HADITS PADA MASA RASULULLAH SAW

PENDAHULUAN
Tidak dipungkiri lagi bahwa Hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Lebih tepatnya sumber kedua setelah Al-Qur’an. Sebagai sebuah sumber ajaran, Hadits telah melalui proses sejarah yang sangat panjang, setidaknya telah melewati tujuh periode perkembangan.


Tulisan ini akan memaparkan secara umum Hadits pada periode pertama yaitu masa Rasulullah SAW, dengan fokus bahasan pada definisinya, cara penyampaian dan penerimaan, dan terakhir perkembanganya. Dengan mencoba memfokuskan bahasan pada beberapa hal di atas, penulis berharap kita akan bisa lebih memahami dan mencermati perkembangan, penulisan dan hal-hal yang terkait erat dengan Hadits, khususnya yang berlangsung selama periode ini.

PEMBAHASAN
A. SEKILAS TENTANG HADITS
Jumhur Ulama’ menyamakan arti Hadits dan Sunnah, dengan kata lain keduanya merupakan kata-kata yang murodhif (sinonim). Hanya saja ulama Hadits lebih sering menggunakan istilah Hadits sedangkan ulama Ushul fiqh lebih banyak menggunakan istilah Sunnah. 1)
Sunnah secara etimologis adalah jalan yang dilalui baik yang tercela maupun yang terpuji 2). Sedangkan secara terminologis Sunnah mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena ulama memberikan pengertian sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing 3).
 Menurut ulama ahli Hadits Sunnah adalah : Semua hal yang berasal dari Nabi baik yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun hal-hal yang lainya. Jadi menurut pengertian ini, Sunnah juga meliputi fisik semisal tubuh, rambut, jenggot, maupun perilaku Nabi dalam kehidupan sehari-hari baik sebelum ataupun sesudah beliau diangkat jadi Rasul. Mereka memandang Nabi adalah sosok suri tauladan yang sempurna bagi umat Islam, sehingga dalam pandangan mereka segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik yang ada kaitanya dengan hukum maupun tidak adalah Sunnah
 Sedangkan menurut ulama ushul fiqh adalah hampir sama, namun mereka membatasinya hanya dengan yang bisa dijadikan sebagai acuan pengambilan hukum. Hal ini disebabkan mereka memandang Nabi sebagai Syari’ (pembuat syariat) disamping Allah. Hanya saja ketika ulama ushul mengucapakan Hadits secara mutlak maka yang dimaksud adalah Sunnah qauliyah. Karena Sunnah menurut mereka mempunyai arti yang lebih luas dari Hadits, yaitu mencakup semua hal yang bisa dijadikan petunjuk hukum bukan hanya ucapan saja. 4)
 Menurut Ulama Fiqh memberikan pengertian bahwasanya Sunnah adalah suatu hal yang tingkatannya tidak sampai pada tingkatan wajib atau fardhu, artinya mendapatkan pahala bila dikerjakan namun tidak sampai mendapatkan dosa bila ditinggalkan. Mereka memandang Nabi sebagai pribadi yang seluruh perkataan dan perbuatanya mengandung hukum syara’.
 Dalam istilah teologi juga dikenal istilah Hadits yaitu untuk pengertian suatu wujud yang sebelumnya tidak ada (kebalikan dari qadim).
Sedangakan arti khabar dan atsar adalah sama dengan Hadits menurut ulama Hadits. Sebagian ulama berpendapat bahwasanya sesuatu yang berasal dari Nabi adalah Hadits sedangkan yang berasal dari selain Nabi adalah khabar. Lain lagi para fuqaha’ Khurasan mereka menyebut Hadits mauquf dengan khabar dan Hadits marfu’ dengan atsar. 5)
Sebuah Hadits harus mengandung tiga hal: matan, sanad, dan rawi. Matan secara bahasa adalah penguat atau teks. Secara istilah adalah lafadz-lafadz yang menggambarkan ma’na Hadits. Arti sanad secara bahasa adalah sandaran sedangkan menurut istilah adalah silsilah para perawi 6) yang meriwayatkan Hadits mulai dari sumber aslinya (nabi). 7)




