AHLUL QURAN VERSUS AHLUL HADITS

I. Pendahuluan
Ahlul Quran adalah sebutan bagi sekelompok orang yang tidak mengakui kehujahan hadits, baik secara mutlak maupun dengan batasan-batasan tertentu. Secara global gerakan ini terbagi menjadi dua periode: 1. Klasik (antara abad 8 sampai 19 M) yang dimotori oleh Mu’tazilah , atau Khawarij dan Zindik . 2. Modern (mulai abad 19 M). Di antara tokohnya adalah Taufiq Sidqi dari Mesir (w. 1920), Ghulam Ahmad Parves dari India (lahir 1920), Dr. Rasyad Khalifa dari Mesir yang kemudian menetap di Amerika, dan Kassim Ahmad dari Malaysia.

Di Indonesia terkenal beberapa nama antara lain: Abdul Rahman, Muhammad Irham, Sutarto, dan Lukman Sa’ad yang menimbulkan banyak reaksi dari berbagai kalangan sehingga keluarlah Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep 169/J.A./1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan gerakan Ahlul Quran di seluruh wilayah Indonesia.
Ahlul Hadits merupakan sebutan bagi orang yang mendukung dan mengakui kehujahan hadits sebagai dasar hukum kedua setelah al-Quran. Di antara tokohnya adalah: Umar Ibn Abdul Aziz (w. 104 H/720 M), Imam Syafi’i (w. 204 H/820 M).
II. Pembahasan
a. Hadits/Sunnah dalam perspektif Ahlul Quran , dalil dan argument mereka
Dalam menyikapi hadits/sunnah, Ahlul Quran berpendapat bahwa hadits/sunnah adalah ajaran palsu yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad. Ajaran palsu ini muncul pada abad II H, dengan pemrakarsa Imam Syafi’i . Oleh karena itu, -menurut mereka- hadits tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum dan teologi. Penolakan mereka terhadap hadits sebagai sumber hukum dan teologi bukan berarti mereka tidak mengakui eksistensi hadits sama sekali, akan tetapi mereka tetap mengakui bahwa hadits itu ada. Kassim Ahmad, salah seorang Ahlul Quran, menjelaskan bahwa perintah dan keputusan Nabi Muhammad -sebagai pemimpin masyarakat Islam- sebagaimana yang termaktub dalam piagam Madinah, surat perjanjian dan lain-lain merupakan hadits yang shahih. Namun, hadits ini hanya merupakan contoh dan bersifat tidak mengikat sebagaimana al-Quran .
Penolakan Ahlul Quran terhadap hadits sebagai sumber hukum dan teologi berdasarkan beberapa alasan, sebagai berikut:
 Al-Quran merupakan kitab yang lengkap, sempurna dan terperinci. Allah berfirman:
•       ..................... 
Artinya: “Tiadalah kami melewatkan sesuatupun dalam al-Kitab….” . (Q. S al-An’am: 38).
Oleh karena itu, al-Quran tidak memerlukan kitab lain yang menyempurnakan dan melengkapinya.
 Tugas Nabi Muhammad hanyalah menyampaikan al-Quran, tidak lebih dari itu. Allah berfirman:
•            
Artinya: “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu perlihatkan dan apa yang kamu sembunyikan”. (Q. S al-Maidah: 99).
 Di dalam al-Quran tidak ada satupun kata “sunnah” yang mempunyai arti perilaku atau tabiat Nabi, bahkan dalam beberapa ayat, kata “sunnah” berarti sistem Allah, seperti firman Allah:
•          •  
Artinya: “(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan kami itu”. (Q. S al-Isra’: 77).
Demikian halnya dengan kata “hadits”. Di dalam al-Quran, kata “hadits” digunakan sebanyak 28 kali, hanya satu yang mempunyai arti perkataan atau perbuatan Nabi, yaitu firman Allah:
  •     ...................................
Artinya: “Dan ingatlah ketika nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa……”. (Q. S al-Tahrim: 3).
Namun, yang dikehendaki dari kata “hadits” ini bukanlah hadits sebagaimana yang didefinisikan oleh Ahlul Hadits .
 Hadits hanyalah merupakan persepsi serta pendapat manusia yang tidak terjamin kebenarannya.
 Ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji bukan bersumber dari hadits, akan tetapi merupakan ritual turun-temurun yang berdasarkan pada ajaran Nabi Ibrahim . Allah berfirman:
      •        •    
Artinya: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) -di antara- anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Q. S al-Baqarah: 128).
