AL-JUBBA’I

Sekilas riwayat hidupnya.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Abd. al-Wahab al-Jubba’I, lahir pada tahun 235 H dan wafat tahun 303 H. sebutan al-Jubba’I diambil dari nama satu tempat, yaitu Jubba, di propinsi Khusestan (Iran), tempat kelahirannya.


Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, tokoh utama aliran Ahlussunnah. Al-Jubba’I berguru kepada Abi Ya’qub al-Syahhab dan Mutakallimin lain yang sezamannya. Ia banyak menulis tentang tantangannya terhadap orang-orang yang menolak pendapat Mu’tazilah dan juga tentang tafsir al-Qur’a>n. Akan tetapi tulisannya yang mamuat pemikiran-pemikirannya dan tafsiran-tafsirannya terhadap al-Qur’a>n tidak sampai kepada kita. Menurut dugaan, pikiran itu banyak diambil oleh al-Zamakhsyari.

Pemikirannya
Pendapat al-Jubba’I tentang sifat tuhan tidak berbeda dengan pendapat tokoh-tokoh Mu’tazilah lainnya, yaitu sama-sama tidak mengakui adanya sifat qadim yang melekat pada zat tuhan yang qadim. Oleh karena itu mengenal ilmu tuhan ia mengemukakan : Al-Bari Ta’ala mengetahui dengan EsensiNya, berkuasa dan hidup dengan esensiNya. Artinya Tuhan akan sesuatu tidak bergantung kepada sifat, yaitu sifat Ilmu, atau tidak bergantung kepada keadaan yang membuat Tuhan jadi berilmu.
Tuhan benar-benar selalu mengetahui segala sesuatu, baik jauhar maupun a’radh. Sesuatu benar-benar diketahui Tuhan sebadai sesuatu sebelum adanya dan dinakan sesuatu sebelum adanya. Jauhar dinamakan jauhar sebelum adanya dan demikian pula gerak, diam, warna, rasa, bau, taat dan maksiat.
Tuhan Samii’ dan Bashiir.
Tokoh-tokoh Mu’tazilah Bagdad berpendapat bahwa tuhan senantiasa punya pendengaran (samii’), penglihatan (bashiir), mendengar (saami’), melihat (baashir), Dia mendengar suara dan pembicaraan (kalam). Artinya , Tuhan mengetahui suara dan pembicaraan dan semuanya itu tidak luput dari Tuhan. Dalam hal ini al-Jubba’I mengemukakan : Tuhan senantiasa punya Pendengaran (samii’) dan penglihatan (bashiir). Dia menolak pendapat yang mengatakan bahwa Tuhan senantiasa mendengar dan melihat (saami’ dan baashir) karena mendengar dan melihat menuntut adanya yang didengar dan yang dilihat. Apabila yang didengar dan yang dilihat itu tidak mesti selalu ada, maka Tuhan juga tidak mesti selalu mendengar dan melihat. Adanya pendengaran dan penglihatan tidak menuntut adanya yang didengar dan yang dilihat. Karenanya, terhadap orang yang sedang tidur dapat dikatakan bahwa dia punya pendengaran dan penglihatan (samii’ dan bashiir) dan tidak dapat dikatakan dan senantiasa mendengar dan melihat (saami’ dan baashir).
Menurut al-Jubba’I, Iradat (kehendak) Tuhan muncul tidak mengambil tempat. Tuhan berkehendak dengan Iradat itu. Apabila Tuhan berkehendak membesarkan DIRI-Nya dan menghancurkan alam tidaklah bertempat.