B. METODE PENGAJARAN NABI
 Secara bertahap sebagaimana Al-Qur’an di dalam mengikis kepercayaan dan adat jahiliyah yang sesat dengan bertahap, maka Nabi dalam berda’wah juga secara bertahap. Dengan kata lain tidak langsung mengubah secara total tapi sedikit demi sedikit.
 Membuat lingkungan belajar, pada waktu permulaan da’wah beliau menggunakan rumah Shahabat Arqam bin ‘Abdi Manaf sebagai pusat berda’wah, baru setelah adanya masjid pusat da’wah berpindah ke masjid. Hal ini bukan berarti proses transfer pengetahuan hanya terbatas di majlis-majlis ta’lim, kapanpun dan dimanapun Shahabat bertanya beliau tidak pernah menolak.
 Membentuk insan yang berakhlak yang mulia, disertai dengan contoh-contoh yang nyata. Sebagaimana ditegaskan Allah beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak, maka beliau bagi umat mampu berperan sebagai sosok saudara yang santun, guru yang bijak, dan juga ayah sangat mengasihi.
 Di samping itu, di dalam menyampaikan ajaran-ajaranya beliau adalah sosok guru yang kreatif, inovatif, dan mampu menyesuaikan diri dengan lawan bicaranya, sehingga para Shahabat tidak pernah merasakan bosan ketika berdiskusi maupun mendengarkan ucapan-ucapan beliau.
 Dan terakhir, beliau sangat menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan kaum perempuan, terbukti beliau menyediakan waktu khusus unutk mengajar para wanita kaum Anshar sebagaimana yang dijelaskan oleh ‘Aisah ra.

C. CARA PENERIMAAN HADITS OLEH SHAHABAT
1. Secara lansung.
Yaitu dengan hadir dalam majlis ta’limnya, sebagaimana ucapan Shahabat Anas ibn Malik ”Ketika kami bersama Nabi kami mendengar Hadits darinya dan ketika kami akan pergi beliau mengingatkan sampai kami benar-benar hafal”. Adakalanya terjadi peristiwa yang dialami Nabi dan Shahabat menyaksikan bagaimana beliau menyikapinya seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Khalid bin Walid makan sejenis biawak yang dihidangkan kepada Nabi, padahal Nabi sendiri tidak memakanya. Maka ia bertanya “Apakah ini haram ya Rasul?” Nabi menjawab “Di negeriku tidak ada binatang ini, maka aku tidak memakanya. Makanlah .. ! sesungguhnya binatang ini halal”. Adakalanya lagi karena ada perilaku umat yang membutuhkan penjelasan dari Nabi, seperti Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad tentang larangan berjualan dengan tidak jujur. Kemudian yang terakhir karena terjadi peristiwa yang dialami Shahabat kemudian dilaporakan kepada Rasul untuk dimintakan penjelasanya sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang hukum menikahi saudara sesusuan. 8)

2. Secara tidak langsung
Hadits diterima oleh Shahabat secara tidak langsung karena adanya beberapa faktor antara lain, kesibukan yang dialami oleh Shahabat. sebagaimana kasus Umar yanag membuat kesepakatan dengan Ibnu Ziyad tetangganya untuk hadir di majlis ta’lim bergantian bila salah seorang diantara mereka berhalangan hadir. Kedua karena jauhnya tempat tinggal Shahabat sehingga mereka menerima Hadits dari tangan kedua. Ketiga adanya perasaan malu untuk bertanya sebagaimana Nabi menyuruh ‘Aisyah untuk menerangkan caranya mandi besar kepada seorang wanita yang malu bertanya sendiri kepada nabi. Keempat Nabi sendiri menghendaki untuk menyampaikanya melalui perantara.

D. PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA INI
Penyebaran Hadits sebenaranya sudah dimulai bersama-sama dengan penyebaran Al-Qur’an pada masa awal da’wah Nabi. Pada saat itu sekelompok kecil orang Islam berkumpul secara diam-diam di rumah ‘Arqam bin ‘Abdi Manaf- tempat ini dikenal dengan sebutan Daar al ‘Arqam- untuk belajar agama, beribadah dan membaca Al-Qur’an. 9) Peristiwa ini adalah titik awal penyebaran Hadits pada masa Rasul.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi penyebaran Hadits pada masa ini antara lain , semangat Nabi yang tidak pernah putus asa di dalam menyebarkan Islam, walaupun harus menghadapi hambatan dan tantangan yang tidak kecil dari orang-orang kafir, kemauan keras umat khususnya para Shahabat di dalam belajar dan mengajarkan Islam, peranan Ummahat al mu’minin dan Shahabat perempuan yang tidak kecil, terutama terkait dengan Hadits yang menerangakan tentang wanita dan rumah tangga. Di samping para delegasi yang dikirim Rasul ke wilayah-wilayah yang penduduknya belum masuk Islam.
Faktor lain yang tidak kalah besar pengaruhnya terhadap penyebaran Hadits pada masa ini adalah penaklukan kota Makkah pada tahun ke-8 H, peristiwa haji Wada’ pada bulan Dzulhijjah tahun ke-11 H, dan dan juga kedatanga para delegasi dari penjuru Arab yang menyatakan masuk Islam kepada Nabi untuk memperoleh pengetahuan tentang Islam dari beliau, semisal Dhamam bin Tsa’labah, utusan ‘Abdul Qais, utusan raja Hamir, dan lain-lainya. 10)
Terkait dengan minimnya pencatatan Hadits pada masa ini tidak bisa dipungkiri bahwasanya pengetahuan orang Arab tentang tulis-menulis di Makkah lebih banyak ketimbanag di Madinah. Hal ini dikuatkan oleh tindakan Rasulullah yang mengizinkan para tawanan perang Badar untuk menebus diri dengan mengajar orang-orang Madinah. Bukti lain adalah para penulis wahyu di zaman Nabi yang jumlahnya mencapai 40 orang mayoritas adalah orang-orang Makkah. 11) Apabila kemudian kita melihat, untuk memelihara Hadits para Shahabat lebih mengandalkan hafalan dan bukan dengan catatan atau tulisan, maka menjadi kewajiban kita untuk mencari penyebabnya. Kita tidak dapat mengikuti begitu saja pendapat mereka yang mengatakan bahwasanya minimmya kegiatan pencatatan Hadits pada masa ini hanyalah karena langkanya sarana penulisan. Memang boleh jadi hal itu merupakan salah satu faktor penyebabnya, tetapi bukanlah satu-satunya. Nyatanya pada waktu itu, dengan kondisi yang sama para Shahabat sangup menghimpun seluruh Al-Qur’an pada daun-daun, pelepah kurma, potongan kulit, dan lain sebagainya. Andaikata faktor psikologis yang mendorong mereka untuk melakukan pencatatan Hadits sama kuatnya dengan dorongan untuk mencatat Al-Qur’an, tentu mereka akan berusaha sekuat mungkin untuk melakukan pencatatan Hadits. Hanya saja atas kehendak mereka dan dorongan Rasul cara mereka dalam menghimpun Hadits sangatlah berbeda dengan cara mereka dalam menghimpun Al-Qur’an. 12)
Dengan kata lain upaya mereka mencurahakan perhatian penuh kepada pengimpunan Al-Qur’an telah menyita sebagian besar waktu dan energi mereka. Sedangkan Hadits pada waktu itu sangatlah banyak untuk dapat dihitung. Kecenderungan Shahabat yang demikian, merupakan pengarahan Nabi yang sangat bijak kepada para pengikutnya . Pengarahan tersebut tidak terpaku pada satu bentuk, namun sesuai dengan kebutuhan zaman. Pada permulaan wahyu diturunkan beliau melarang keras penulisan Hadits karena dikuatirkan akan terjadi kerancuan antara Hadits dan Al-Qur’an, apalagi bila ditulis dalam lembaran yang sama 13). Larangan Nabi ini hanyalah ditujukan kepada para Shahabat pada umumnya, karena pada waktu yang bersamaan dengan pertimbangan situasi dan kondisi saat itu, beliau juga memberikan izin khusus kepada beberapa orang Shahabat yang mempunyai ingatan kuat untuk menuliskan Hadits. Dengan tujuan untuk menguatkan ingatan mereka, dan membantu mereka jika sewaktu-waktu lupa.
Di antara catatan yang paling terkenal dari masa Nabi adalah Shahifah Shadiqah yang ditulis oleh Abdullah bin Ash setelah mendapat izin Rasul. 14) Catatan ini memuat seribu Hadits seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Atsir, sekalipun catatan ini dalam bentuk tulisan tangan sudah tidak bisa kita temui namun isinya tetap terpelihara dalam Musnad Imam Ahmad. Catatan Hadits lain yan dibuat pada masa ini adalah Shahifahnya Abdullah ibn abbas yang di wariskan kepada putranya Ali. Shahifah Jabir yang ditulis oleh Jabir bin ‘Abdullah al Ansari. Shahifah Hamman yaitu catatan Hadits hasil tulisan Abu Hurairah yang dimiliki oleh Hamman bin Munabbih. 15)

