah orang yang patuh kepada-Nya, sedangkan anak kecil belum mempunyai kepatuhan seperti itu.
 Al-Asy’ari: Kalau anak itu mengatakan kepada Allah: Itu bukan kesalahanku. Andaikan Engkau membolehkan aku untuk terus hidup, maka aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik sebagaimana yang dilakukan oleh orang mukmin.
 Al-Juba’i: Allah akan menjawab: Aku tahu bahwa andaikan kamu terus hidup maka kamu akan berbuat dosa, sehingga kamu akan mendapat siksa. Oleh karena itu, untuk kepentinganmu, Aku cabut nyawamu sebelum kamu mencapai baligh.

 Al-Asy’ari: Seandainya orang kafir berkata kepada Allah: Engkau mengetahui masa depanku sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil tersebut. Namun, mengapa Engkau tidak menjaga kepentinganku?
Al-Juba’i terdiam. )
Perdebatan di atas mengisyaratkan ketidakpuasan al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah yang dianutnya selam ini. Simpulan ini didukung oleh riwayat yang menyatakan bahwa al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Setelah itu, ia keluar rumah untuk pergi ke masjid, kemudian naik ke mimbar dan mengatakan kepada umatnya bahwa ia telah mengasingkan diri dan berfikir mendalam tentang keterangan dan dalil yang dijadikan landasan oleh masing-masing golongan. Dalil yang diajukan, menurut penelitiannya, sama kuatnya. Oleh karena itu, ia meminta petunjuk kepada Allah dan atas petunjuk-Nya ia meninggalkan keyakinan lama dan berpindah menganut keyakinan baru yang ia tulis dalam beberapa kitabnya. Selanjutnya ia mengatakan: Saya melemparkan keyakinan lama yang selama ini saya anut sebagaimana saya melemparkan baju ini. )
Ajaran-ajaran al-Asy’ari sendiri dapat diketahui dari beberapa kitab yang ia tulis, terutama kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’ (Kecemerlangan dalam menolak orang yang menyimpang dan melakukan bid’ah), ) al-Ibanah ‘an Ushul al-Dinayah (Uraian tentang prinsip-prinsip agama), ) dan Maqalat al-Islamiyyin (Makalah tentang orang Islam), ) serta kitab-kitab yang ditulis oleh para pengikutnya.
Al-Asy’ari membantah beberapa ajaran Mu’tazilah, di antaranya ajaran tentang tidak adanya sifat Tuhan. Menurutnya, tidaklah benar Tuhan mengetahui dengan dzat-Nya. Karena jika demikian dzat Tuhan adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Padahal, Tuhan bukan pengetahuan (‘Ilm) akan tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukanlah dzat-Nya.
Al-Asy’ari juga menentang paham keadilan Allah yang dibawa oleh Mu’tazilah. Menurut pendapatnya, Allah berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatu yang wajib bagi-Nya. Allah berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Dia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah ia bersifat tidak adil dan jika Dia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah Dia bersifat Dzalim. Dengan demikian, al-Asy’ari juga tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah tentang al-Wa’ad wa al-Wa’id (janji baik dan ancaman buruk).
Bagi al-Asy’ari, orang yang berbuat dosa besar tetap berstatus mukmin karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya, ia menjadi fasik. Seandainya orang yang berdosa besar bukan berstatus mukmin dan bukan pula kafir, maka di dalam dirinya tidak didapati kufur atau iman; dengan demikian ia tidak termasuk ateis dan bukan pula monoteis, tidak teman dan tidak pula musuh. Hal ini tidaklah mungkin.
Kalau al-Asy’ari merupakan pemuka yang pertama membentuk aliran yang kemudian menggunakan namanya, maka pemuka yang mengembangkan aliran tersebut adalah pengikutnya. Di antaranya yang terkenal adalah: Abu Bakar Muhammad al-Baqilani, al-Isfirayini, al-Qusyairi, al-Juwaini, dan al-Ghazali. Imam al-Ghazali adalah pengikut al-Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada Umat Islam yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Atas pengaruh al-Ghazali-lah ajaran al-Asy’ari tersebar luas di kalangan Umat Islam.

Asy’ariyyah
Asy’ariyyah merupakan salah satu aliran terpenting dalam teologi Islam. Aliran ini juga disebut dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah yang berarti golongan mayoritas yang sangat teguh berpegang pada Sunnah Nabi Muhammad. Nama aliran ini dinisbahkan kepada pendirinya, Abu Hasan al-Asy’ari. Aliran ini muncul pada awal abad IX ketika aliran Mu’tazilah berada dalam tahap kemunduran.
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang dianggap menyeleweng dan menyesatkan Umat Islam. Kaum Mu’tazilah pada masa pemerintahan al-Ma’mun melakukan mihnah (penyiksaan) ) yang mendapat tanggapan negatif dari berbagai kalangan, sehingga menyebabkan pengaruh aliran Mu’tazilah mulai memudar di mata masyarakat. Di dalam situasi seperti ini, muncullah al-Asy’ari, seorang yang dididik dan dibesarkan di dalam lingkungan Mu’tazilah.
