ISTIHSAN

PENDAHULUAN
Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang permasalahan yang ada pada istihsan yang merupakan salah satu kazanah ilmu usul fiqh yang dimiliki oleh umat Islam.
Secara garis besar ada pertentangan di antara ulama usul tentang boleh tidaknya istihsan ini digunakan untuk memproduk sebuah hukum. Khususnya pertentangan yang terjadi antara ulama yang menggunakan istihsan dan qiyas.


Pada makalah ini saya akan mencoba untuk mengetengahkan contoh-contoh produk hukum yang dihasilkan oleh istihsan disatu sisi dan qiyas di sisi lain. Dan pada saat ini persoalan-persoalan tersebut masih terjadi dan terlaku di masyarakat umum.
Pada dasarnya peletak dasar dari istihsan ini adalah Abu Hanifah, hal tersebut bisa ditemukan dalam banyak kitabnya.
PENGERTIAN
Istihsan secara terminology adalah memandang sesuatu dan meyakininya bahwa hal itu merupakan suatu kebaikan. Dalam penggunaan kalimat istihsan para ulama semuanya sudah sepakat, karena hal tersebut sesuai dengan firman Allah:
الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه (الزمر: )
Artinya:” Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”. Dan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Secara etimology istihsan ada beberapa pendefinisian diantaranya:
Istihsan adalah pemindahan hukumdari qias jali(jelas) ke qiyas khafi(samar) atau memindahkan hukum dari ketentuan umum kepengecualian karena adanya alasan yang lebih kuat menurut pendapat mujtahid.
Menurut sebagian ulama istihsan adalah berpindahnya ketetapan qiyas menuju kepada qiyas yang lebih kuat atau mengkhususkan qiyas dengan menggunakan dalil yang lebih kuat.
Imam Maliki mengatakan istihsan adalah beramal dengan menggunakan dalil yang lebih kuat atau mengambil sebagian kemaslahatan pada dalil yang masih global .
Fakih al-Halawi mengatakan istihsan adalah meninggalkan qiyas karena ada dalil yang lebih kuat, baik yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ .
Berarti dapat diartikan bahwa suatu peristiwa yang tidak disebutkan hukumnya di dalam al-Qur’an dan Sunnah, namun menurut pendapat mujtahid berdasarkan qiyas ada dua hukumnya yang bertentangan, yang pertama ditunjuk oleh qiyas jali dan kedua ditunjuk oleh qiyas khafi. Namun menurut pendapat mujtahid yang ditunjuk oleh qiyas khafi itulah yang lebih kuat, karena adanya alasan yang ditemui mujtahid kemudian meninggalkan qiyas jali berpindah ke qiyas khafi, maka seperti itulah yang dinamakan Istihsan. Begitu juga kalau mujtahid menemukan dalil yang bersifat umum dan dalil pengecualian, namun mujtahid menemukan alasan yang memperkuat bahwa dalil pengecualian(takhsis) itu lebih kuat lalu mujtahid mencantumkan hukumnya berdasarkan pengecualian tadi, juga dinamakan Istihsan .
PEMBAGIAN ISTIHSAN
1. Istihsan bin-nash
Artinya nash yang sampai pada suatu permasalahan itu mencakup suatu hukum juz’iyah, yang mana hukum tersebut berbeda dengan hukum yang sudah ditetapkan.
Contoh: Dalam masalah akad pesan, menurut qiyas(dalil umum) pesan itu tidak diperbolehkan, karena pesan itu termasuk jual beli yang tidak diketahui(barangnya) pada saat akad. Dan dalam kasus ini Nabi SAW. mencegah jual beli yang belum ada barangnya. Akan tetapi hal ini juga dikecualikan dengan dalil khusus(khos), yaitu sabda Nabi:
من اسلف فى ثمر فليسلم فى كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم
Artinya:”Barang siapa menghutangi buah maka jelaskanlah takarannya, timbangannya, dan waktunya”.
2. Istihsan bil-ijma’