PENUTUP
Dari uraian yang sangat singkat di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya penulisan Hadits sebenarnya sudah dimulai sejak masa Nabi, walaupun secara resmi baru dimulai pada masa Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Hal ini terbukti dengan adanya hasil tulisan Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan juga Abdullah ibn Abbas, jadi larangan penulisan Hadits pada masa ini merupakan larangan pembukuan secara resmi. Hal lain yang perlu dicatat adalah peranan Ummahat al mu’minin dan Shahabat-Shahabat perempeuan yang tidak kecil terhadap pelestarian Hadits, terutama yang terkait dengan permasalahan perempuan dan rumah tangga.
Terakhir ketika selesai sebuah perkara maka akan nampak jelaslah kekuranganya, karena itu saya sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih terlalu jauh dari memuaskan, mungkin masih banyak sekali hal-hal yang terkait dengan Hadits pada masa Rasull yang belum mampu saya sajikan. Namun, saya tidak akan minta kritik apapun, sekali lagi saya tidak akan minta kritik apapun yang konstruktif sekalipun. Saya ngeri mendengarnya, terima sajalah permintaan maaf saya. Sekian, semoga bermanfaat. Waallahu a’lam.

*) Penulis adalah Alumni PP. APIS Sanan Gondang Blitar yang sedang menjalani studi di STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang.
1. Drs. Tadjab dkk, 1994, Dimensi-Dimensi Studi Islam, Surabaya : Karya Abditama, hlm. 130. Hadits sendiri secara etimologis bisa berarti baru, ucapan, pembicaraan,atau berita. Ulama yang membedakan pengertian Hadits dan Sunnah antara lain Ibnu Taimiyah beliau mengatakan Hadits adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi pasca pengangkatan Nabi, sedangkan Sunnah lebih luas yaitu sebelum dan sesudah Nabi diangkat jadi Rasul
2. Hal ini berdasarkan Hadits nabi من سن فى الاسلام سنة حسنة فله اجرها...الخ (اخرجه الامام مسلم) :
3. Masjfuk Zuhdi,1993, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya : Bina Ilmu, hlm. 13 - 15
4. Muhammad ‘Ajjaj al Qatib, 1989, Ushul al Hadits, Bierut : Daar al Fikri, hlm. 27
5. Ibid. hlm. 28. Tidak ada alasan yang kuat mengapa atsar hanya dikhususkan pada apa yang disandarkan pada Shahabat (mauquf) dan tabi’in (maqtu’) saja, tidak sampai pada apa yang disandarakan pada Nabi (marfu’)
6. orang yang menulis atau menyampaikan Hadits yang pernah ia dengar dari gurunya
7. Ibid. hlm 32
8. Ensiklopedi Hukum Islam. hlm 43 bandingkan dengan penjelasan yang hampir sama dalam Ushul al Hadits karangan ‘Ajaj al Qatib hlm 67- 70.
9. Ibid. hlm 72
10. Ibid, hlm. 72-78
11. Subhi al Shalih, 1977, Terjemahan,Ulum al Hadits wa Musthalahuhu, Bierut : Daar al ‘Ilm lil Malayin, hlm. 26
12. Ibid, hlm. 27
13. Masjfuk Zuhdi, Op, Cit. hlm. 80. Sebagaimana keterangan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu said al Khudari لاتكتب عنى شيأ غير القران,فمن كتب عنى شيأ غيرالقران فليمحه
14. Ibid, hlm. 81. Sebagaimana jawaban Nabi terhadap pertanyaan Abdullah ibn Umar tentang penulisan Sunnah; اكتب عنى فوالذى نفسى بيده ما خرج من فمى الاحق
15. Subhi Shalih, Op, Cit. hlm 37-38

0 Response to "HADITS PADA MASA RASULULLAH SAW"

Posting Komentar