Dr. Wahbah al-Zuhaili

Berawal dari perbedaan pemikiran tersebut, sangat menarik minat penulis untuk mengkaji makna uzlah yang ditulis Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir. Beliau adalah seorang mufassir yang bersikap moderat yang menjauhkan diri dari keberpihakan dan mendukung pemikiran sebagian madzhab atau visi kelompok Islam tertentu.

Dr Wahbah Az-Zuhaili lahir pada tahun 1351 H / 1932 M di Dir Athiyah Damaskus (Syiria). Ayahnya bernama Syekh Musthafa Az-Zuhaili, seorang ulama yang hafal Al-Qur’an dan ahli ibadah, hidup sebagai petani dan pedagang. Sewaktu kecil Wahbah belajar di Sekolah Dasar (Ibtidaiyyah), di tanah kelahirannya kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah (Tsanawiyah), selama enam tahun di “Kuliah Syar’iyyah”, Damaskus dan lulus dengan predikat siswa terbaik pada tahun 1952 M . Ia kemudian melanjutkan studinya dan memperoleh gelar sarjana dari fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar pada tahun 1956 M . Beliau memperoleh gelar Magister dari fakultas Huquq Universitas Kairo pada tahun 1959 M, kemudian pada tahun 1963 M beliau memperoleh gelar Doktor dengan desertasi yang berjudul “Dampak peperangan menurut pandangan fiqh Islam, sebuah kajian komparatif di antara delapan madzhab dan undang-undang pemerintah”.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah.
Sebagai ulama dan pemikir Islam, Al-Zuhaili telah menulis lebih dari 30 tulisan. Diantara karya – karyanya adalah :
a. Fan al-Quran dan ilmunya:
1. al-Tafsir al-Munir Fi al-‘Aqidah wa al-Syariah wa al-manhaj (16 jilid).
2. al-Tafsir al-wajiz ‘Ala Hamisyi al-Quran al-Karim al-‘Adhim.
3. al-Tafsir al-Wajiz wa Mu’jam Ma’ani al-Quran al-Karim.
4. al-Quran al-Karim Bunyatuhu al-Tasyri’iyyah wa Khasaisuhu al-Hadlariyah.
5. al-I’jaz al-‘Ilmi fi al-quran al-Karim.
6. Dan lain-lain.
b. Fan Fiqh dan Ushulnya:
I. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami.
II. Ushul al-Fiqh al-Islami (2 jilid).
III. Al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuhu jilid 9 (edisi susulan).
IV. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (11 jilid).
V. Nadhariyyah al-Dlarurah al-Syar’iyyah.
VI. Dan lain-lain.
Fan Hadits dan Ilmunya:
1) Al-Sunnah al-Nabawiyyah al-Syarifah, Hakikatuha wa Makantuha ‘Inda al-Muslimin.
2) Fiqh al-Sunah al-Nabawi.
Fan Akidah Islam:
i. Al-Iman bi al-Qadla’ wa al-Qadr (tanya jawab 90 pertanyaan).
ii. Ushul Muqaranah Adyan.
iii. Al-Bida’ al-Munkarah.
Fan seputar kajian Islam:
a. Al-Khasais al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam wa Da’aim al-Dimukratiyyah al-Islamiyah.
b. Al-Da’wah al-Islamiyyah wa Ghair al-Muslimin, al-Manhaj, wa al-Wasilah wa al-Hadaf.
c. Tabsir al-Muslimin li Ghairihim bi al-Islam, Ahkamuhu wa Dlawabituhu wa Adabuhu.
d. Al-Islam wa al-Iman wa al-Ihsan.
e. Al-Imam al-Suyuti Mujaddid al-Da’wah ila al-Ijtihad.
f. Dan lain-lain.
Sekilas tentang kitab al-Tafsir al-Munir
Dalam mengarang kitab al-Tafsir al-Munir, Al-Zuhaili berhijrah ke Daulat al-Imarah al-‘Ain, seraya meninggalkan istri dan anak-anaknya, ia melarutkan diri dalam keagungan kalam Allah selama beberapa tahun. Karya besar ini selesai ketika beliau berumur 56 tahun, tepatnya pada pukul 08.00, tanggal 13 Dzul Qa’dah 1408 / 27 Juni 1988 M.