Setelah keluar dari kelompok Mu’tazilah, al-Asy’ari merumuskan pandangan teologinya dalam al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’ (Bekal untuk menjawab orang yang menyimpang dan melakukan bid’ah) dan al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah (Uraian tentang Dasar-dasar Agama).
Ajaran pokok al-Asy’ari ada tujuh:
1. Tentang sifat Allah SWT. Dalam hal ini, al-Asy’ari berbeda pendapat dengan Mu’tazilah. Baginya, Allah SWT mempunyai sifat (sifat duapuluh) seperti al-‘Ilm (mengetahui), al-Qudrah (kuasa), al-Hayah (Hidup), al-Sama’ (mendengar), al-Bashar (melihat), dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut berada di luar dzat Allah dan bukan dzat Allah itu sendiri. Oleh karena itu, Allah mengetahui bukan dengan dzat-Nya seperti pendapat Mu’tazilah, melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain.
2. Tentang kedudukan al-Quran. Menurutnya, al-Quran adalah kalam Allah (Firman Allah SWT) dan bukan makhluk dalam arti diciptakan. Karena al-Quran adalah firman Allah maka pastillah al-Quran bersifat qadim.
3. Tentang melihat Allah SWT di akhirat. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah mempunyai wujud.
4. Tentang perbuatan manusia. Menurutnya, seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT. Walaupun demikian, al-Asy’ari tetap mengakui tentang adanya daya dalam diri manusia, meskipun daya itu tidak efektif.
5. Tentang antropomorfisme. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah SWT mempunyai mata, muka, tangan, dan semisalnya sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran, yaitu:
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. (Q.S al-Rahman: 27).
“Yang berlayar dengan mata kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh)”. (QS al-Qamar: 14).
akan tetapi semua itu tidak dapat diketahui bagaimana bentuknya. )
6. Tentang dosa besar. Menurutnya, orang mukmin yang melakukan dosa besar tetap dianggap mukmin selama ia masih beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia hanya digolongkan sebagai orang yang ‘ashi (durhaka). Sedangkan dosa besarnya diserahkan kepada Allah SWT, apakah akan diampuni atau tidak.
7. Tentang keadilan Allah SWT. Dalam hal ini, al-Asy’ari berpendapat bahwa allah adalah pencipta seluruh alam semesta. Dia memiliki kehendak mutalak terhadap ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Dia dapat berbuat sekehendak-Nya, memasukkan seluruh manusia ke dalam surga atau neraka.
Pemikiran-pemikiran al-Asy’ari tersebut dapat diterima oleh kebanyakan Umat Islam karena sederhana dan tidak filosofis, sehingga dalam waktu singkat ia memperoleh pendukung yang tidak sedikit jumlahnya. Faktor lain yang mempercepat proses perkembangan aliran ini adalah dukungan pihak pemerintah Bani Abbas yang berkuasa saat itu. Al-Mutawakkil, Khalifah pengganti al-Wasiq, membatalkan pemakaian aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara dan aliran Asy’ariyyah ditetapkan sebagai gantinya. Selain itu, faktor yang mempercepat perkembangan Asy’ariyyah adalah kemampuan al-Asy’ari dalam mempertahankan pendapatnya dari sanggahan lawan-lawan diskusinya serta penguasaan yang mendalam terhadap berbagai fan ilmu Islam.
Aliran ini pernah mendapat tantangan keras dari pihak penguasa, yaitu ketika Dinasti Abbasiyah berada dalam pengaruh Bani Buwaihi yang berpaham Mu’tazilah. Sampai masa kekuasaan Bani Buwaihi jatuh ke tangan Bani seljuk, kelompok Asy’ariyyah masih belum mendapat tempat di hati penguasa. Hal ini karena pada saat itu penguasa Bani seljuk, Tugril Beq, dan Perdana Menterinya, Abu Nashr Muhammad Ibn Mansur al-Kundari (416-456 H) beraliran Mu’tazilah. Di masa ini, al-Kundari melakukan tekanan terhadap golongan Asy’ariyyah berupa kutukan dan cacian pada khutbah Jumat dan berbagai ceramah lainnya. Tidak hanya itu, tokoh- tokoh Asy’ariyyah dilarang mengajar dan memberikan khutbah. Yang lebih parah lagi, al-Kundari mengeluarkan perintah untuk menangkap para pemuka Asy’ariyyah. Di antara pemuka yang ditangkap dan dipenjarakan adalah Abu Qasim Abd al-Karim al-Qusyairi.
Intimidasi terhadap golongan Asy’ariyyah berakhir setelah terjadi pergantian kekuasaan dari tangan Tugril Beq kepada Alp arslan. Berbeda dengan Tugril beq, Alp Arslan mempunyai Perdana Menteri yang sangat setia mendukung paham Asy’ariyyah, yakni Nidzam al-Mulk (1063-1092 M).