Yaitu fatwa para mujtahid pada suatu kasus yang tidak sesuai dengan hukum asal atau bisa juga mujtahid membiarkan sesuatu hal yang telah dikerjakan manusia dengan tanpa mengingkarinya.
Contohnya seperti istishna’(kesepakatan yang dibuat antara seseorang dengan orang lain untuk membuat sesuatu dengan imbalan tertentu) ini boleh menurut istihsan, dengan alasan karena hal tersebut telah biasa terlaku di lingkungan masyarakat umum pada setiap saat dan para ulama tidak mengingkarinya. Maka dengan adanya ijma’ ini qiyas telah ditinggalkan(tidak dipakai), karena tujuan dari istihsan itu untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menghilangkan kesukaran-kesukaran mereka. Akan tetapi menurut qiyas tidak diperbolehkan, dengan alasan karena pada waktu terjadinya akad barang belum ada.
3. Istihsan bil-‘adah
Contohnya menyewakan kamar mandi dengan ongkos tertentu tanpa mempertimbangkan berapa banyak air yang telah digunakan dan lamanya seseorang menggunakannya(kamar mandi). Contoh kasus pada saat ini, seperti kalau kita singgah di terminal, stasiun, bandara dan juga kalau kita pergi ziarah ke makam para wali di situ banyak kita jumpai orang-orang yang menyewakan kamar mandinya dengan tarif Rp 500 untuk kencing dan Rp 1000 untuk mandi dan berak. Pada kasus ini secara hukum qiyas dilarang, karena dalam masalah persewaan(dalam hal ini kamar mandi) harus menghitung sedikit banyaknya air yang sudah digunakan dan lamanya seseorang mamakainya. Akan tetapi istihsan memandang boleh kasus di atas dengan berpegangan pada urf(kebiasaan) yang terjadi di masyarakat, karena hal tersebut sudah menjadi kebutuhan masyarakat umum.
4. Istihsan bid-dlarurat
Jika ditemukan dlarurat(keterpaksaan) sebagian mujtahid sepakat meninggalkan qiyas dan memenangkan dlarurat dan hajat(kebutuhan) untuk dijadikan alasan dalam mengambil ketentuan hukum.
Contoh sebuah sumur atau bahkan sebuah telaga yang elok nan indah yang terkena najis, maka yang tadinya air itu suci dan jernih karena terkena barang najis, maka air itu berubah menjadi kotor dan tidak suci lagi. Dalam hal ini menurut tinjauan qiyas air itu tidak mungkin untuk disucikan kembali, baik dengan cara menguras sebagian airnya saja atau semuanya, karena jika menguras sebagian air saja tidak akan mampu untuk menjadikan suci bagi sebagian air yang lain. Dan jika menguras keseluruhannya juga tidak akan memberikan pengaruh bagi air yang muncul dari mata air, karena air yang keluar dari mata air ini akan bertemu dengan najis-najis yang masih melekat pada dasar dan dinding sumur serta timba yang digunakan untuk mengambli air akan terkena najis juga jika bersentuhan dengan air yang ada di dalam sumur tersebut. Akan tetapi secara istihsan menganggap bahwa dengan cara menguras air yang ada di dalam sumur airnya bisa menjadi suci kembali dengan pertimbangan karena adanya dlarurat.
5. Istihsan bil-Qiyas al-Khafi
Contoh wakaf tanah pertanian yang mana hal tersebut mempunyai dua qiyas yaitu qiyas jali(jelas) dalam artian bahwasanya wakaf itu disamakan dengan jual-beli di dalam berpindahnya hak milik dari pemilik barang kepada orang lain. Karena wakaf disamakan dengan jual-beli, maka hak untuk memakai air, saluran air, dan hak untuk menggunakan jalan yang ada di situ tidak masuk dalam wakaf, kecuali ada penjelasan dari wakif(orang yang wakaf). Kedua adalah qiyas khafi(samar) yaitu wakaf disamakan dengan ijarah, yang berarti hanya mengambil manfaatnya saja dari barang yang disewakan/diwakafkan. Dengan demikian bagi orang yang menerima barang wakafan berhak untuk menggunakan air yang ada, saluran airnya, dan juga jalan yang ada di situ walaupun wakif tidak menjelaskannya. Berarti dalam kasus di atas mujtahid mengunggulkan qiyas yang kedua(khafi) atas qiyas yang pertama(jali), karena tujuan dari wakaf adalah hanya mengambil manfaat yang ada disitu dan tidak mungkin bisa mengambil manfaatnya kecuali dengan memasukkan hak-hak yang telah disebutkan di atas.