Metode yang beliau pakai di dalam al-Tafsir al-Munir adalah sebagai berikut:
• Mengelompokkan ayat- ayat al-Quran sesuai dengan temanya masing-masing, seperti mengelompokkan ayat yang berkaitan dengan jihad di dalam satu bab khusus.
• Memberi penjelasan secara global tentang kandungan tiap-tiap surat.
• Menjabarkan aspek linguistik.
• Menyebutkan sebab turunnya ayat berdasarkan riwayat yang paling valid, menitik beratkan kepada kisah para Nabi dan peristiwa bersejarah yang terjadi di dalam Islam, seperti perang Badar dan Uhud berdasarkan literatur kesejarahan yang paling valid.
• Interpretasi dan penjelasan.
• Menjelaskan hukum yang diderivasi dari ayat al-Quran.
• Menjelaskan aspek balaghah dan i’rab ayat agar lebih membantu dalam memahami maksudnya dan tidak menyebutkan istilah yang dapat menyebabkan kepada kesalahan penafsiran.
Kelebihan al-Tafsir al-Munir terdapat pada sisi:
 Penekanan terhadap akidah, hal-hal yang berkaitan dengan kenabian, akhlak, nasehat, dan penjelasan ayat-ayat kauniyah Allah.
 Penjelasan tentang kisah bersejarah.
 Penjelasan tentang hukum-hukum fiqh secara singkat.
 Pemberian perhatian yang lebih terhadap aspek linguistik, macam-macam qiraah (sistem pembacaan al-Quran), teori ilmiah alam dan beberapa ilmu lainnya.
Para guru Wahbah al-Zuhaili
Guru Wahbah Zuhaili berasal dari beberapa daerah. Di antaranya:
Damaskus
No Nama Fan yang diajarkan
1 Mahmud Yasin Hadits
2 Mahmud al-Rankusi ‘Aqaid
3 Hasan al-Syathi Faraidl
4 Hasyim Khatib Fiqh Syafi’i
5 Luthfi al-Fayumi Ushul al-Fiqh dan Musthalah Hadits
6 Ahmad al-Samaq Tajwid
7 Hamdi Juwaijati Ulum al-Tilawah
8 Abu al-Hasan al-Qashab Nahwu dan Sharaf
9 Hasan dan Shadiq Habankah al-Maidani Ulum al-Tafsir
10 Shaleh al-Furfur Ulum al-Lughah al-‘Arabiyah (Ilmu Bahasa Arab, seperti Balaghah, Sastra Arab)
11 Hasan Khatib, Ali Sa’d al-Din, Subhi al-Khaizaran, dan kamil al-Qashar Hadits dan Akhlaq
12 Prof. Judat al-Maradini Khitabah
13 Prof. Rasyid dan Prof. Hakamat al-Syathi Sejarah dan Akhlaq
14 Dr. Nadhim Mahmud Nusaimi dan Mahir Hamadah Tasyri’
15 Tanpa nama Kimia, Fisika, Bahasa Inggris dan ilmu modern lainnya
16 Prof. Nasib Sa’d Adab

Mesir
No Nama Fan yang diajarkan
1 Mahmud Syaltut, Dr. Abdur Rahman Taj, dan Isa Munawwan Perbandingan Fiqh (materi pokok fakultas Syariah)
2 Jad al-Rabbi Ramadlan, Mahmud Abdud Dayim dan Musthafa Mujahid Fihq Syafi’i
3 Musthafa dan Abdul Ghani Abdul Khaliq, Usman al-Maraziqi, Hasan Wahdan, al-Dhawahiri al-Syafi’i Ushul al-Fiqh
4 Muhammad ali al-Za’bi Fiqh al-‘Ibadah
5 Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Muhammad al-Banna, Muhammad al-Zafzaf, Dr. Muhammad Salam Madkur, dan Faraj al-Sanhuri Dirasah Ulya tentang perbandingan fiqh dan ushulnya, serta salah satu Mujtahid (Imam Madzhab)

Pengajar di fakultas Huquq Universitas ‘Ain Syams
No Nama
1 ‘Usaiwi Ahmad Usaiwi
2 Zaki al-Din Sya’ban
3 Dr. Abdul Mun’im al-Badrawi
4 Dr. Usman Khalil
5 Dr. Sulaiman al-Thamawi
6 Dr. Ali Rasyid
7 Dr. Hilmi Murad
8 Dr. Yahya Jamal
9 Dr. Ali Yunus
10 Dr. Muhammad Ali Imam
11 Dr. Aktsam al-Khauli

Murid-murid Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili
Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antaranya: Muhammad al-Zuhaili, saudara kandung beliau sendiri, Dr. Muhammad Faruq hamadah, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Abdus Sattar Abu Ghadah, Dr. Abdul Lathif Furfur, Dr. Muhammad Abu Lail, Dr. Abdus Salam ‘Ubadi, Dr. Muhammad al-Syirbaji, Dr. Majid Abu Rukhayyah, Dr. Badi’ al-Sayyid al-Lahham, Dr. Hamzah Hamzah, dan lain-lain yang terdiri dari para pengajar di fakultas Syariah Universitas ‘Ain Syams dan ratusan pengajar Pendidikan Agama di Kementerian agama. Di Syria lebih dari 40 generasi belajar kepada Prof. Dr. Wahbah Zuhaili. Murid beliau juga tersebar di Libya, Sudan, Emirat Arab, Masyriq, Maroko, Amerika, Malaysia, Afghanistan, dan Indonesia. Ilmu yang mereka pelajari adalah Fiqh dan Ushulnya serta Tafsir.