Aliran Asy’ariyyah kemudian mengalami kemajuan yang pesat, bahkan mampu mendominasi alam pemikiran dunia Islam. Penyebaran ajaran ini ke berbagai pelosok dunia Islam dilakukan oleh Madrasah Nidzamiyah yang didirikan oleh Nidzam al-Mulk. Madrasah Nidzamiyah mempunyai cabang hampir di setiap kota penting dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Semua sekolah itu menerapkan kurikulum yang bercorak Asy’ariyyah. Melalui sekolah Nidzamiyah inilah pendapat-pendapat aliran Asy’ariyyah diajarkan.

Di Mesir dan Syiria, teologi Asy’ariyyah juga berkembang dengan subur karena mendapat dukungan yang kuat dari penguasa, yakni Dinasti Ayyubiyah. Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi, pendiri Dinasti ayyubiyah, menghapuskan sistem pengajaran yang bercorak Syiah peninggalan Dinasti Fatimiah dan menggantikannya dengan sistem pengajaran yang bercorak Suni Asy’ariyyah.
Di Andalusia dan Afrika Utara (kawasan Maroko) aliran ini disebarluaskan oleh Ibnu Tumart pendiri Dinasti Muwahhidun. Di masa sebelumnya, yaitu masa pemerintahan Dinasti al-Murabitun, buku-buku yang berisi paham Asy’ariyyah dilarang beredar.
Aliran Asy’ariyyah berkembang di dunia Timur, India Afghanistan, Pakistan sampai kemudian Indonesia berkat jasa dan dukungan Mahmud Gaznawi (971-1030 M), pendiri Dinasti Gaznawi yang berpusat di India. Untuk selanjutnya, penyebaran paham Asy’ariyyah dilakukan oleh pengikutnya. Khusus di Indonesia, pemikiran Asy’ariyyah dipelajari melalui karya al-Ghazali dan al-Sanusi.
Tokoh-tokoh terpenting yang mempunyai andil dalam penyebaran aliran ini antara lain:
I. Al-Baqilani. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Abu Bakar al-Baqilani. ) Ia mempelajari ajaran Asy’ariyyah melalui dua orang gurunya, Ibnu Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili. Keduanya adalah murid al-Asy’ari.
Dalam beberapa hal terdapat perbedaan pandangan antara al-Baqilani dan al-Asy’ari. Perbedaan tersebut terutama terletak pada dua masalah pokok, sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqilani, apa yang disebut sifat oleh al-Asy’ari, bukanlah sifat, melainkan hal. Pendapatnya ini sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah. Sifat memberi pengertian sesuatu yang menetap, sedangkan hal adalah sesuatu yang tidak menetap. Adapun tentang perbuatan manusia, menurut al-Asy’ari, diciptakan oleh Allah. Dengan kata lain, daya yang ada pada diri manusia itu tidaklah efektif. Adapun menurut al-Baqilani, manusia mempunyai sumbangan yang besar dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan oleh Allah adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia. Adapun bentuk dan sifat dari gerak itu ditentukan oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu, manusia dapat mengubah gerak yang terdapat dalam dirinya ke dalam bentuk perbuatan seperti berbaring, duduk, berdiri, berjalan, dan berlari.
II. Abu al-Ma’ali Al-Juwaini. ) Beliau mempunyai nama lengkap Abd al-Malik Ibn Abdillah Ibn Yususf al-Juwaini al-Naisaburi. Ia pernah tinggal di Mekah dan Madinah selama empat tahun untuk memberikan pelajaran dan fatwa, sehingga mendapat gelar Imam al-Haramain. Bukunya yang terkenal adalah al-Irsyad (petunjuk), yang menguraikan tentang masalah fiqh Madzhab Syafi’i dengan corak paham Asy’ariyyah. Dalam hal teologi, ia tidak sepenuhnya setuju dengan pemikiran al-Asy’ari. Misalnya dalam masalah antropomorfisme. Ia berpendapat bahwa semua gambaran tentang Allah yang bersifat jasmani seperti muka, tangan, mata, wajah harus ditakwilkan. Tangan ditakwilkan dengan kekuasaan, mata diartikan penglihatan, wajah diterjemahkan dengan wujud, dan seterusnya. Dalam masalah perbuatan manusia, al-Juwaini sejalan dengan pendapat al-Baqilani, bahkan lebih moderat lagi. Ia berpendapat bahwa manusia diberi daya oleh Allah untuk mewujudkan perbuatannya. Daya itu mempunyai efek yang serupa dengan efek yang terdapat dalam kausalitas (sebab-akibat).
III. Al-Ghazali. ) Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali al-Thusi. Atas pengaruhnya, ajaran al-Asy’ari meluas di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Ia juga mengajar di Madrasah Nidzamiyyah. Melalui beberapa karyanya, ia telah membela Islam dari paham yang menyesatkan seperti paham Batiniah, ) sehingga ia mendapat gelar Hujjah Islam. Berbeda dengan al-Baqilani dan al-Juwaini, seluruh pendapat al-Ghazali seirama dengan pemikiran al-Asy’ari. Dengan demikian dapat dikatakan ia kembali pada pendapat al-Asy’ari yang asli dengan memberikan argumen yang lebih kuat.