Pendapat al-Jubba’I tentang kalam;
Ia mengemukakan bahwa : Hakekat kalam adalah suara yang terputus-putus dan huruf-huruf yang tersusun. Mutakallimin adalah orang yang mencirtakan kalam, bukan orang yang padanya ada kalam. Selanjutnya ia mengemukakan ; Tuhan menjadikan kalam bagi pembaca pada bacannya. Karena itu jelaslah bahwa yang dibaca dan yang didengar itu bukanlah kalam Allah.
Dari keterangan di atas, dapatlah dipahami bahwa al-Jubba’I menafikan kalan dari Tuhan dan hanya dapat menerima kalau Tuhan itu Mutakallimin. Karena, kalau Tuhan itu punya kalam maka samalah Ia dengan makhluk. Ini jelas bertentangan dengan ajaran pokok Mu’tazilah.
Tentang al-Qur’a>n, al-Jubba’I mempunyai pendapat yang sama denga Abu Huzail al-‘allaf. Al-Qur’a>n adalah ciptaan Alah, dapat ditemukan di beberapa tempat pada waktu yang bersamaan. Al-Qur’a>n terdapat pada bacaan seseorang di waktu ia membacanya, pada tulisannya di waktu ia menuliskannya dan pada hafalannya pada waktu ia menghafalnya.
Pendapat tentang fungsi dan kemamapuan akal pada hakekatnya juga tidak berbeda dengan pendapat tokoh Mu’tazilah lainnya, yaitu sma-sama memandang akal sebagai suatu kemampuan yang istimewa. Manusia dengan akalnya mampu dan wajib mengetahui dan bersyukur terhadap Tuhan, mengetahui dan berbuat baik serta mengetahui dan menjauhi perbuatan buruk. Dia menerima ketentuan akal (shari’ah akliah) dan menolak shari’at nabawiyah yang tidak dapat diterima akal. Ajaran yang dibawa Nabi (shai’ah nabawiyah) diperlukan untuk mengenal besarnya balasan dan hukuman terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Akal manusia hanya dapat mengetahui bahwa orang yang patuh pada Tuhan akan mendapat upah dan bahwa orang yang melawan Tuhan akan mendapat hukuman. Tetapi berapa besarnya upah atau hukuman itu diketahui manusia hanya melalui wahyu.
Al-jubba’I juga mempunyai ajaran tentang al-shalah wa al-ashlah. Tuhan wajib berbuat yang baik-baik bagi manusia. Tuhan tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan manusia. Sehubungan dengan ajarannya tentang salah wa al-aslah ini, maka ia mendapat tantangan dari muridnya Abu Hasan al-asy’ari dan terjadi perdebatan di antara mereka, yaitu sebagai berikut:
Al-Asy’ari : bagaimana pendapat anda tentang orang mukmin, orang kafir dan anak kecil.
Al-Jubba’I : Orang mukmin mendapat derajat yang tertingi dalam sorga, orang kafir celaka masuk neraka dan anak kecil termasuk yang selamat.
Al-asy’ari : jika anak kecil berkeinginan mencapai derajat yang tertinggi (setelah mati) apakah itu nungkin?
Al-Jubba’I : Tidak mungkin, Tuhan akan berkata padanya : orang mukmin memperoleh derajat yang tertinggi dengan melaksanakan ketaatan, sedangkan engkau tidak.
Al-asy’ari : Anak kecil akan berkata, itu bukan karena kehendakku. Kalu Tuhan menghidupkan aku sampai dewasa tentu aku akan berbuat ketaatan sebagai mana orang mukmin itu.
Al-Jubba’I : Tuhan akan menjawab, Aku lebih tahu. Kalau Aku hidupkan engkau sampai dewasa, engkau akan berbuat durhaka, maka engkau akan Aku siksa. Aku memilih yang terbaik bagi engkau dan aku matikan engkau sebelum dewasa.
Al-Asy’ri : Kalau orang kafir berkata; Ya Tuhan, Engkau mengetahui keadaanku sebagaimana Engkau mengetahui keadaan anak kecilitu. Kenapa Engkau tidak memilihka yang terbaik buatku sebagai mana yang Engkau lakukan buat anak kecil itu.
Maka terdiamlah aj-Jubba’I dan dia tidak lagi memunculkan jawaban lain.
Dalam perdebatan ini terlihat al-Jubba’I memang dikalahkan oleh al-Asy’ari, tetapi bukan berarti bahwa al-Jubba’I menerima pendapat Asy’ari dan menunggalkan pendapatnya tentang kewajiban Tuhan memperbuat suatu yang terbaik bagi manusia.
Kesimpulan
Al-Jubba’I adalah salah satu tokoh Mu’tazilah, beliau juga salah satu guru dari Abu Musa Al-Asy’ari seorang tokoh / pendiri Ahlussunnah yang dengan nama alirannya “Aliran aAl-Asy’ariyah”.
Al-Jubba’I mempunyai pemikiran seperti halnya pemikiran aliran Mu’tazilah. Beliau meninggal pada tahun 303 H, Pada usia 68 tahun .
DAFTAR PUSTAKA
• Hanafi, A. Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Jayamurni, 1974.
• Al-Rahman Badawi, Abd. Madhahib Al-Islamiyyin, Juz. I, Beirut: Dar al-‘Ilmi li> al-Maliyyin, 1971.
• Abu al-Fath Muhammad bin Abd. al-Karim bin Abi Bakr Ahmad al-syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, juz I, cet.2. Beirut: Dar al-Ma’rif, 1975.
• Abu zahrah, Muhammad. Ta>ri>kh al-Madhahib al-Islamiyah, Juz. I. Cairo: Dar al-Fikri al-‘Arabiy, 1956.
• Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, cet. 2, Jil. I. Jakarta: UI Press, 1979.

0 Response to "AL-JUBBA’I"

Posting Komentar