Penafsiran Dr Wahbah al-Zuhaili tentang ayat–ayat uzlah
Di dalam Al-Quran tema uzlah tidak didiskripsikan secara gamblang dan detail. Penafsiran uzlah hanya tersirat dari isyarat yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran Ayat uzlah terdapat dalam surat Al-Kahfi yang di dalamnya menerangkan kisah Ashhab al-kahfi dalam ayat 16 Allah berfirman :
                   
Artinya : “Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung kedalam gua itu niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebaian rahmatnya kepada kalian dan menjadikan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian”.
Menurut Ibnu Katsir, sebagaimana diikuti al-Zuhaili, tindakan mengasingkan diri kedalam gua sebagaimana pernah dilakukan Ashhab al-Kahfi adalah disyari’atkan ketika terjadi fitnah atas diri manusia yang membahayakan agamanya.
Al-Zuhaili menafsirkan ayat diatas sebagai berikut :
“Dan ingatlah! Hai Ashhab al-Kahfi akan seruan itu, yang muncul dari antara kamu kepada yang lain. Ketika kalian berketetapan hati untuk melarikan diri, menyelamatkan agama kalian, maka asingkanlah diri kalian. Berpisahlah dengan kaum kalian seraya beruzlah secara fisik dan non fisik dengan berpindah dari tempat tinggal secara mental / kejiwaan dengan ketetapan tidak menyembah apa yang mereka sembah melainkan hanya kepada Allah semata” .
Menurutnya, Allah memerintahkan mereka beruzlah secara fisik dengan cara masuk ke gua besar didalam gunung secara total. Ditempat yang sunyi itu mereka dapat memurnikan jiwa dengan beribadah kepada Allah dan mampu menjauhi orang-orang musyrik. Ini dilakukan mereka sehingga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka dan memudahkan persoalan mereka serta menjadikannya bermanfaat .
Berlindungnya para pemuda mukmin yang sebenarnya pemuda-pemuda terhormat masa kekuasaan “Diqyanus” yang kafir kegua adalah wujud pelarian mereka untuk menyelamatkan agama dari fitnah orang-orang kafir penyembah berhala. Peristiwa ini menjadi dalil yang jelas atas tindakan melarikan diri untuk agama dan hijrah untuk berpisah dengan keluarga, istri, anak, saudara, teman dekat, harta benda dan negara karena takut fitnah dan cobaan yang ditimbulkan oleh manusia.
Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat sebagaimana dalam surat al-Taubah. Kondisi yang pengecualian ini menjadi dalil atas diperbolehkannya uzlah yaitu mengasingkan diri dari keramaian manusia. Para ulama sepakat dengan pendapat ini. Adapun pada situasi lain, bergaul adalah lebih baik daripada uzlah .
Al-Baghawi, Ahmad bin Hanbal, Turmudzi dan Ibn Majah telah meriwayatkan dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad saw bersabda , yang artinya : “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas tindakan mereka yang menyakitkan perasaan lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tidak sabar atas tindakan mereka yang menyakitkan”. (HR Ahmad, Turmudzi dan Ibn Majah).