IV. Al-Sanusi. Beliau mempunyai nama lengkap Abu Abdillah Muhammad Ibn Yusuf al-Sanusi (833-895 H/1427-1490 M). Penyebaran konsep teologinya tentang sifat Allah dan sifat Rasul sangat populer di Indonesia. Ia membagi sifat Allah dan sifat Rasul menjadi tiga bagian: sifat wajib, sifat mustahil, dan sifat jaiz. Sifat wajib dan sifat mustahil bagi Allah ada dua puluh dan sifat jaiz hanya ada satu. Sifat wajib bagi Allah masih dikelompokkan lagi ke dalam tiga bagian: sifat nafsiah (sifat yang berdiri pada dzat Allah), sifat salbiah (sifat yang membedakan dzat Allah dengan lainnya), dan sifat ma’ani (sifat yang abstrak). Adapun sifat wajib dan sifat mustahil bagi Rasul ada empat, dan sifat jaiznya hanya ada satu.

Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi )
Abu Mansur Muhammad al-Maturidi belajar ilmu pengetahuan pada paruh kedua abad ke-3 hijriah. Pada saat itu terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Mu’tazilah dan para ulama karena pendapat Mu’tazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi adalah pengikut setia Abu Hanifah (Imam Hanafi) yang terkenal ketat dengan keabsahan pendapat akal. Lagi pula ia dibesarkan di daerah samarkand. Di daerah ini hadits tidak berkembang. Kondisi seperti ini mengakibatkan al-Maturidi memakai pertimbangan akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan. Pemikiran-pemikiran al-Maturidi bertujuan untuk membendung paham Mu’tazilah seperti juga aliran asy’ariyah. Namun sebagaimana terlihat dalam ajarannya, tidak seluruh pemikirannya bertentangan dengan paham Mu’tazilah, bahkan dalam berbagai hal pendapat-pendapatnya memiliki banyak persamaan, sehingga teologi al-Maturidi seringkali disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan asy’ariyah”.



Mengenai masalah keadilan Allah SWT, al-Maturidi menekankan bahwa kemerdekaan dan kemauan ada pada manusia dan bahwa Allah SWT tidak sewenang-wenag menjatuhkan hukuman, melainkan berdasarkan kemerdekaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia untuk berbuat baik atau jahat. Pada hakikatnya, dalam suatu perbuatan, yakni perbuatan Allah SWT (khalq al-istita’ah = menciptakan kemampuan) dan perbuatan manusia (isti’mal al-istita’ah = menggunakan kemampuan).
Hal penting lainnya dalam teologi adalah masalah perbuatan Allah SWT yang mencakup:
1. Kewajiban Allah SWT untuk berbuat baik dan terbaik. Menurut al-Maturidi, setiap perbuatan Allah SWT mengandung hikmah dan tujuan, tetapi hal itu bukanlah kewajiban Allah SWT
2. Pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Maturidi tidak menerima hal yang diyakini oleh Asy’ariyah tersebut. Ia berpendapat bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatan, bukan Allah SWT.
3. Pengiriman rasul-rasul. Menurut al-Maturidi, wajib bagi Allah SWT mengirim rasul-rasul kepada manusia karena Allah SWT menciptkan akal manusia yang mempunyai kemampuan terbatas. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan “wahyu kepada rasul-rasul-Nya sehingga manusia mengetahui segala hal mengenai Allah SWT dan alam gaib, dan
4. Perbuatan menepati janji serta menjalankan ancaman. Dalam pandangan al-Maturidi, Allah SWT wajib menepati janji dan ancaman-ancaman-Nya karena jika tidak dilakukan-Nya, akan bertentangan dengan kebebasan memilih yang ada pada manusia. Dalam hal ini, ia berbeda pendapat dengan aliran Asy’ariyah yang mengatakan bahwa Allah SWT bisa saja tidak menepati janji-janji-Nya, sehingga Ia bisa saja memasukkan orang jahat ke dalam surga dan memasukkan orang baik ke dalam neraka.
Al-Maturidi banyak mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai karya tulis. Kebanyakan karya tulisnya berbentuk manuskrip (makhtutati), sehingga kurang dikenal oleh umat Islam. Karya-karyanya antara lain Kitab at-Tauhid, Kitab takwil Al-Qur’an, Kitab Ma’khaz asy-Syara’I, Kitab al-Jadl, Kitab al-Ushul fi Ushul ad-Din, Kitab al-Maqolat fi al-Ahkam, Kitab Radd Awa’il al-Adillah al-ka’bi, Kitab Radd Tahzib al-jadl li al-Ka’bi. Dan lain-lain.
