AL AMR

I.PENDAHULUAN.
Perlu diketahui bahwa al-amr termasuk bagian ketiga dari lafal al-khas. Bagian pertama dan kedua adalah al-mutlaq dan al-muqayyad sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya. Sesuai dengan bidang study yang dipelajari, makalah ini terdiri dari pendahuluan, pembahasan yang meliputi; pengertian, kehendak al-amr,, kontinuitas al-amr, kesegeraan al-amr, dan perintah setelah ada larangan


II.PEMBAHASAN
1.Pengertian.
Al-Amr menurut etimologi adalah perintah. Secara terminologis, menurut ulama madzab Hanafi dan Hambali al-Amr adalah “lafal yang mengandung tuntutan untuk berbuat dari pihak yang lebih tinggi”. Berdasarkan pengertian ini apabila tuntutan untuk berbuat datang dari pihak yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, maka tidak dinamakan al-amr, melainkan bisa bermakna do’a atau harapan.
Ulama madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa lafal al-amr itu tidak disyaratkan datang dari pihak yang lebih tinggi. Menurut mereka, setiap lafal al-amr mengandung perintah untuk melakukan suatu perbuatan, tanpa melihat dari mana datangnya perintah tersebut.

2. Kehendak Al-Amr..
Ulama usul fiqh berbeda pendapat tentang kandungan yang dikehendaki lafal al-amr, apakah untuk suatu kewajiban atau anjuran saja. Dari segi bahasa, lafal al-amr mengandung pengertian, diantaranya sebagai berikut.
1) al-wujub (kewajiban ), misalnya firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 43 :
واقيموا الصلوة واتوا الزكوة
artinya:”dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat…”
Perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam ayat ini adalah wajib.
2) An-nadb (anjuran) misalnya firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat 33
فكاتبوهم إن علمتم فيهم خيرا
artinya:’ dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu ketahui ada kebaikan pada mereka”.
Membuat atau menuliskan perjanjian sebagai salah satu cara dalam memerdekakan budak merupakan anjuran bagi pemiliknya bukan kewajiban. Karena pemilik bebas melakukan tindakan hukum terhadap miliknya
3) Al-ibahah (kebolehan), seperti firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 60:
كلوا واشربوا من زرق الله
Artinya: “Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah…”
Secara alami makan dan minum bukanlah suatu kewajiban, sebab seseorang tidak akan mungkin dipaksa makan atau minum. Oleh karena itu, lafal al-amr falam ayat ini menunjukkan kebolehan saja.
4) Al-irsyad (petunjuk), seperti firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 282 :
واستشهدوا شهدين من رجالكم
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki diantara kamu…”
Dalam ayat ini al-amr untuk menghadirkan dua orang saksi dalam masalah muamalah hanya sebagai petunjuk saja. Sebab ada qarinah pada ayat sesudahnya (QS.2:283) yang mengalihkan kepada al-irsyad yaitu :
فإن أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي اؤتمن أمناته
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang depercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya)…”
5) Ad-du’a (doa), seperti firman Allah SWT :
ربنا افتح بيننا وبين قومنا بالحف
Artinya : “… Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kaum kami dan kaum kami dengan hak (adil)…”(QS.7:87).
Tajudddin as-Subki, mengatakan, paling tidak ada 26 makna al-amr dalam Al-Quran. Selain pengertian-pengertian diatas, al-amr juga berarti peringatan, batasan, pujian, pelecehan, kelemahan, berita, izin, dan lain lain..
Ulama usul fikih berbeda pendapat dalam menentukan kehendak lafal al-amr tersebut. Jumhur ulama usul fikih berpendapat bahwa kehendak al-amr pada hakekatnya menunjukkan pada suatu kewajiban secara pasti, selama tidak ada indikasi yang mengalihkan pada makna lain.
Argumen jumhur dalam menentukan lafal al-amr untuk perintah antara lain sebagai berikut :
Firman Allah dalam surat an-Nur (24) ayat 63 :
فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم
Artinya :’…Maka hendaklah orang orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau di timpa azab yang pedih.”
Dalam ayat ini disebutkan orang yang tidak melaksanakan perintah Rasul akan mendapat azab dari Allah SWT. Wa’id (ancaman) hanya ada ketika meningkalkan kewajiban. Oleh karena itu melaksanakan perintah Rasul itu wajib.
Orang yang tidak mau melaksanakan perintah disebut orang yang durhaka, seperti disebutkan dalam firman Allah SWT :
ألا تتبعن أفعصيت أمرى.
Artinya : “ (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?"( Q.S.Thaahaa : 93)
Berdasarkan argumen-argumen diatas, jumhur ulama berpendapat bahwa al-amr menurut syara’ mengandung pengertian perintah untuk melaksanakan suatu kewajiban.