Al-Zuhaili juga memahami firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 27 sebagai dasar perilaku uzlah, walaupun di sisi lain ia mengkritik perilaku tersebut. Ayat tersebut berbunyi:
               •              •            
Artinya : “Kemudian Kami iringkan dibelakang mereka Rasul-rasul Kami dan kami iringkan (pula) Isa putra Maryam dan kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengadakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya, maka Kami berikan kepada orang yang beriman diantara mereka pahalanya dan banyak diantara mereka orang- orang fasik”.
Berkaitan dengan ayat diatas, Al-Zuhaili menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk dihati para pengikut Nabi Isa as dan kaum Hawariyyin, tidak seperti kaum Yahudi yang keras hati. Mereka memulai hal baru dalam tradisi keagamaan, yaitu perilaku kerahiban yang sebenarnya tidak disyari’atkan oleh Allah SWT.
Ini semata-mata untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah sampai akhirnya mereka mengesampingkan kebutuhan lain seperti makan, minum dan menikah serta menjauhkan diri dari lingkungan kehidupan masyarakat. Mereka bertempat tinggal di gua-gua dan lereng-lereng gunung dengan mengenakan pakaian sangat sederhana. Akan tetapi kebiasaan baru tersebut ternyata tidak dapat dipelihara secara penuh oleh mereka sendiri, sebagian besar mereka justru terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan maksiat.
Itulah yang menjadi kritikan Ibn Katsir, sebagaimana dikutip al-Zuhaili bahwa mereka telah menyimpang dalam dua hal, pertama mereka melakukan bid’ah dalam masalah agama padahal Allah sama sekali tidak memerintahkan hal tersebut, kedua, mereka tidak konsisten melaksanakan aktifitas yang menurut mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menurut Al-Zuhaili, al-Quran pada dasarnya tidak mensyari’atkan agar manusia dalam situasi normal memutuskan hubungan dengan dunia untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT. al-Quran tidak menyerukan manusia berkonsentrasi penuh terhadap masalah dunia hingga meninggalkan ibadah. Ajaran al-Quran pada dasarnya menegaskan adanya pertalian antara urusan dunia dan akhirat. Keduanya saling melengkapi dan saling menyempurnakan, bahkan dunia adalah lahan yang subur bagi kepentingan akhirat. al-Quran menyerukan agar manusia saling membantu dalam kedua urusan tersebut .
Maka seorang mukmin yang ideal adalah ia selalu beribadah dan bermunajat kepada Allah di manapun ia berada, baik ketika berdagang, bekerja, bermasyarakat serta menjaga akhlaq yang baik, ia juga selalu berharap kepada Allah agar mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat bagi dirinya dan orang lain . Sebagaiman realisasi firman Allah surat al-Qashash: 77 .
Analisis
Mengasingkan diri atau menyendiri bukanlah dari tradisi kehidupan seorang muslim. Tradisi yang berasal dari kehidupan yang Islami adalah pergaulan yang baik, berkumpul secara sehat dan beramah tamah atau bersahabat dengan mereka yang suka kebaikan .
Sedangkan yang melengkapi tradisi kehidupan Islam adalah beruzlah dari kekufuran, kemunafikan dan kefasikan dari orang-orang kafir, munafik dan fasik serta beruzlah dari tempat yang penuh dengan caci maki terhadap ayat-ayat Allah dan hal-hal serupa yang wajib dijauhi .
Al-Quran selain melindungi juga membebaskan manusia dari ketertindasan kaum kuat. Uzlah yang termaktub dalam al-Quran adalah gambaran riil dari solusi bagi manusia yang ingin selamat dunia dan akhirat. Dalam kisah tersebut diatas Ashhab al-Kahfi siap menjadi buron dan hidup papa, jauh dari keramaian, jauh dari karib, teman dekat, anak istri bahkan harta benda karena iman dan keteguhan hati menjadi skala prioritas hidup, maka uzlah adalah jalan akhir yang harus dilakukan dengan tujuan ridla Allah dan dekat kepada-Nya.
Sikap uzlah yang ditawarkan al-Quran bukan bermaksud mengkerdilkan jiwa manusia agar takut, lari dan menghindar dari perjuangan. Antisipasinya adalah kekuatan yang tidak sebanding antara negara dan sekelompok pemuda (Ashhab al-Kahfi) walaupun mereka adalah sekelompok pemuda dari kaum bangsawan yang terhormat, mereka tidak mungkin melakukan perlawanan terhadap kerajaan yang memiliki power lebih. Sikap menyingkir merupakan alternatif terbaik bagi Ashhab al-Kahfi, demikian halnya yang dilakukan oleh kaum Rahbaniyyin.