Murid-Murid Dan Para Pengikut Al-Maturidi
Al-Maturidi mendirikan lembaga pendidikan di daerahnya. Dari sekoloh tersebut muncul tokoh-tokoh yang menyebarluaskan faham al-maturidi. Di antara murid-muridnya yang paling terkenal adalah lima orang;
1. Abu Qasim Ishak bin Muhammad, yang menjadi hakim terkenal di Samarkand (wafat, 342 H.)
2. Abu al-Hasan Aly ar-Rustaghfani
3. Abu Muhammad Abdul Karim al-Bajdawi (wafat, 390 H.)
4. Abu Abdur Rahman bin Abi Layts al-Bukhori,dan
5. Abu Ahmad bin Abi Nashr al-‘Iyadhi.

Adapun tokoh-tokoh besar yang menganut faham Maturidiyah sangat banyak, di antara mereka adalah:
1. Abu al-Yasr al-Bazdawi(421-493 H.)
2. Abu al-Mu’ayyan an-Nasafi (438-508 H.)
3. Najmuddin Umar an-Nasafi (461/462-537 H.)
4. Sirajuddin Ali bin Usman al-awsyi al-Farghani (wafat,569 H.)
5. Nuruddin Ahmad bin Muhammad ash-Shobuni (wafat,580 H.)
6. Syamsuddin Abu Umar Muhammad bin Abi Bakr ar-Rozi (wafat, 660/666 H.)
7. Abul Barokat Abdullah bin ahmad an-Nasafi (wafat, 710 H.)
8. Abdul Qodir al-Qursyi (wafat, 775 H.)
9. Sa’duddin Mas’ud bin Umar at-taftazani (wafat, 792 H.)
10. Al-Kamal bin al-Hamam (788/790-861 H.)
11. Abul Adl Qosim bin Quthlubga (wafat, 879 H.)
12. Mala Ali al-Qori (wafat, 1014 H.), dan lain-lain.

Maturidiyah saat ini
Faham Maturidiyah mengalami masa perkembangan yang sangat pesat pada masa pemerintahan Usmaniyah (700 – 1300 H.), di mana patokan fiqhnya adalah Hanafiyah dan akidahnya Maturidiyah. Dengan demikian maka terbitlah buku-buku karangan tentang ilmu kalam berfaham Maturidiyah yang selanjutnya menyebarluaskan faham tersebut ke kawasan timur dan barat. Pusat terbesar Maturidiyah terdapat di India setelah mendapat pengukuhan dari raja-raja Samaniyyun, akan tetapi yang sangat berperan besar dalam berkembangnya faham Maturidiyah di India adalah jama’ah ad-Dayubundiyah yang didirikan pada tahun 1283 H dan dipimpin oleh Syaikh Muhammad qosim an-Nanuti (wafat, 1297 H.). Jama’ah inilah yang memegang peran penting dalam perkembangan Maturidiyah sehingga sampai ke daerah Pakistan dan Bangladesh serta tetangganya Afghanistan dan Cina.
Di Mesir, faham maturidiyah sangat terasa. Universitas al-Azhar, Kairo senantiasa memasukkan pelajaran faham Maturidiyah dalam kurikulumnya, seperti kitab Syarh al-‘Aqaid an-Nasafiyah. Bahkan satu pendapat mengatakan bahwa Profesor Muhammad Abduh adalah menganut faham Maturidiyah.
Sebagian peneliti sejarah menegaskan bahwa faham maturidiyah saat ini telah menyamai faham-faham besar kaum muslimin. Doktor Muhammad Ali mengatakan; “Pada masa lalu pengaruh Madzhab Asy’ary sangat terasa bagi mayoritas kaum muslimin, namun saat ini terlihat bahwa mayoritas Ulama Ahlussunah saat ini dipengaruhi oleh faham Maturidiyah. )
Madzhab al-Maturidiyah
1. Mengetahui Allah SWT dan dalil Ada-Nya. Al-Maturidiyah berpendapat bahwa jalan untuk mengetahui Allah adalah dengan akal, berbeda dengan Asy’ariyah yang berpendapat bahwa ma’rifatullah adalah dengan syara’/wahyu sehingga seseorang tidak diwajibkan beriman dan tidak dihukumi kafir sebelum adanya pemberitahuan syara’, berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul”.(Q. S al-Isra:15)
Dan firman Allah:
Artinya: “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka”. (Q.S. al-Qashash: 59).
Al-Maturidiyah mewajibkan adanya ma’rifattullah melalui akal sehingga seseorang dengan akalnya bisa berpikir bahwa alam semesta ini mempunyai Pencipta walaupun kepadanya belum datang wahyu.
Dalil-dalil adanya Allah. Mengenai dalil tentang adanya Allah, pendapat al-Maturidiyah sama dengan Asy’ariyah. Ia mengatakan; barang siapa mengingkari akan adanya Zat yang membuat, maka harus dibicarakan dengannya tentang ketetapan barunya alam dan membutuhkannya alam kepada Pencipta yang Esa. Al-Kindi, ahli filsafat pertama pertama, dalam hal ini berpendapat sama dengan al-Maturidiyah.