b. Hadits/Sunnah dalam perspektif Ahlul Hadits, dalil dan argument mereka
Ahlul Hadits berpendapat bahwa hadits merupakan dasar hukum Islam yang menempati peringkat kedua setelah al-Quran. Menurut mereka hadits merupakan penjelas bagi al-Quran. Oleh sebab itu, kita wajib untuk mengikuti dan menjalankan hukum dan perintah yang terkandung di dalam hadits, karena taat kepada Rasulullah itu wajib. Hal ini berdasarkan dalil:
1. Al-Quran:
• Di samping taat kepada Allah, al-Quran mewajibkan kita untuk taat kepada Rasulullah dan ketaatan kita kepada Rasulullah merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada-Nya. Allah berfirman:
      ..................... 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)…….”. (Q. S al-Nisa’: 59). Allah berfirman:
•       ...................... 
Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah………”. (Q. S al-Nisa’: 80).
• Ketika kita berselisih pendapat, al-Quran mewajibkan kita untuk kembali kepada Rasulullah, bahkan apabila Rasulullah telah memutuskan sebuah hukum, maka kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali mentaati dan menjalankannya. Allah berfirman:
             ............
Artinya: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Q. S al-Nisa’: 59). Allah berfirman:
         •        ..
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”. (Q. S al-Ahdzab: 36).
2. Hadits:
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
كل أمتى يدخلون الجنة إلا من أبى، قيل: ومن أبى يا رسول الله؟ قال: "من أطاعنى دخل الجنة، ومن عصانى فقد أبى" .
Artinya: “Seluruh umatku masuk surga kecuali orang yang membangkang, salah satu Shahabat ada yang bertanya: “siapakah yang disebut orang yang membangkang wahai Rasulullah”? Nabi menjawab: “Orang yang taat kepadaku akan masuk surga, dan orang yang mendurhakaiku termasuk orang yang membangkang”. Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas disebutkan bahwa ketika haji wada’ (perpisahan) Nabi berpesan:
قد تركت فيكم ما إن إعتصيتم به فلن تضلوا أبدا: كتاب الله، وسنة نبيه.
Artinya: “Aku (Nabi Muhammad) telah meninggalkan dua hal untuk kalian, apabila kalian berpegang teguh dengan keduanya niscaya kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah (al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya” .
3. Konsensus (ijma’) para Shahabat dan generasi setelahnya.
Para Shahabat dan generasi setelahnya sepakat bahwa hadits/sunnah termasuk salah satu sumber hukum syariat, di samping al-Quran. Abd Ibn Hamid, Imam Nasai, Ibn Majah, Ibn Hibban, dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Kholid Ibn Usaid berkata kepada Abdullah Ibn Umar :
إنا نجد صلاة الحضر، وصلاة الخوف ولا نجد صلاة السفر فى القرآن!؟ فقال له (إبن عمر): "يا بن أخى، إن الله بعث إلينا محمدا صلىالله عليه وسلم ولا نعلم شيئا، فإنما نفعل كما رأينا رسول الله يفعل، وقصر الصلاة فى السفر سنة سنها رسول الله.
Artinya: “Sesunguhnya (di dalam al-Quran) kita mendapatkan dalil tentang shalat hadlar dan shalat khauf . Namun, kita tidak menemukan dalil tentang shalat qhasar di dalam al-Quran? Kemudian Ibn Umar berkata kepadanya (Kholid Ibn Usaid): Wahai keponakanku, sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi Muhammad untuk kita dan kita tidak mengetahui apapun. Kita melakukan sebagaimana yang telah dipraktekan oleh beliau. Meng-qhasar shalat saat bepergian adalah sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah”.
III. Penutup
Dari sedikit uraian di atas dapat dipahami bahwa muncul dua fiksi yang sangat kontra dalam menyikapi hadits sebagai dasar hukum, padahal mereka berpijak pada satu dalil yang sama (al-Quran). Sebagai langkah awal pembahasan tentang Ahlul Quran dan Ahlul Hadits, makalah ini telah memuat data-data yang mencukupi. Persepsi pembaca akan sangat menentukan dalam menyikapi dua kubu ini.

0 Response to "AHLUL QURAN VERSUS AHLUL HADITS"

Posting Komentar