Satu hal yang harus disadari adalah uzlah jangan dipahami sebagai sikap menyingkir dan menyelamatkan diri ansich. Dalam uzlah hakekatnya sikap positif yakni tafakkur dan mendekatkan diri kepada Allah demi tercapainya kejernihan jiwa. Kalau uzlah hanya sebatas menyingkir, sembunyi dan lari dari kehidupan sosial adalah menyalahi fitrah kemanusiaan dan dosa karena menghindar dari tanggung jawab sebagai manusia zone politicon. Bahkan ia akan menjadi pengecut, berjiwa kerdil dan a sosial yang notabene menyalahi aturan Tuhan yang menjadikan dirinya Khalifah Allah fi al-Ardl.
Menurut Al-Zuhaili dua peristiwa Ashhab al-Kahfi dan Rahbaniyyin sebagaimana dalam ayat-ayat diatas dapat dijadikan landasan dasar diperbolehkannya uzlah (pengasingan diri) dari keramaian masyarakat ketika situasi membahayakan jiwa dan tauhid, namun dalam situasi normal ketika jiwa dan akidah umat tidak terancam, sebaiknya manusia tidak mengasingkan diri secara fisik dan non fisik dari masyarakat. Islam pada dasarnya mengajarkan umatnya untuk menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, material dan spiritual, sehingga umat Islam di samping diperintah beribadah dan membersihkan jiwa juga diperintah untuk terlibat aktif dalam aktifitas duniawi yang berorientasi ibadah serta pendekatan dan pengabdian diri kepada Allah SWT.
Pendapat al-Zuhaili tentang prinsip keseimbangan aktifitas manusia, antara urusan dunia dan akhirat, material dan spiritual dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan melibatkan diri bersama masyarakat serta pemahamannya terhadap teks al-Quran tampak sejalan dengan para tokoh pembaharu dan pemikir Islam modern seperti Fazlur Rahman dan Hamka yang mengkritik kaum sufi agar lebih aktif melibatkan diri dalam aktifitas di masyarakat.
Semangat uzlah yang pernah dilontarkan oleh para sufi, sangat relevan untuk dikaji ulang dengan pemahaman Qurani dan diaktualisasikan dalam kehidupan di masa sekarang ini, karena ketidak seimbangan manusia dalam berfikir dan menggunakan teknologi sebagai manusia yang berkualitas membuat mereka mengidap gangguan kejiwaan antara lain, kecemasan, kebosanan dan penyimpangan terhadap nilai-nilai spiritualitas, mereka banyak terlibat dalam glamornya dunia. Kalau yang terjadi demikian maka mereka akan menjadi manusia yang kehilangan nilai-nilai agama sehingga menjadi resah. Dalam kondisi seperti ini, uzlah dalam pengertian meninggalkan segala perilaku dan nilai-nilai tidak baik dan melaksanakan nilai-nilai Islam yang diridlai Allah merupakan solusi yang tepat dalam rangka meningkatkan moralitas individu dan masyarakat menjadi lebih baik.
Uzlah tidak sekadar lari dan menjauhi keramaian, sikap menghindari dan menjaga dari hal-hal yang menyebabkan maksiat adalah uzlah dalam artian sempit. Kisah Ashhab al-Kahfi dan Rahbaniyyin yang lari dari ancaman pemerintah dengan cara lari ke gua tidak boleh dipahami secara letterleik. Konteks uzlah era sekarang adalah berubah pada sikap sebagai pribadi yang menyadari dan bersikap bahwa ia harus menghindari kemaksiatan serta hal-hal yang menyebabkan dosa kecil dan besar.
Uzlahnya Ashhab al-Kahfi, kaum Rahbaniyyin dan Nabi Muhammad dengan cara pergi kegua karena tuntutan zaman saat itu memang demikian. Sekarang kita bisa beruzlah di tengah-tengah aktifitas sehari-hari yakni menanamkan keteguhan hati dan selalu memerangi kemungkaran. Menghindarkan diri bisa berarti pergi atau tidak melaksanakan, inilah sesungguhnya hakekat makna uzlah.