6. Istihsan bil maslahah
Contohnya dalam hal sewa-menyewa, bagi seorang penyewa jika merusakkan barang yang disewanya wajib untuk menggantinya. Kalau ia tidak mampu untuk menghindari atas kerusakannya dan ia juga tidak sembrono, maka menurut kaidah hukum asal ia tidak wajib untuk mengganti barang yang rusak tersebut, akan tetapi dalam istihsan ia harus menggantinya dengan alasan untuk berbuat kebaikan dan kemaslahatan manusia dengan cara menjaga harta-harta mereka .
PERBEDAAN-PERBEDAAN ULAMA TENTANG ISTIHSAN
Sebagian ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyah menyatakan bahwa istihsan bisa dijadikan hujjah syari’ah dan juga bisa dijadikan dalil atas hukum. Mereka berpegang pada dalil-dalil, di antaranya:
a. Istihsan itu untuk menghilangkan kesukaran menuju kepada kemudahan yang menjadi tujuan pokok agama. Allah SWT berfirman:يريد الله بكم اليسرولايريد بكم العسر dan Ibnu Mas’ud berkata: Apa-apa yang oleh orang-orang muslim itu dianggap baik, maka bagi Allah pun juga baik.
b. Bahwa penetapan istihsan untuk dijadikan hujjah sudah sesuai dengan dalil-dalil yang telah disepakati.
Sedangkan ulama Syafiiyah, Dzahiriyah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengingkari adanya istihsan bahkan Imam Syafii mengatakan: Bahwa orang yang beristihsan, maka benar-benar ia telah membuat syariat baru, dan dalam kitab al-Um beliau mengatakan: Bahwa istihsan itu sesuatu yang batal . Ibnu Hazm berkata: Bahwa yang hak itu hak walaupun pahit untuk dirasakan dan yang batal itu batal walaupun itu membawa kebaikan bagi manusia, maka jelas bahwa istihsan itu merupakan syahwat belaka dan hanya mengikuti hawa nafsu .
Para ulama ini berpegangan pada:
a. Tidak boleh menghukumi sesuatu kecuali dengan menggunakan nash atau dengan sesuatu yang diqiyaskan pada nash(qiyas), karena kalau tidak demikian maka hukum itu akan diputuskan dengan berdasarkan hawa nafsu belaka. Allah berfirman:
وان احكم بينهم بما انزل الله ولاتتبع اهواءهم
Artinya:”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”.(al-Maidah:51).
b. Bahwasanya Rasulullah tidak pernah berfatwa dengan menggunakan istihsan akan tetapi dengan menantikan wahyu.
c. Istihsan itu dasarnya adalah akal, kalau demikian tidak ada perbedaan antara orang yang ‘alim dengan orang bodoh. Jika istihsan diperbolehkan hanya berlandaskan akal, maka manusia akan membuat syari’at baru untuk dirinya sendiri .
SIMPULAN
Istihsan merupakan suatu metode pengambilan hukum yang digunakan oleh Abu Hanifah, sebagaimana Qiyas yang digunakan oleh Syafii, Istishab oleh Maliki, dan Maslahah Mursalah oleh Imam Hambali.
Ketika terjadi kontradiksi antara istihsan dan qiyas, maka untuk memenangkan salah satunya itu melihat pada kuatnya pengaruh(atsar) yang ada pada suatu kasus bukan melihat pada samar dan jelasnya. Maka dari itu jika istihsan lebih diunggulkan atas qiyas, maka yang dimenangkan adalah istihsan begitu juga sebaliknya.

Wallahu a’lam bisshawab.

0 Response to "ISTIHSAN"

Posting Komentar