2. Wahdaniyat (keesaan Allah). Pengertian wahdaniyat adalah, bahwa Tuhan yang berhak untuk disembah bukan hanya Esa dalam bilangan saja, tetapi juga dalam Zat, keagungan dan keluhuran serta tidak ada satupun makhluk yang menyerupai-Nya.
Dalil-dalil keesaan Allah. Al-Maturidiyah menegaskan bahwa Pencipta Alam adalah Allah SWT, Zat yang Esa. Dalil-dalil yang menunjukkan kepada hal tersebut adalah:
a. Dalil Sam’i dan Naqly.
b. Dalil Lughowi
c. Dalil al-Mutanahi dan La Mutanahi
d. Dalil tidak adanya pemberitahuan tentang jumlah bilangan Tuhan
e. Dalil menyampaikannya Rasul tentang keesaan Tuhan, dan
f. Dali at-Tamanu’ .
3. At-Tanzih. Dengan adanya keesan Allah, maka sekaligus dipastikan bahwa Allah SWT tidak ada yang menyerupai-Nya karena dalam keserupaan terdapat penghilangan sifat wahdaniyah. Allah SWT adalah Zat yang Esa, berdiri sendiri, tidak ada musuh dan tidak ada teman bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Syura ayat 11;
Wahdaniyah menurut al-Maturidiyah merupakan dalil tidak adanya tasyabuh dan keserupaan terhadap Allah SWT.
4. Nama-nama dan sifat-sifat Allah
A. Nama-nama Allah. Al-Maturidiyah menetapkan semua nama-nama yang terdapat dalam Asmaul husna sebagai nama-nama Allah, karena nama-nama tersebut tidak menimbulkan Tasyabuh. Allah SWT memiliki nama-nama Zat seperti Ar-Rahman dengan dasar apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan ucapan para Rasul. Al-Maturidiyah, dalam masalah nama-nama Allah sepakat dengan semua ulama ahlussunah, tidak boleh menamai Allah dengan nama-nama yang tidak disebutkan dalam syara’ .



B. Sifat-sifat Allah. Menurut Ahmad al-Haroby, sifat-sifat khobariyah yang ditetapkan al-Maturidiyah ada delapan, yaitu; Qudrat, Ilmu, Iradat, Sama', Bashar, Kalam dan Takwin. Imam Syamsu al-Afghani mengatakan bahwa ulama al-Maturidiyah menghitung smua sifat-sifat Allah SWT sebanyak 21 tanpa tambahan. Menurut al-Maturidi, sifat Tuhan bukanlah zat Tuhan, melainkan Zat Tuhan itu sendiri (laysa syai’an gair az-zat). Maksudnya, antara lain allah SWT mengetahui bukan dengan Zat-Nya, melainkan dengan pengetahuan-Nya dan Allah SWT berkuasa bukan dengan zat-Nya, tetapi berkuasa dengan kekuasaan-Nya.
5. Kalam Allah SWT. Al-Maturidi berpendapat bahwa al-Qur’an (kalam Allah) terbagi dalam dua bentuk. Pertama, kalam nafsi, yaitu kalam yang ada pada Zat Allah SWT dan bersifat kadim (terdahulu), bukan dalam bentuk huruf dan suara. Kalam ini menjadi sifat Allah SWT sejak dahulu kala. Manusia tidak dapat mengetahui hakikat-Nya, bahkan Nabi Musa AS pun tidak mendengar kalam Allah SWT yang sebenarnya, tetapi ia hanya mendengar suara yang menyatakan isi kalam itu. Kedua, kalam yang terdiri dari huruf dan suara, yang disebut mushaf (kumpulan lembaran).
Abu Mansyur al-Maturidi menetapkan bahwa Allah SWT memiliki sifat Kalam dengan dali naqli dan aqli. Adapaun beberapa dalil naqli yang menunjukkan bahwa Allah SWT mempunyai sifat kalam adalah:
Artinya: "Dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung".(Q. S an-Nisa':164).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah SWT adalah Zat yang berbicara walaupun terdapat perbedaan dalam masalah kalam-Nya tersebut.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
Artinya: "padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah".(Q.S. al-Baqarah:75)
Adapun dalil adanya sifat kalam dari segi logika, menurut al-Maturidi adalah bahwa setiap Zat yang mengetahui dan berkuasa pasti bisa berbicara, jika tidak, maka hal tersebut menunjukkan kelemahan dan Allah SWT tidak mungkin memiliki sifat lemah.
6. Interpretasi sifat-sifat Khabariyah. Sehubungan dengan masalah tajassum (antropomorfisme), dalam al-Qur’an terdapat kata-kata seperti wajh Allah (wajah Allah), yad Allah (tangan Allah), dan ain Allah (mata Allah). Menurut al-Maturidi, kata-kata itu bermakna kekuasaan Allah SWT karena Allah SWT tidak mungkin mempunyai badan meskipun dalam arti yang tidak sama dengan badan makhluk. Badan itu tersusun dari substansi (jauhar) dan bentuk. Oleh karena itu, al-Maturidi berpendapat bahwa kata-kata tersebut harus ditakwilkan.