Simpulan
1. Menurut Wahbah Al-Zuhaili perilaku uzlah pernah dilakukan umat Nabi Isa AS yaitu Ashhab al-Kahfi dan kaum Rahbaniyyin, demi keselamatan jiwa dan agama dari kedhaliman penguasa. Hal ini hanya boleh dilaksanakan dalam kondisi darurat, sedangkan pada kondisi normal al-Quran menegaskan harus ada keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan.
2. Pemahaman al-Zuhaili terhadap teks al-Quran tampak sejalan dengan para tokoh pembaharu dan pemikir Islam modern seperti Fazlur rahman dan Hamka yang mengkritik kaum sufi agar lebih aktif melibatkan diri dalam aktifitas di masyarakat.
3. Konsep keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat dalam realita sekarang yang penuh dengan ketidak seimbangan manusia dalam berfikir dan menggunakan teknologi sebagai manusia yang berkualitas membuat mereka mengidap gangguan kejiwaan antara lain, kecemasan, kebosanan dan penyimpangan akan nilai- nilai spiritualitas sangat relevan diterapkan sebagai solusi terhadap problema kehidupan sekarang.
Makna Ulil Amri menurut Dr. Wahbah al-Zuhaili
Dr. Wahbah al-Zuhaili, ulama masa kini yang semasa dengan Dr. Yusuf Qardhawi, dalam kitab tafsirnya, al-Tafsir al-Munir, menyebutkan bahwa sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa makna ulil amri itu adalah ahli hikmah atau pemimpin perang. Sebagian lagi berpendapat bahwa ulil amri itu adalah ulama yang menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum syara'. Sedangkan syiah, masih menurut Wahbah Al-Zuhaili, berpendapat bahwa ulil amri itu adalah imam-imam yang ma’shum. (al-Tafsir al-Munir, juz 5, h. 126). Dalam kitab ahkam al-Quran, Ibn al-arabi berkata: "Yang benar dalam pandangan saya adalah ulil amri itu umara dan ulama semuanya". (Ahkam al-Quran, juz 1, h. 452).
Amanah
Allah berfirman dalam surat al-Ahzab:72:
                  .  .
Artinya: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh". (QS: al-Ahzab: 72).
Dr. Wahbah Al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa amanah yang dimaksud adalah ketaatan dalam menjalankan kewajiban (taklif) syar'i, seperti sholat, puasa dan lainnya. Lebih jauh Al-Zuhaili menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat di atas juga mencakup amanah terhadap harta, menjaga kemaluan, menjaga pendengaran, penglihatan, lisan batin, tangan dan langkah kaki. Kegagalan menerima amanah ini (akibat manusia itu amat dlalim dan amat bodoh) akan mengakibatkan manusia terbagi menjadi tiga golongan (sebagaimana diisyaratkan oleh ayat selanjutnya (QS: al-Ahzab: 73) : pertama, munafikin, yaitu sebagaimana digambarkan dalam hadis: kalau berkata selalu berdusta; kalau berjanji selalu ingkar; dan kalau diberi amanah berlaku khianat (Musnad Ahmad, Hadits Nomor: 6583); kedua, golongan musyrikin, yaitu golongan yang baik tersembunyi maupun terang-terangan telah berlaku syirik dan menentang Rasul; ketiga Mu'minun, yang dalam ayat ini digambarkan sebagai mereka yang diterima taubatnya.






DAFTAR PUSTAKA

Amin Syukur, MA, Prof. Dr. Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Al-Zuhaili, Wahbah, Dr. Tafsir Al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Dar al-Fikr al-Musahir, Damaskus, 1991.
____________, Al-Qur’an al-Karim Bunyatuhu al-Tashri’iyyah wa Khashaisuhu al Hadlariyyah, Dar al-Fikr, Damaskus, Cet. I, 1993.
Ayazi, Sayyid Muhammad Ali, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, Teheran, cet I., 1993.
Al-Qazwini, Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibn Majah, Dar al Fikr, Beirut, t.th.
Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah, Sunan al-Tirmidzi, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.th.
Hawwa, Said, Tarbiyyatuna al-Ruhiyyah, Dar al-Salam, Cet III, 1990.
Muhayya, Abdul Dr. dkk, Tasawwuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogya, 2001.


0 Response to "Dr. Wahbah al-Zuhaili"

Posting Komentar