3. Kontinuitas Al-Amr.
Dalam menentukan hakikat al-amr, ulama usul fikih juga berbeda pendapat dalam menetapkan apakah lafal al-amr itu menunjukkan perbuatan itu cukup sekali di ungkapkan dan berlaku untuk selanjutnya, ataukah al-amr itu harus diulang. Menurut jumhur ulama yang diperlukan dalam lafal al-amr itu, esensi perintah itu sendiri, tanpa mempersoalkan apakah lafal itu cukup sekali atau berulang. Tuntutan lafal al-amr itu adakalanya sekali saja, seperti perintah melaksanakan haji, dan adakalanya berulang, seperti perintah melaksanakan salat. Apabila dikatakan bahwa al-amr itu mengandung pengulangan perbuatan yang diperintahkan, akibatnya perintah itu harus dikerjakan setiap waktu. Hal ini, menurut jumhur mengandung pengertian adanya perintah yang tidak sesuai dengan kemampuan seseorang. Pembebanan hukum terhadap sesuatu yang tidak mampu dikerjakan, ulama fikih dan usul fikih sepakat tidak boleh. Oleh karena itu yang terpenting adalah melaksanakan esensi dari perintah itu, selama tidak ada indikasi bahwa esensi itu harus dilakukan secara berulang.
Ulama usul fikih mazab Maliki dan sebagian mazab Syafi’i berpendapat bahwa lafal al-amr menunjukkan satu kali perintah, tapi ada kemungkinan berulang. Menurut mereka perintah haji hanya menunjukkan satu kali saja وdan berlaku sepanjang masa.
Akan tetapi, menurut Muhammad Said Ramadan al-Buti persoalan tersebut tidak termasuk yang diperselisihkan ulama, karena menurut jumhur yang terpenting adalah mengerjakan esensi yang diperintahkan, minimal satu kali,dan terkadang harus berulang.
Akibat dari perbedaan pendapat diatas dapat dilihat dalam kasus talak. Misalnya seseorang memerintahkan kepada istrinya,”talaklah dirimu sendiri”. Menurut ulama yang mengatakan bahwa al-amr itu berlaku untuk berulang, maka wanita itu boleh menalak dirinya satu,dua,atau tiga kali. Tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa yang penting adalah esensi perintah itu dilaksanakan, yaitu menalak dirinya sendiri. Adapun bilangan talak yang dijatuhkan satu kali saja, karena talak yang disyariatkan itu adalah satu per satu.
4. Kesegeraan Al-Amr.
Permasalahan lain yang perlu dibahas berkaitan dengan al-amr adalah tentang pelaksanaan sesuatu yang diperintahkan, apakah harus dilaksanakan segera atau bisa dilaksanakan kapan saja selama masih dalam waktunya.
Menurut jumhur ulama sesuatu yang diperintahkan pada hakikatnya harus dilaksanakan, tanpa melihat segera atau tidaknya dilaksanakan. Tetapi, apabila ada indikasi bahwa perintah itu segera dilaksanakan, maka harus dilaksanakan segera. Alasan mereka, al-amr yang ada dalam nash adakalanya ala al-faur dan adakalanya ala at-tarakhi. Apabila dikatakan bahwa al-amr untuk segera dilaksanakan, maka umat akan kesulitan dalam mengerjakan al-amr yang semestinya tidak harus segera dikerjakan,ataupun sebaliknya.
5. Perintah Setelah Ada Larangan.
Dalam Al-Qur’an atau hadist banyak ditemukan perintah setelah larangan. Hal itu menimbulkan perdebatan apakah perintah itu menunjukkan kewajiban atau kebolehan.
Misalnya, firman Allah SWT dalam surat al-Ma’idah ayat 2 :
وغذا حللتم فاصطادوا .
Artinya: “dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu”
Setelah Firman-Nya dalam surat yang sama ayat 96:
وحرم عليكم صيد البحر ما دمتم حرما،
Artinya: “ …dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram…”
Contoh lain, sabda Rasulullah :
كنت نهيتكم عن زيارة القبورالا فزوروها...
”Saya (dulu) melarang kamu untuk menziarahi kuburan, dan sekarang maka berziarahlah kamu.
Imam Syafi’i, ulama Hambali dan sebagian ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa al-amar terhadap suatu perbuatan setelah adanya larangan tidak lagi menunjukkan suatu kewajiban melainkan suatu kebolehan. Dalam contoh di atas berburu setelah tahallul haji atau ‘umrah hukumnya hanya boleh dan ziarah kubur hukumnya pun boleh.
Ulama madzhab Hanafi sebagian ulama madzhab Syafi’i, dan pendapat terkuat dalam madzhab Maliki berpendapat bahwa dalam kasus seperti ini al-amar tetap seperti semula yaitu menunjukkan kewajiban. Jadi, berburu setelah tahallul adalah wajib, ziarah kubur pun wajib. Pendapat ketiga Ibnu Umam atau Kamaluddin Muhammad bib Abdul Wahid, ulama ushul fiqh madzhab Hanafi, berpendapat bahwa apabila perbuatan yang diperintahkan muncul setelah adanya larangan itu, sebelum adanya larangan merupakan suatu kewajiban , maka setelah ada laranganpun hukumnya wajib. Tetapi, apabila perbuatan ang diperintahkan itu sebelum dilarang hukumnya adalah boleh, maka perintah melaksanakan perbuatan setelah dilarang itu hukumnya tetap boleh. Misalnya dalam kasus larangan berburu karena sedang ihram. Menurut mereka, hukum asal dari berburu itu sendiri adalah boleh oleh sebab itu sekalipun dipergunakan lafadz al-amar hukumnya tetap boleh. Demikian juga, dalam kasus wanita yang beristihadhah, karena shalat itu hukum asalnya adalah wajib, maka al-amar shalat hukumnya tetap wajib setelah adanya larangan.
III. SIMPULAN.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat kita ambil pelajaran bahwa perdebatan dalam proses pengambilan hokum adalah hal yang wajar, sehingga produk hukum yang dihasilkan juga akan berbeda. Oleh karena itu, perbedaan tidak boleh dijadikan perpecahan.

0 Response to "AL AMR"

Posting Komentar