Yang dimaksud dengan sifat khabariyah di sini adalah suatu kalimat yang tidak ada penetapan arti secara pasti dari naqli sementara akal tidak mungkin bisa menetapkan arti tersebut. Prinsip al-Maturidi dalam mengartikan sifat-sifat Allah SWT seperti kata al-maji', al-ityan, al-istiwa' adalah dengan menginterpresantikannya kepada arti-arti lain dengan penjelasan sebagai berikut;
a. Al-Maji' dan Al-Ityan.
Sebagian dari ayat-ayat al-Qur'an yang ditakwil oleh al-Maturidi adalah:
- Surat al-Fajr ayat 22:
Artinya: “Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris”.
Menurut al-Maturidi, dalam ayat tersebut terdapat tambahan kata bil-mulki.
- Surat al-Baqarah ayat 210:
Artinya: “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan”.
Kalimat "datangnya Allah" dalam ayat tersebut ditakwil dengan "perkara Allah".
b. Al-Makan, al-'Uluw dan al-Istiwa' atas 'Arsy
Abu Mansyur al-Maturidi sembagi pendapat para ulama kalam mengenai kata-kata di atas kepada tiga golongan;
a) menetapkan bahwa Allah SWT bersemanyam di atas arsy. Dan arsy menurut golongan ini, arsy tersebut adalah sebuah ranjang yang dipikul oleh para Malaikat. Yang termasuk dalam golongan ini adalah ulama-ulama salaf, empat imam madzhab terutama imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Khuzaimah serta ulama-ulma salaf mutaakhirin seperti Ibnu Taymiyah dan muridnya Ibnu al-Qayyim. Pendapat mereka didasarkan pada beberapa firman Allah yang di antaranya adalah:
Artinya: "Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka".(Q. S al-Haqqah: 17).
Artinya: "Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-mmlaikat berlingkar di sekeliling Arsy".(Q. S al-Zumar: 75).
b) Golongan kedua berpendapat bahwa Allah SWT bertempat dalam semua tempat. Ini adalah pendapat sebagian ulama-ulama Mu'tazilah seperti al-ka'ba. Mereka mendasarkan pendapatnya tersebut pada beberapa firman Allah SWT. Di antaranya adalah:
Artinya: "Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya”.(Q.S al-Mujadalah: 7).
Artinya: "Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya". (Q. S Qaaf: 16).
c) Golongan ketiga berpendapat dengan menghilangkan sifat-sifat bertempat Allah SWT, begitu juga dengan adanya tempat-tempat yang ditempati Allah SWT yang kesemuanya hanya berupa kiasan bahasa saja. Ini adalah pendapat mayorita ulama-ulama Mu'tazilah yang selanjutnya menjadi pendapat al-Maturidi. Menurut al-Maturidi, Allah SWT ada dan sama sekali tidak bertempat dimanapun, boleh menghilangkan tempat-tempat atau menetapkannya, Dia maha agung dari sifat berubah, sirna, mustahil dan kebatilan, karena hal-hal tersebut adalah beberapa tanda akan barunya alam semesta dan indikasi kerusakan. Sedangkan Allah SWT maha suci dari sifat-sifat tersebut.
7. Melihat Allah
Salah satu hal penting dalam teologi adalah melihat Allah SWT di akhirat nanti sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an, surat al-Qiyamah ayat 23 yang artinya: “kepada Tuhannyalah mereka melihat.” Menurutnya, peristiwa itu benar-benar terjadi di akhirat nanti karena Allah SWT sebagai wajib al-wujud (wajib wujudnya) tentu dapat dilihat dengan mata kepala, bukan dengan mata hati (dalam ayat 23 kata nazirah/melihat disebut sesudah kata wujuh atau muka dalam ayat 22, sedang muka adalah tempat mata). Lebih jauh ia menjelaskan bahwa melihat Allah SWT itu nanti terjadi dalam keadaan yang sesuai dengan keadaan yang sesuai dengan keadaan hari kiamat, sehingga manusia tidak dapat mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi.
Dalam masalah ini, al-Maturidi sangat sependapat dengan mayoritas ulama ahlussunah. Ia menegaskan bahwa melihat Tuhan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Ia mengajukan beberapa dalil naqli dan 'aqli. Di antara dalil-dalil naqli yang menunjukkan akan terjadinya melihat Tuhan adalah:
i. Firman Allah SWT dalam surat al-An'am ayat 103:
Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui”.
Satu hal yang menjadi pertanyaan mengenai ayat ini adalah, penetapan kandungan arti yang menegaskan bahwa Allah SWT tidak akan bisa terlihat dari semua penglihatan. Namun al-Maturidi menggunakan ayat ini sebagai dalil pertama yang menunjukan akan melihat Tuhan. Menurutnya, jika kandungan makna ayat adalah tidak bisa dilihatnya Allah SWT, maka tidak ada faedah dalam penyebutan ketidakadaan melihat tersebut kecuali adanya melihat. Maka dihilangkannya penglihatan makhluk kepada Allah menunjukkan akan adanya melihat Allah SWT .
ii. Surat al- A’raf ayat 143:
Artinya: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau".
Jika melihat Allah SWT adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan, maka permintaan Nabi musa tersebut adalah permintaan bodoh yang bertentangan dengan sifat kerasulannya. Sedangkan Allah SWT membenarkan Rasul dengan wahyu-Nya. Bahkan Allah SWT menjawab:
Artinya: "Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku".
Ketujuh permasalahan di atas adalah hal-hal yang sangat menonjol dalam pendapat-pendapat aliran Abu mansyur al-Maturidi. Aliran al-Maturidi bisa dikatakan sebagai sebuah aliran moderat yang pendapat-pendapatnya berada di antara aliran Mu'tazilah dan Asy'ariyah. Selain Abu Mansyur al-Maturidi, dalam aliran al-Maturidiyah terdapat imam Muhammad al-Bazdawi yang sebetulnya adalah penganut paham Abu Hasan al-Maturidi, tetapi dalam beberapa pendapatnya banyak yang bertentangan dengan Abu Mansyur al-Maturidi dan lebih cenderung kepada aliran Asy'ariyah, sehingga para ulama menjulukinya dengan al-Maturidi Bukhara, sementara Abu mansyur al-Maturidi dijuluki al-Maturidi Samarkand.












SIMPULAN
Dari pemaparan dua aliran yang digolongkan sebagai imam ahlussunah dalam bidang teologi, kita mendapati begitu banyak kontradiksi pendapat antara al-Maturidiyah dan Asy'ariyah. Meski secara umum pendapat kedua aliran ini hampir sama, tetapi terdapat perbedaan yang sangat substansial, yaitu paa masalah titik tolak pemikiran keduanya. Ketika Abu Mansyur dalam berbagai pendapatnya lebih mengedepankan akal atau logika, maka Abu Hasan al-Asy'ari lebih mengutamakan wahyu sebagai patokan dalam berbagai pendapatnya. Untuk lebih jelasnya kita bisa melihat peran wahyu dan akal pada kedua aliran tersebut dalam table di bawah ini.
Konsep Pemikiran Al-Asy'ari Al-Maturidi
Mengetahui Tuhan Akal Akal
Kewajiban mengetahui tuhan Wahyu Akal
Mengetahui baik dan buruk Wahyu Akal
Kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk Wahyu Wahyu
Dari table di atas jelas terlihat akan kecenderungan al-Asy'ari terhadap wahyu dan substansi pemikiran al-Maturidi terhadap akal. Namun demikian, kedua aliran ini sama-sama lahir untuk menentang arus pemikiran Mu’tazilah dengan perbedaan, jika al-Asy'ari sebelumnya adalah penganut paham Mu’tazilah yang selanjutnya berbalik menentangnya, sedangkan al-Maturidi sebelumnya tidak mengetahui secara mendetail tentang Mu’tazilah.
Dalam menyikapi beberapa perbedaan aliran dalam teologi, hendaknya kita bersikap obyektif dan tidak asal mengikuti suatu aliran karena mendengar bahwa itu adalah aliran yang paling baik, atau karena adanya suatu doktrin dan paradigma berpikir bahwa hanya satu aliran teologi yang benar sementara yang lainnya salah. Tetapi sudah selayaknya kita meninjau ulang apakah aliran teologi tersebut layak atau tidak. Dan menurut hemat kami, setelah mengkaji secara mendalam dan menghabiskan waktu yang cukup lama melalui pemikiran seobyektif mungkin, dari semua aliran teologi, yang paling layak dan tidak bertentangan baik secara sudut pandang wahyu maupun akal adalah kedua aliran yang dianut oleh para ulama ahlusunnah, yaitu aliran al-Maturidiyah dan al-Asy'ariyah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fayumi, Dr. Muhammad Ibrahim. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah as-Siyasi wad-din, al-Kitab al-Sadis, Syaikh Ahl al-Sunah wa al-Jama'ah Abu Mansyur al-maturidi Wahdatu Ushuli 'Ilmi al-Kalam, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 2003.
Al-Fayumi, Dr. Muhammad Ibrahim. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah as-Siyasi wad-din, al-Kitab al-Khamis, Syaikh Ahl al-Sunah wa al-Jama'ah Abu Hasan al-Asy'ary Wahdatu Ushuli 'Ilmi al-Kalam, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 2003.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Fuad, Abd al-Fatah Ahmad. al-Maturidi-farqu al-islamiyah wa Ushuliha al-Imaniyah, Iskandariyah: Dar al-wafa' li dunia al-Thiba’ah wa al-Nasry, 2002.
Mazru’ah, Dr. Mahmud Muhammad. al-Firaq al-Islamiyyah, al-Jizah: Dar al-Ridla, 2003.

0 Response to "ASY’ARIYYAH DAN MATURIDIYAH"

Posting Komentar